Taeyong duduk di depan tenda dengan perasaan gelisah, ia tak berhenti menggosok kedua telapak tangannya. Haechan keluar dari dalam tenda dengan menggunakan jaketnya. Taeyong berdiri dari duduknya saat Haechan sudah berdiri di sampingnya. Mereka berdua berjalan berdampingan memasuki hutan.
Haechan sudah meminta izin kepada panitia untuk menyusul Wonwoo dan Jihoon yang tak kunjung kembali selama tiga puluh menit. Sebenarnya Haechan ingin menghajar habis para panitia jika saja tak dihentikan oleh salah satu teman sekelasnya. Bagaimana bisa mereka lupa memasang pita kuning sebagai batas hutan? Sungguh ceroboh.
Sama halnya dengan Taeyong, ia ingin sekali menyetrum mereka dengan listriknya, jika saja rasa khawatirnya tidak lebih besar dari amarahnya. Wonwoo dan Jihoon pasti tersesat di dalam hutan. Bodohnya para panitia, diantara mereka tak ada yang berani memasuki hutan untuk mencari Wonwoo dan Jihoon. Mereka juga tak berani melaporkan hilangnya Wonwoo dan Jihoon kepada para guru. Panitia yang tak bertanggung jawab. Mengesalkan.
Saat jalan yang mereka lewati sudah mulai menyempit, Haechan berjalan di belakang dengan Taeyong yang menentukan arah jalan mereka. Haechan hampir saja terjatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri. Ia berjongkok untuk mengikat tali sepatunya sebanyak dua kali, agar tidak mudah lepas. Ia juga mengikat tali sepatu yang satunya lagi.
Haechan tersenyum saat melihat tali sepatunya tak lagi terlepas. Ia berdiri dan melihat kedepan, senyumnya luntur seketika saat tak menemukan sosok Taeyong di depannya. Ia menepuk dahinya saat sadar bahwa ia tidak menahan Taeyong untuk menunggunya yang sedang mengikat tali sepatunya.
"Bodoh sekali Haechan," gumamnya. Ia baru saja melangkah untuk menyusul Taeyong. Tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya dilempar ke arah kiri hingga membentur salah satu pohon. Ia meringis, badannya sakit sekali karena harus membentur pohon dengan kerasnya. Ia mendongak saat mendengar suara geraman di depannya.
Tubuh Haechan spontan bergerak mundur saat melihat seekor-ah tidak, empat ekor serigala hitam dengan kelereng berwarna hijau yang mengintimidasi Haechan. Haechan membelalakkan matanya ketika punggungnya bersentuhan dengan pohon. Haechan menitikkan air matanya saat merasa kuku salah satu dari serigala didepannya membuat luka panjang di lengan kirinya.
"Jangan! Kumohon-akh! S-sakit."
[🌵]
Hening. Tak ada yang memberi respon terhadap pekikan Wonwoo. Wajah Wonwoo perlahan menjadi merah semerah buah tomat saat ditatap oleh keempat serigala di depannya. Ia menutup wajahnya karena merasa malu, walaupun mereka tak melakukan sesuatu yang membuat Wonwoo merasa malu.
"Ha? Ngomong apa tadi, Won?" Jihoon mengintip keempat serigala dari balik bahu Wonwoo. Ia menempelkan hidungnya di bahu Wonwoo, tak tahan dengan aroma kayu manis dan Jahe yang terus menerus menusuk hidungnya. Aromanya menenangkan tapi disisi lain aromanya juga begitu memabukkan. Jihoon tak bisa menahannya.
"Werewolf, Jihoon. Mereka berempat itu werewolf! Dan kita itu mate mereka!" Wonwoo memutar badannya menghadap Jihoon. Jihoon mengernyitkan dahinya. Antara percaya dan tidak percaya. Jihoon tahu Wonwoo memiliki keistimewaan yaitu bisa berkomunikasi dengan makhluk hidup maupun tidak. Mungkin saja apa yang dikatakan Wonwoo itu benar, tapi bukannya werewolf itu hanya cerita fantasi? Pasalnya Wonwoo adalah penggemar nomor satu cerita fantasi, apalagi kalau tokoh utamanya adalah werewolf. Jadi tak salah kan kalau ia beranggapan jika sekarang Wonwoo sedang berkhayal karena lelah.
Tapi Jihoon jadi tidak tega saat melihat Wonwoo yang sedih. Wonwoo pasti bisa membaca pikirannya tadi, sehingga mau tidak mau ia harus percaya dengan apa yang dikatakan oleh Wonwoo. Ia tak mau mengecewakan sahabatnya sedari kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nire Patua (DISCONTINUED)
FanfictionDISCONTINUED [ m e a n i e , s o o n h o o n , m a r k h y u c k , j a e y o n g ] ((( bxb, yaoi, bl, homo, gay! ))) ((( fiksi gays, jan baper ))) Wonwoo, Jihoon, Haechan, dan Taeyong saat itu sedang berkemah dengan yang lain. Siapa yang tahu bahwa...