Setelah kejadian itu, selama dua hari aku menginap di rumah Mbak Tara. Menjauh dari media. Beberapa jam sebelum menuju bandara, aku singgah ke rumah mengambil baju-bajuku dan menaruh mobil di parkiran basemen. Wartawan tidak seramai kemarin berita itu keluar. Sebelum masuk tadi aku sudah menghubungi satpam yang aku kenal untuk menahan agar wartawan tidak masuk ke apartemen. Dengan pakaian tertutup dan menenteng tas, aku masuk ke apartemen dengan kacamata hitam.
Aku buru-buru menuju unitku mengambil baju secukupnya dengan ransel dan bergegas turun lagi menunggu Mbak Tara menjemput. Sayangnya, aku sempat terkepung oleh wartawan. Aku tidak berkomentar dan memberikan senyum saja pada mereka.
Singkat cerita pada sore hari kami sampai di Bali dijemput oleh supir yang disewa Mbak Tara. Mbak Tara bilang wajahku pucat. Aku sudah tidak selera makan dari kemarin. Aku menahan badanku agar tidak pingsan dengan minum vitamin dan makan roti.
Teman-temanku di Lava TV memberikan dukungan. Ada Tissa, Daniel, Mas Aksa dan teman-teman lain memberi dukungan dan tetap menjaga mulut mereka rapat-rapat ketika ditodong wartawan mengenai kabarku yang menghilang secara tiba-tiba.
Aku mengenakan kacamata hitam agar wartawan tidak bertanya macam-macam. Kantor polisi itu ramai oleh media yang tampaknya mendengar kabar bahwa aku terbang ke Bali.
Dan aku bertemu Galang. Pacarku. Kekasihku. Laki-laki yang aku taruh harapan begitu besar untuk sebuah kebahagiaan.
Aku diam saja ketika Mbak Tara dan pengacara bertanya tentang hal yang sebenarnya terjadi. Galang yang tampak tak terurus awalnya diam sampai dia menceritakan semuanya.
Aku menghela napas dan menahan tangisku agar tidak terlihat cengeng. Setelah mendengar pengakuan dari Galang, Mbak Tara dan pengacara Galang meninggalkan kami berdua untuk mengobrol.
"Maaf." Kata itu langsung terucap ketika kami benar-benar berdua.
"Untuk?"
"Mengecewakanmu."
Aku menghela napas dan memberanikan diri menatapnya. "Pertama kali tahu berita ini aku lagi siaran. Nggak tahu apa-apa tiba-tiba ada yang nyari aku mencari konfirmasi yang bahkan aku tahu dari mereka. Benar atau salah pun kamu nanti aku nggak tahu harus apa untuk kita kedepannya."
Galang menggenggam tanganku, "Kita akan bertahan oke? Setelah masalah ini selesai, kita liburan bareng sesuai rencana."
Aku melepas tangannya kasar dan berdecih, "Liburan?" tanyaku sinis. "Kamu bahkan nggak tahu nasib kamu sekarang, Galang. Tolong jangan menggampangkan urusan yang satu ini. Kamu sudah terlalu sering. Tidak dengan ini."
Kami diam. Hening menyesakkan melingkupi ruang pengap ini. Pertanyaan yang muncul dari tadi di kepala pun terucap di bibirku. "Are you sleep with her? Sudah berapa lama?"
Perlahan laki-laki di depanku mengangguk. "Dua kali. Kami bertemu selesai aku manggung di klub. Aku bareng Rajata dan dia dengan temannya. We danced and drunk. Dan yha kami—"
"Aku nggak perlu dengar kelanjutannya," potongku dengan menahan amarah. "Bagaimana tentang bukti di TKP?"
Aku sempat beradu pandang dengan Gilang. Wajahnya lelah dan rambutnya yang acak-acakan. Aku tidak mampu marah berlama-lama dengannya. Namun, egoku yang ia gores dengan kebohongannya seolah menahanku untuk bersikap baik padanya.
"Sumpah aku nggak tahu kalau cewek itu punya barang haram itu. To be honest untuk kejadian kedua aku dijebak. Ada yang ngasih obat ke minumanku. I tell you the truth, Nya. Aku nggak pernah bohong kan selama ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Galang, dan Indie
Short StoryAku bukan penggemar Indie, tetapi kekasihku seorang penyanyi Indie. Dan mendampinginya ditengah puncak karirnya tidak semudah yang aku bayangkan. ©2020, Whipnatnat. Cover from Pinterest.com/