Waktu usai ketika matahari bersepakat.
Bahwa yang hilang akan selamanya lenyap.
Sang pendar pun meninggalkan peraduan berganti dengan malam yang pekat.
Kembali aku dibiarkan sendirian di bibir pantai yang sunyi nan gelap.
___
Lima tahun kemudian....
Sayang, aku sudah di depan ya
Pesan yang muncul di baris paling atas notifikasiku membuat aku segera mengambil tas dan peralatan yang biasa aku bawa ke tempat kerja. Wabah virus yang sempat melanda dan membuat sengsara kehidupan manusia yang ada di dunia sudah berakhir. Butuh dua tahun untuk pulih dan keadaan semakin membaik ketika salah satu negara superpower berhasil menemukan vaksin virus tersebut.
Dan kelanjutannya tentu saja perang dagang. WHO sudah berusaha membuat vaksin itu gratis dengan sumbangan negara-negara maju, tetapi itu tidak akan cukup ketika salah satu negara penyumbang terbesar kas organisasi kesehatan dunia itu tetap memikirkan keuntungan atas wabah ini.
Itu sudah berlalu. Dunia semakin sehat. Yang kuat bertahan. Perlahan setiap lini kehidupan membangun hidupnya yang sempat sulit.
"Mama!" Aku menghampiri wanita yang tidak pernah terlihat tua. Mungkin ini akibat dari efek krim tradisional yang dia racik sendiri. Mama seorang alumni farmasi yang memutuskan berhenti ketika dia tahu bahwa waktu ia bekerja akan mengobankan waktu-waktunya bersama Zefanya kecil yang dari dulu lebih dekat dengan papa.
"Mau pergi?"
Aku mengangguk membalas pertanyaan mama dan menuang teh hangat di cangkir kecil, meminumnya dalam sekali tegukan. "Aku pergi ya, Mah. Dia udah di depan."
"Jangan lupa bawa lasagna buat masmu itu!" kata mama memperingatkan sambil menoleh padaku.
"Dimana?"
"Kulkas. Panasin aja kalau mau."
Aku membuka kulkas dan menemukan yang dicari. Lasagna yang ditaruh di aluminum itu aku keluarkan dari lemari pendingin dan menyimpannya di kotak bekal berwarna biru yang kalau hilang membuat seluruh ibu marah.
"Nggak usah dipanasin, Ma. Masih enak kok." Aku membawa tote bag kecil berisi lasagna dan menghampiri lagi mama untuk mencium punggung tangan dan memberi kecupan pada pipi mama. "Aku pergi ya!"
"Hati-hati."
Aku menutup pintu dan membuka gerbang rumahku menemukan pacarku di sana menungguku di mobil Audi A7 berwarna hitam miliknya. Aku mengetuk kaca mobil dan mengintip sang pengemudi yang tampaknya sedang tertidur dengan damai. Laki-laki itu terbangun dengan wajah terkejut. Ketika pandangan kami bertabrakan, ia hanya cengegesan dan menekan kunci pintu tersebut agar terbuka.
Aku masuk dan duduk di sampingnya. Dia meraihku dalam dekapannya dan mencium puncak kepalaku. Aku yang terkejut dengan gerakannya yang cepat hanya membiarkan saja. "Kangen deh."
Aku terkekeh, "Kangen aja apa kangen banget?" tanyaku menggodanya.
Dekapannya terlepas dan dia segera menangkup pipiku yang semakin berisi. Aku sudah jarang sekali pergi ke tempat gym dan berolahraga karena kesibukanku yang bertambah. Pulang pun sudah malam hari dan satu-satunya yang ingin dilakukan hanyalah beristirahat. Belum lagi porsi makan yang terus menambah. Aku sedih setiap mengenang kehidupan sehatku pada masa silam.
Sekarang dia menyubit pipiku, "Kangen banget lah! Nggak lagi-lagi aku ikut tugas sama ayah. Suntuk."
Aku tertawa, "Jangan-jangan kamu di Malaysia lagi diomongin kayak Pangeran Mateen setelah pulang dari Indonesia. Terus muka kamu muncul di video Tiktok." Aku tertawa pias membayangkan ucapanku beneran terjadi. Walaupun umurnya tidak lagi muda, ketampanannya tidak kalah dengan pangeran dari Brunei Darussalam yang sempat viral di Indonesia. Sayang sekali setahun yang lalu pangeran itu memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Galang, dan Indie
Short StoryAku bukan penggemar Indie, tetapi kekasihku seorang penyanyi Indie. Dan mendampinginya ditengah puncak karirnya tidak semudah yang aku bayangkan. ©2020, Whipnatnat. Cover from Pinterest.com/