3 - Senja Senyap

23 4 0
                                    

Katanya setiap hubungan selalu bermuara pada satu tujuan. Entah putus atau menikah. Lagipula menikah pun sulit bukan? Bukan hanya menyatukan dua kepala dalam satu ikatan sakral, tetapi juga harus menyatukan dua keluarga tadinya berbeda suku, wilayah, dan ideologi menjadi sebuah keluarga besar.

Tidak terasa bahwa hubungan yang aku jalani ini menginjak tahun kelima. Unbelieveable. Namun, rasa-rasanya hubunganku terasa lebih sulit karena intensitas pertemuan kami yang semakin jarang karena kesibukan masing-masing. Aku dengan pekerjaanku dan Galang dengan tur album terbarunya setelah vakum setahun tanpa karya sama sekali.

Yang dibicarakan sepertinya peka. Tidak lama kemudian aku menerima panggilan dari pacarku yang sudah sebulanan ini konser keliling kota-kota besar di Indonesia. Aku bangga banget sama dia sekaligus malu karena beberapa lagu terbarunya Galang muse nya adalah aku. Bisa aja memang Mas-nya aku ini.

Aku mengangkat teleponnya, "Halo."

"Sayang," sapanya lembut. "How are you?"

"I'm good." jawabku sembari merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Aku baru saja membuat segelas hot chocolate untuk menghangatkan diri. Hari ini Jakarta diguyur hujan deras dan dinding tempatku tinggal tidak bisa membendung dinginnya udara saat ini.

"Kamu nggak mau nanya kabarku nih? Sedih deh," dari balik telepon suaranya terdengar sedang merajuk.

Aku tertawa, "I know you're okay, babe. Sehat terus ya sampai nanti kita ketemu. Jangan bandel." Aku meraih minumanku di nakas dan menghabiskannya. Setelah itu aku kembali tengkurap menempelkan ponsel di telinga.

"Nya." Dia menyebut namaku. Itu selalu menjadi pertanda bahwa dia akan berkata serius. Aku selalu takut membayangkan dia memanggil namaku saat seperti ini. Rasanya kebersamaanku dengannya hanya tersisa beberapa menit lagi.

"Iya."

"I love you. Tur beberapa minggu aja bikin aku kangen. Aku nggak bisa membayangkan kamu nggak di sisiku selamanya." Senyap kembali melingkupi percakapan kami. "Ah jadi melow gini aku, babe. Udah makan?"

"Udah. Kalau Galang?"

"Belum."

"Loh kenapa? Nanti sakit."

"Penginnya makan di samping kamu soalnya. Setiap suapan yang masuk ke mulut tuh rasanya meningkatkan kadar kerinduan aku sama pacar aku." Ia terkekeh. Untung dia tidak melihat bahwa pipi sedikit memerah.

"Galang ih!!" Ia tertawa keras seakan meledekku.

"Merah ya!?"

"Enggak!"

Ia tertawa lagi, tetapi tidak separah tadi. "Maaf deh, Sayang. Jangan merajuk. Tur tinggal tersisa tiga kota lagi dan setelahnya kita habiskan waktu bersama." Aku masih terdiam. Pacarku kembali berbicara, "Aku tutup ya, Sayang. Mau istirahat buat besok. Miss you, Sayang. Night."

"Night. Have a sweet dream."

Panggilan tersebut terputus. Aku menaruh ponsel di sampingku dan memandang langit-langit kamar yang terasa hampa. Entah kebaikan apa yang aku perbuat di kehidupan sebelumnya, sehingga Tuhan memberikan begitu banyak cinta. Aku merasa beruntung bisa diberikan kesempatan mengenalnya. Walaupun kehadiranku belum mampu diterima sepenuhnya oleh Ibunya, setidaknya jika kami baik dan takdir mengizinkan, akan selalu ada jalan menuju titik kebahagiaan tersebut.

Dan aku harap kebahagiaanku adalah bersama dengannya hingga kami menua. Begitupun sebaliknya.

Aku harap semesta mengizinkan hal itu terjadi.

Aku, Galang, dan IndieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang