22. Very Long Distance

225 10 2
                                    

Aurora ingin menghubungi Gathan tapi tangannya seperti beku setiap hendak menekan nomer yang masih setia disimpan di ponselnya. Ada keraguan apakah Gathan sudah bisa mengingatnya atau justru semakin melupakan dirinya. Aurora hanya berusaha menunggu sampai Hendra menghubunginya. Dan selama menunggu Aurora berusaha untuk mengisi waktunya dengan kuliah dan kerja part time.

London memasuki musim semi, suhu berkisar antara 12-18 derajat celcius. Ara merapatkan jaketnya. Perbedaan suhu yang mencolok antara Jakarta London membuat Aurora sedikit kedinginan. Kaki jenjangnya lincah menyusuri kota London yang bersih, indah, dan tidak sebising Jakarta. Ada rasa iri dalam hati Ara. Meski begitu Jakarta tetap tempat terindah sekaligus paling menyakitkan. Kenangan indah bersama mamanya masih membekas di hatinya. Hari-harinya sempurna berbalut ceria penuh canda tawa. Kebahagiaan yang dia kira akan jadi selamanya. Lalu semua itu hilang begitu saja setelah orang yang disayangi membuatnya kecewa. Bahkan hubungan yang Aurora jalani dengan Gathan kini juga jadi tanpa arah.

Di sebuah kedai cepat saji Aurora berhenti sejenak menunggu teman yang kerja part time juga.

"Sudah lama nunggu ya," sapa teman baru Ara, Ni Ketut Seruni namanya. Dia berasal dari Bali.

"Kebetulan aku baru sampe, Runi," jawab Aurora.

"Ya sudah kita masuk, Mr. Smith sudah menungumu," ajak Runi sambil mendahului masuk. Aurora mengekor di belakangnya. Aurora akan kerja paruh waktu di kedai ini selama musim semi. Pada saat musim semi siang hari jadi lebih panjang dari malam hari. Aurora hanya butuh tujuh jam untuk tidur dan sisanya kuliah sambil kerja paruh waktu.

Runi membawa Aurora masuk ke dalam ruang kerja Mr. Smith. Ruangan itu tidak terlalu besar dan berada di lantai dua.

"Masuk saja, Ra, Mr. Smith sudah menunggumu. Aurora masuk setelah mengetuk pintu.

"Good afternoon, Mr. Smith," sapa Aurora sopan.

"Eh, selamat sore, kamu dari Jakarta, bukan?" tanya Mr. Smith

"Iya, Sir, eh Pak," jawab Aurora kikuk.

"Panggil Pak saja. Saya juga keturunan Indo. Ayahku orang Bandung dan ibu asli Inggris."

"Oh begitu, tapi wajah bapak bule banget," jawab Aurora jujur.

"Kata orang sih begitu. Oke mulai sekarang kamu bisa kerja di bagian kasir membantu Runi. Segala sesuatunya bisa kamu pelajari selama tiga hari, setelah itu saya harap kamu sudah bisa bekerja sendiri. Gaji kamu 120.000 rupiah per jam setelah tiga hari kerja. Tiga hari pertama hanya lima puluh ribu per jam, deal?" tanya Mr. Smith.

"Deal,"jawab Aurora senang.

Hari pertama kerja Aurora tampak tak menemui kesulitan. Dia hanya harus bisa terbiasa menghitung dengan mata uang asing. Runi sangat membantu pekerjaan pertama Aurora.

Tepat pukul sepuluh malam Aurora keluar dari kedai cepat saji Melts, tempatnya bekerja. Lelah dan kantuk terukir jelas di wajahnya. Lampu-lampu terang berkilauan memantulkan keindahan London di malam hari. Aurora berjalan cepat menyusuri kota London. Dia sengaja memilih lokasi kerja yang dekat dengan rumah omnya. Hanya perlu berjalan kaki sekitar dua puluh menit.

"Tunggu!" teriak seseorang sambil memegang tangan Aurora. Tinju Aurora sudah siap meluncur di udara tapi dibatalkan demi melihat siapa yang ada di belakangnya.

"Ben?"

"Kenapa nggak bilang kalau kamu kerja part time lagi?" tanya Ben sedikit kurang suka.

"Aku harus mandiri, Ben. Aku terbiasa tidak bergantung pada orang lain."

"Tapi aku bukan orang lain, aku pacar kamu sekarang."

"Pacar?" tanya Aurora dengan ekspresi bingung.

"Kita sudah jadian waktu itu, apa kamu lupa?"

"Oh, i see," jawab Aurora singkat. Bukan karena mengiyakan tapi karena sudah sangat lelah dan mengantuk.

Ben mengandeng tangan Aurora menyusuri jalanan yang masih ramai orang berlalu lalang, sesekali dirapatkan tubuh Aurora yang tampak sedikit menggiggil karena belum terbiasa dengan suhu di London itu ke badannya.

"Kita makan dulu, Ra." Ben menggandeng tangan Aurora memasuki sebuah kafe. Aurora hanya menurut.

"Kamu mau makan apa?" tanya Ben sambil menyorongkan kursi ke belakang dan mempersilakan Aurora duduk.

"Segelas green tea sama fish and chips."

Ben memesan menu yang sama. Ben sesekali menyuapkan kentang goreng ke mulut Aurora.
Aurora hanya tersenyum memandang manik indah didepannya. Perhatian Ben ke Aurora belum bisa membuat Aurora sepenuhnya memberikan rasa cinta itu untuk Ben. Aurora baru saja mengenal Ben lagi setelah perkenalan mereka di masa kecil dulu. Rasa cinta yang terlanjur diberikan untuk Gathan itu belum bisa hilang dari hatinya. Meski Aurora tidak tahu bagaimana kabar Gathan kini. Aurora merasa ada jarak yang begitu jauh antara hatinya dan hati Gathan.

Malam sudah sedikit larut saat mereka sampai di rumah bergaya klasik itu. Ben langsung membukakan pintu dan membiarkan Aurora masuk duluan. Tampaknya semua penghuni rumah sudah tidur.

"Nite Ara," kata Ben sambil mencium kening Ara. "Jangan lupa kunci pintu sebelum tidur."
Aurora menggangguk dan langsung mengunci pintu kamarnya.

Tanpa ganti baju Aurora langsung terkapar karena lelahnya.

S I N G K A T ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang