Sebuah amplop putih berukuran panjang sudah berada dalam genggamannya. Terukir sederet nama lengkap di depannya. Hembusan napas keluar dengan sangat pelan, bersamaan dengan langkah kedua kaki yang cukup lambat.
Sebuah ruangan dengan papan bertuliskan Bimbingan Konseling menjadi tujuannya di waktu istirahat yang berdurasi tiga puluh menit. Sejenak merapikan pakaian sebelum mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
"Assalammualaikum."
"Wa'alaikum salam. Masuk, Nak!"
Sang siswa milih untuk masuk ke dalam ruang tersebut, tanpa memperdulikan beberapa siswa yang mengenalnya, menatap keberadaanya dengan tanda tanya. Seulas senyum dari sang pemilik ruang membuatnya lega seketika.
"Nadhini? Apa berkas informasi kemarin masih kurang? Ibu baru saja bongkar-"
"Nggak, Bu Fitri, bukan itu," sela Nadhini dengan cepat. "Saya kemari bukan perkara kepentingan OSIS."
Fitri mengerjapkan matanya. "Duduk dulu, deh."
Nadhini mengangguk kaku. Gadis itu memilih untuk langsung duduk di kursi yang sudah disediakan, yang berhadapan langsung dengan guru konselingnya. Nadhini membuang napasnya sejenak sebelum meletakkan amplop yang dibawanya.
Fitri mengerjapkan matanya. "Apa ini?"
Nadhini menggenggam kedua tangannya, merematnya di atas pangkuannya. "Bu, jangan marah, ya?"
Nadhini butuh berhari-hari mengumpulkan stok keberanian untuk berbicara dengan seorang guru di depannya, yang tak lain adalah wali kelasnya sendiri.
"Kenapa?"
"Di dalam amplop ini, ada surat pengajuan izin untuk tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar secara langsung untuk beberapa waktu ke depan," ujar Nadhini tanpa terbata-bata. "Ada sesuatu yang harus saya urus, dan saya tidak bisa mengatakannya secara langsung, jadi saya tulis di dalam amplop ini."
Nadhini menangkup kedua tangannya. "Saya mohon maaf, Bu. Saya sedang dalam keadaan terdesak."
Fitri terdiam, tidak menyangka jika salah satu anak asuhnya dalam sekolah ini sangat nekad mengambil keputusan ini. Berat, bebannya sangat banyak. Setetes cairan bening sudah mengalir dari sudut matanya. Fitri memilih untuk menerima amplop tersebut, tanpa menyanggah dengan segala untaian mulutnya.
"Baiklah, Ibu terima. Untuk proses pembelajaran mungkin kamu bisa lewat kelas online." Fitri meraih salah satu tangan Nadhini. "Apa kamu ada permintaan sebelum Ibu memproses surat ini?"
Nadhini mengusap kedua kelopak matanya yang sudah sembab. "Tolong, Bu. Rahasiakan berkas data diri saya. Apapun itu, termasuk alamat rumah juga-"
"Tolong juga, jangan sampai dua angkatan OSIS periode sekarang untuk tau, kalau saya ambil tindakan ini."
•|•
TEASER IS COMPLETED
KAMU SEDANG MEMBACA
Labyrinthus (2020)
Teen Fiction(n) maze, latin meaning from maze. Bagaikan labirin yang tak memiliki jalan keluar, Nadhini Ayu Prasaja menjalani perjalanan hidupnya yang memiliki berbagai serbuk kehidupan. Nadhini selalu berpikir jika ini adalah waktunya untuk menjalani bagaimana...