Rumah sederhana, dengan interior bambu menyapa mataku. Nenek menggandeng tanganku dan mengajakku masuk ke dalam rumahnya.
"Duduklah disini." Nenek mempersilahkan ku untuk duduk pada kursi yang terbuat dari bambu. "Hanya ini yang nenek punya." Lanjutnya.
Aku melihat seluruh detail ruangan. Rumah kecil, semua yang ada didalamnya hampir semua terbuat dari bambu . Mungkin ini memang bukanlah rumah yang bagus. Hanya saja, rumah ini terbilang cukup bersih.
Tak lama, nenek muncul dari balik tirai, membawa nampan. Nenek menaruhnya di kursi, tepat di sebelahku. Nenek menyuguh segelas teh hangat untukku.
"Apa ini nek?" Tanyaku basa-basi meskipun aku tahu nenek sedang menyuguh teh hangat untukku.
Nenek tersenyum menatapku. "Ini teh hangat untukmu. Ayo, minumlah dan hangatkan badanmu kembali."
Aku tersenyum kikuk. "Ahh–tidak usah repot-repot begini nek. Saya jadi tidak enak."
"Sudahlah, tidak apa. Sekarang cepat minum ini." Nenek memegang tanganku. Sontak aku terkejut. "Lihat, badanmu ini dingin sekali."
Aku hanya tersenyum dan meraih segelas teh hangat itu. "Terima kasih nek." Aku meminum teh hangat ini. Racikan teh hijau dan madu benar-benar telah memanjakan lidahku. Hangatnya teh ini dengan cepat merembet di tubuhku.
"Tidurlah. Kau harus istirahat. Kau pasti sangat lelah." Tatapan nenek benar-benar tulus. Tatapan ini menggambarkan seakan nenek mengetahui apa yang kurasakan sebenarnya. Aku hanya bisa menunduk dan menahan air mataku agar tidak jatuh.
Nenek mengelus lembut pundakku. "Tidurlah, kau besok harus sekolah. Tinggalah disini sampai kau mendapat hunianmu lagi."
Ku bangkitkan kepalaku, dan menatap nenek. Sesekali aku menunduk, takut jika air mata yang ada pelupuk mataku terlihat oleh nenek. "Aku tidak sekolah nek."
Sontak nenek menutup mulut dengan tangannya. "Ahh–maafkan wanita tua ini." Ucapnya sambil terkekeh.
Aku pun tertawa kecil mendengar kekehan nenek. Sungguh lucu. "Biarkan aku membantumu bekerja nek." Tawarku padanya. Tidak enak jika aku tinggal disini, tapi aku tak melakukan apa-apa.
"Eh, tidak perlu. Nenek bisa kerja sendiri. Tangan nenek ini masih kuat." Ucapnya sambil memamerkan tangannya bak pose pegulat yang tengah memamerkan otonya.
Aku tertawa kecil. Kusentil kulit tangan nenek yang sudah bergelambir. "Lihatlah nek, tangan nenek ini butuh istirahat. Biar aku membantumu nek."
"Kau sangat meremehkanku." Nenek menjitak dahiku pelan. Aku hanya membalasnya dengan kekehan kecil.
"Nenek ini hanyalah seorang pemulung. Pastinya kau jijik jika kau membantuku." Nada nenek berubah. Nada ini, seakan mewakilkan perasaannya.
Aku menggeleng cepat. "Aku sudah terbiasa dengan itu nek." Bagaimana aku tidak terbiasa dengan itu. Aku sering melakukan itu ketika bibi tak memberiku uang. Mungkin ini alasan mengapa aku tak merasakan bau sampah ketika singgah di rumah nenek. Karena aku sudah terbiasa dengan bau ini.
"Baiklah jika itu maumu." Akhirnya nenek meberiku izin untuk membantunya bekerja. Setidaknya aku bisa membantu nenek, karena aku tahu, aku tak akan bisa mengganti bantuan nenek dengan uang.
"Eh sudah malam. Tidurlah sekarang." Aku hanya mengangguk. "Kau tidur disini atau di kamar?"
"Disini saja nek."
"Baiklah, nenek ambilkan bantal dan selimut dulu." Belum sempat kujawab, nenek sudah pergi ke kamarnya untuk mengambil bantal dan selimut untukku. Sambil menunggu nenek, kutaruh gelas yang masih ku genggam ke nampan dan kutaruh di meja yang ada di depanku.

KAMU SEDANG MEMBACA
CAN I?
Fantasy"Bisakah? Bisakah aku melewatinya sendiri?"-Ailyn Ini kisah tentang gadis remaja yang harus menanggung beban hidup sendiri. Di usia yang masih sangat muda, ia diharuskan untuk merawat seorang anak kecil sendirian. Bukan. Ini bukan karena ia bermai...