7 - Bersauh

4 4 1
                                    


Kaki jenjang berbalut stiletto berhenti melangkah ketika bulu kuduknya mulai merinding karena merasa dirinya sedang diikuti oleh seseorang. Itu suara langkah kakiku. Aku sedikit menyesal menolak tawaran Mas Aksa untuk mengantarku sampai ke depan unit milikku.

Setiap hari Sabtu dan Minggu aku sering menghabiskan waktu di sebuah apartemen yang aku beli dari seluruh tabungan dan penghasilanku. Hanya menikmati waktu sendiri tanpa perlu adan distraksi dari orang lain. Aku pernah menawari mama untuk tinggal di sini dan menjual rumah peninggalan papa. Namun, mama mencintai rumah itu. Pertama kali mereka menikah sampai papa pergi rumah itu menjadi saksi dan naungan keluargaku selama ini.

Jarum pendek di jam tanganku menunjuk pada angka dua belas dan wajar saja kalau keadaan telah sepi. Kalau boleh jujur aku ini takut sekali dengan hal-hal berbau mistis, tetapi memilih untuk tinggal sendiri.

Aneh memang.

Aku masih celingak-celinguk dan waspada ketika berada di lift. Suara dentingan lift terdengar ketika aku sampai di lantai dimana unitku berada. Aku menggesek kartu unitku dan terkejut melihat lampu sudah menyala ditambah lagi suara TV yang nyala. Ada pula sepatu laki-laki?!

Siapa sih yang datang? Maling?

Aku bersigap mengambil sapu di dekat pintu dan menggenggam erat-erat. Hampir saja aku jantungan ketika tahu ada laki-laki yang duduk santai di depan TV seperti berada di rumah sendiri.
Siapa lagi kalau bukan masa laluku.

Penyanyi yang barusan aku dengar suaranya lagi secara langsung di kafe tadi.

Galang.

Kami masih bertukar pandang. Dalam diam dan sunyi, pikiranku melanglang buana pada masa-masa dimana aku dan dia masih bersama. Demi hati yang paling terdalam jujur aku sudah memaafkannya. Namun, aku masih belum bisa melupakan pengkhianatannya yang membuat aku kecewa setengah mati. Lagipula memaafkankan belum tentu kembali menjalin hubungan bukan?

“Hai.”

Tanpa merasa berdosa Galang berdiri mendekatiku sembari melambaikan tangan dengan sedikit tersenyum. Gerak-gerik tubuhnya yang begitu canggung terlihat jelas melalui netraku.

“Ngapain ke sini?” tanyaku sinis dan galak. “Dapat akses dari mana pula? Lancang tahu nggak!” Aku berseru kesal. Galang melangkah mendekatiku dan aku mundur seketika. “Jangan dekat-dekat!”
Bukannya mengindahkan ucapanku, ia malah memegang kedua bahuku dan membawaku duduk berhadapan di sofa.

Suara TV yang menampilkan Spongebob dan Squidward yang sedang bertengkar menjadi backsound suasana yang mencekam ini. Galang mengeluarkan sebuah kartu dari saku celana jinsnya.

Ah! Key card apartemenku!
“Ih, dapat dari mana?” Aku berusaha mengambilnya tetapi Galang malah menjauhkan benda itu dariku dan kembali menyimpannya di sakunya.

“Balikin nggak?!”

“Aku balikin,” jedanya. “Kalau kamu maafin aku.”

Aku menghela napas kemudian melihat TV dengan tatapan kosong. Bahkan adegan konyol Patrick yang biasa membuatku tertawa terlihat biasa saja saat ini. Aroma maskulin laki-laki itu menguar membawa sisa-sisa memoar yang sudah lama aku pendam. Bahkan hanya karena ia berada di sampingku membikin aku deg-degan tak keruan. Ya iyalah.

Ini adalah percakapan pertama kalinya kami setelah kasus itu terjadi.

“Zefanya.”

Galang mengusap punggungku ketika aku menundukkan kepala. Mataku berkaca-kaca. I hate this feeling! Pasti aku sekarang terlihat lemah. Sia-sia usahaku tersenyum dan menjalani hari seperti biasa, tetapi begitu Galang mengucap hai benar-benar runtuh benteng pertahananku.

Once again. I hate this feeling.

Aku sontak berdiri ketika Galang mulai berani memelukku dari samping. Aku tahu aku terlihat kacau. Aku memandangnya marah, “Bisa lo keluar dari apartemen gue dan mengembalikan kartu apartemen gue?” pintaku dengan nada jutek. Aku sudah tidak mau berurusan dengannya.

“Sekali aja, Nya. Kamu butuh dengar alasanku,” balas Galang memohon padaku.

“Lima tahun yang lalu di Bali itu sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi.”

Galang mengacak rambutnya menunjukkan ekspresi seperti orang … frustasi i guess. Ia berdiri di depanku dan aku hanya melipat tanganku di dada.

Aku membuang muka melihat kemanapun asalkan bukan mata elang bercampur sendu itu yang aku tatap. Tatapan buaya itu bisa menaklukkanku karena aku berada di kondisi terlemah malam ini.

Fine! Aku pergi. Akan tetapi, sebelum kita bicara,” Galang mengeluarkan key card apartment milikku dan menunjukkannya padaku, “Aku nggak akan balikin ini.”

Galang melesat keluar dari apartemen dengan membanting pintuku. Aku langsung bergegas ke dapur dan mengambil minumanku di kulkas. Sial! Dia membuka penyimpanan anggurku bahkan meninggalkan catatan yang bertulis tangan dirinya mengatakan “Jangan minum terus. Nggak baik untuk kesehatan”. Aku memeriksa laci dapurku dan lagi-lagi aku kehilangan seluruh kotak rokokku.

Sudah seberapa jauh sebenarnya laki-laki itu memeriksa apartemenku?

Aku menjerit setelah menemukan pil tidur milikku terbuang sia-sia di tong sampah. Tanpa sadar tubuhku merosot ke bawah bersandar pada pantry.
Kepalaku bersembunyi di antara paha dan rambut menutupi wajahku yang memerah. Tangisku pecah bahkan semakin lama tangisanku berubah jadi isakan. Aku memukul dadaku dengan kepala tangan. Ini terlalu sakit.

Astaga.

Sudah lima tahun berlalu dan tetap saja bayangan Galang yang menghantuiku setiap tidur masih mampu membangunkan sisi terlemahku pasca kepergiannya.

Mas Aksa, maaf.
___

Notes :

Maaf ya kalau jarang banget unggah. Selain karena lagi fokus belajar, aku lagi benar-benar sepanjang hari maunya tidur pdhl di kasur kepikiran mereka lagi🙂

Aku benaran ngeship mereka loh. Aksa typical suamiable gitu ga si?

Aku, Galang, dan IndieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang