AUTHOR POV
"Sayang, mari kita jemput Ara." Wanita berumur 23 tahun cemas, terus mondar mandir tak jelas.
"Sudahlah Aletta. Bukankah kau senang jika dia pergi meninggalkan kita?" Pria yang berdiri di depan komputernya mencoba menenangkan Aletta–ibu kandung Ara.
"Tapi aku masih waras. Aku tetaplah ibunya, dan aku tak akan tega jika meninggalkan anakku sendirian disana."
"Bukankah kau sendiri yang menginginkan itu?"
"Iya, tapi kan–"
"Sudahlah. Pikirkan hal yang lebih seru daripada itu. Dengan perginya Ara, kita bisa bertindak bebas semau kita tanpa rasa khawatir."
Aletta meneguk ludah, mencoba menyaring kata-kata nya. Benar juga apa yang dikata oleh calon suaminya. Dengan tidak ada nya Ara, mereka bisa melakukan hubungan tanpa harus cemas jika Ara mengetahui.
"Benar katamu."
Fredick–calon suami Aletta tersenyum menyeringai. "Benar bukan? Kau harus ambil sisi benar dari tindakanmu."
Aletta mengangguk tipis. Ia mencoba membenarkan apa yang dikata calon suaminya ini. Namun kekhawatiran terus menghantui pikiran Aletta. Otaknya tak dapat bekerja sama, hatinya mulai kacau.
"Tapi sayang, aku tak bisa meninggalkan Ara seperti ini."
Meskipun Aletta sering melakukan tindakan kekerasan pada Ara, namun sosok ibu tetaplah ibu. Ibu yang tak ingin kehilangan anaknya meskipun ia membencinya.
"Kau ini terlalu memikirkan itu. Diam dan pikirkan! Saring sisi benar dari tindakanmu. Kita akan memperoleh kesenangan disini. Hanya kita berdua."
Aletta mencoba menenangkan diri. Ia menggeret kursi kecil yang ada di belakangnya. Ia duduk disana seraya mencoba menguatkan dirinya sendiri. Berharap rasa kekhawatiran ini segera hilang.
Ia memijat kecil keningnya, mengatur nafasnya seraya memejamkan mata.
"Pikirkan! Jika tidak ada Ara, pernikahanku dengan Fredick akan segera tercapai. Ara adalah penyebab dari segala kesengsaraanku. Gila jika aku mengkhawatirkannya!"
Aletta bersikeras menyingkirkan perasaan yang mengganggunya. Namun,semakin ia mencoba menyingkir, kenangan manis bersama Ara satu persatu mulai muncul.
"Sudah, aku tak sanggup lagi." Aletta menyerah. Kini kepala nya serasa ingin meledak jika ia mencoba menyingkirkan perasaan yang gila ini.
"Sayang, mari jemput Ara."
Fredick tak menggubrisnya. Pikirannya lebih tertuju pada game yang ia mainkan di komputernya.
"SAYANG!" Aletta memutar kursi game nya. Kursi game itu berputar dan berhenti tepat di hadapan Aletta.
"Kamu ini kenapa sih? Ganggu saja." Fredick memutar kursi game nya dan kembali bermain.
Kini otak Aletta serasa ingin pecah. Berani sekali calon suaminya mengabaikannya hanya karena game. Ingin rasanya ia mengumpat.
Aletta menarik keras kursi game Fredick hingga membuat kursi game itu mundur dan menabrak dinding dengan keras.
"Apa-apaan kau ini? Apa kau sudah gila? Kau bisa merusak kursi ini," Fredick mengecek sekeliling kursi, takut jika kursinya lecet.
"Kau ini yang gila. Aku sedang khawatir tapi kau malah asyik bermain game!"
"Lalu apa masalahnya? Bukankah itu anakmu? Aku tak seharusnya ikut campur." Ketus Fredick.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAN I?
Fantasy"Bisakah? Bisakah aku melewatinya sendiri?"-Ailyn Ini kisah tentang gadis remaja yang harus menanggung beban hidup sendiri. Di usia yang masih sangat muda, ia diharuskan untuk merawat seorang anak kecil sendirian. Bukan. Ini bukan karena ia bermai...