1 - Memulai Pelayaran

35 4 3
                                    

Sebuah lagu ialah benda mati yang bernyawa  bagi setiap manusia yang memberikan cerita dan cinta padanya. Nyawa itu bernama kenangan dan cerita hidup. Bisa berbeda-beda bentuknya. Tergantung bagaimana kamu memaknai rasa dan lirik tersebut.

Tidak pernah kuduga bahwa akhirnya aku memiliki kekasih yang berkecimpung di dunia musik Indonesia. Membuat lagu dan menyelaraskan nada pada tiap-tiap bait tersebut adalah pekerjaannya. Hobinya adalah memberikan rasa pada setiap mahakarya yang lahir. Dan berbagai rasa itu seperti pelangi dan permen Nano-Nano. Senang, sedih, rindu, tawa, tangis bisa ia datangkan pada setiap pendengar lagu miliknya.

Banyak sekali warna di dalamnya.

Dulu aku pernah bermimpi ketika menonton konser Dewa 19 bersama mama. Bagaimana ya rasanya jadi Bunda Maia yang dibuatkan lagu oleh Ahmad Dhani? Atau bagaimana ya rasanya jadi Titi DJ yang dibuatkan lagu oleh Stephanie Poetri pada saat hari Ibu?

Hari ini aku merasakannya.

Bersama Galang Mahardika, seorang penyanyi Indie yang menjadi favorit remaja zaman millenial, selain Baskara dan Ardhito Pramono tentunya. Aku salah satu orang yang menjadi saksi bagaimana Galang dari seorang penyanyi kafe menjadi penyanyi yang namanya sebesar sekarang. Galang yang selalu tampil dari panggung ke panggung dengan gayanya yang sangat maskulin dengan rokok yang dia selipkan di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.

Dan dia pacarku! Aku bangga banget.

Ets.... Yang di nanti-nanti tiba. Galang mengetuk pintu rumahku. Bagaimana aku bisa tahu? He ... he... he... dia udah ngasih tahu aku kalau mau ke rumah. Dia baru saja pulang dari Bali setelah dua acara manggungnya disana.

Galang membawa pie susu pesananku! Aku memeluknya. Memberikan satu kecupan di pipinya, sedangkan dia membenamkan kepalanya di leherku.

"Missing you so badly, By," ungkapnya pelan. Bibirnya menyapu pundakku yang terbuka bebas karena aku mengenakan Knit Tube Top berwarna hitam yang dipadukan dengan skinny jeans. Kebetulan aku juga baru pulang dari rumah temanku untuk mengerjakan proyek film pendek.

"Baru juga tiga hari nggak ketemu!" seruku padanya. Aku melepaskan diri dari Galang dan mengajaknya duduk di depan TV. Aku pamit sebentar mengambilkannya jus kemasan di kulkas dan dua gelas kaki. Tanpa sengaja mataku memincing pada tas ransel berisi penuh yang berada di dekat pintu rumah. Apakah Galang benar-benar langsung ke rumahku setelah mendarat di Jakarta?

"Kamu dari bandara, langsung ke rumahku?" tanyaku setelah menuangkan jus jeruk kemasan ke gelas dan menyuguhkannya pada Galang.

Galang mengangguk kecil dengan cengiran yang menampakkan gigi gisulnya, "Kalau pulang dulu, ketemu kamunya kapan?"

"Bisa aja, Mas Galang ini!" Aku berbaring sedikit miring pada dadanya. Tangan kami saling menggenggam satu sama lain seakan tidak ada hari untuk kami bersama. Aku berharap akan selalu bersamanya. Rasanya lelah membayangkan aku harus menjaga jodoh orang.

Semoga saja Semesta berbaik hati pada kami berdua. Lagipula aku dan Galang masih sering ke gereja dan mengikuti misa natal setiap tahunnya. Jadi, rasanya akan keterlaluan bila Tuhan tidak memberi kami kesempatan.

***

Aku selalu suka bagaimana Galang memperlakukan penggemarnya. Dia adalah salah satu penyanyi yang tidak segan-segan menghampiri penggemarnya. Raut wajahnya selalu menampakkan rasa khawatir jika tidak meladeni penggemarnya untuk foto bersama atau sekadar meminta tanda tangan.

Pernah suatu hari sepulang penampilannya pada showcase pertama, Galang terkena cakaran dan tersandung kaki salah seorang penggemar di tengah riuh-pikuknya wartawan dan penggemar yang menghadang jalannya menuju mobil. Sayangnya, aku tidak berada di sana karena kami tidak pulang bersama. Aku menebeng pada teman satu jurusanku untuk pulang. Rumah Galang dan rumahku berbeda arah jadi aku kasihan pada saat itu jika harus bolak-balik dan menempuh jarak yang lebih jauh untuk pulang.

Aku, Galang, dan IndieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang