8A - Laju Cepat Pelaut

7 4 2
                                    

Semenjak malam itu, hari-hariku tidak lagi sama.

Rasanya seperti mimpi buruk yang lagi-lagi datang. Semua usahaku untuk baik-baik saja rasanya percuma karena aku tidak pernah sembuh. Aku terlalu trauma menghadapi keadaan. Keputusanku melepaskannya dulu adalah spontanitas kekecewaanku. Andai saja waktu itu setelah dia bebas dia menemuiku, mungkin ada kemungkinan kami kembali bersama.

Ah, Zefanya! You're stupid woman!

Padahal aku sering membaca cerita atau artikel tentang perselingkuhan. Begitu pula menonton film atau serial serta membaca novel dengan tema yang sama. Inti dari semua yang aku tonton dan amati adalah sama.

Selingkuh itu adalah habit yang tidak bisa diperbaiki oleh orang lain.

Aku tidak suka dikecewakan. Aku melihat Tissa yang dulu masih menjadi anak magang sewaktu masih berada di Lava TV yang menjadi salah satu korbannya. Ia ditinggal kekasihnya menikah karena menghamili perempuan lain. Semasa menjadi pembawa berita, tak jarang aku memberitakan berita perselingkuhan yang santer dibicarakan masyarakat.

Aku tidak sekuat itu. Aku memang selemah itu ketika rasa percayaku dipatahkan oleh pengkhianatan.


Namun, hidup mesti terus berjalan bukan? A person deserves happy no matter what. Mungkin bahagiaku bukan dia. Begitu pula sebaliknya. Dia akan terus tersiksa untuk terus memperjuangkanku.

Maka, di sinilah aku berada. Di ruang makan rumah minimalisku bersama keluarga Mas Aksa.

Kalian benar. Aku makan bersama orang pertama Republik Indonesia di meja yang sama. Pak Presiden Arghya Pramono Andara.

Kedatangan RI satu ke rumahku jelas menimbulkan rasa keterkejutan beberapa tetangga rumah. Walaupun mereka tidak menggunakan mobil dinas, tetap saja kehadiran laki-laki kekar yang diketahui Paspampres ke rumah menarik perhatian beberapa tetanggaku.

"Selamat Malam, Pak Arghya dan Bu Nina di rumah saya." Aku yang saat ini mengenakan maxi dress berwarna putih bermotif bunga yang panjangnya sebetis. Dress ini menurutku terlihat santai dan tetap cukup sopan untuk digunakan bertemu orang terhormat.

Kenapa juga Mas Aksa harus anak seorang presiden?

Pak Arghya tersenyum padaku lantas menjabat tangan yang tadi aku ulurkan padanya. Aku sedikit melirik kehadiran beberapa pria berjas menunggu di depan rumah. Jumlahnya cukup banyak untuk menambah gosip di sekitaran komplek rumahku. Aku tidak akan terkejut begitu besok ada berita makan malam sederhana ini di akun Minceu.

Bu Nina-Mama Mas Aksa tersenyum tulus memandangku. Kami berpelukan disertai cepika-cepiki singkat. Di belakangnya hadir kekasihku yang melambaikan tangan singkat sembari melempar senyum dan kedipan mata padaku.

Aku terkekeh melihatnya.

Aku mempersilakan mereka masuk. Aku sudah membereskan rumah bersama mama seharian. Mama yang terlihat rapi dengan celana katun dan kemeja yang dibalut blazer membikinnya terlihat jauh lebih muda. Mama memang jarang merias diri karena jarang berpergian. Mama terlalu lama karantina di rumah membuat beliau malas berpergian kecuali ada hal tertentu.

Aku mengajak tamuku pergi ke ruang makan dimana telah tersaji berbagai makanan. Aku menarik kursi untuk Pak Arghya dan Ibu menarik kursi ke belakang untuk Bu Nina. Aku duduk berhadapan dengan Mas Aksa yang terlihat gagah dengan two piece suit yang membuatnya terlihat maskulin. Wajahnya kini tidak menampilkan usianya yang hampir berkepala empat.

Aku mengambilkan mereka berbagai menu dan menuangkan minuman. Namun, mereka justru menolaknya.

"Nak Zefanya terlihat canggung ya?" Aku tersentak mendengar sahutan Pak Arghya. "Saya datang kesini bukan sebagai seorang kepala negara, tetapi orang tua Adhiyaksa. Sans aja," ujarnya sambil terkekeh.

"Benar tuh! Kalau bisa mah pria-pria kekar di luar nggak usah ikut ya, Pa. Kalau boleh," timpal Bu Nina sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa kecil mendengar mereka yang terlihat hangat dan tidak menunjukkan kekuasaan mereka yang amat berbeda denganku.

Tiba-tiba jadi terngiang suara Tante Poppy kalau membicarakan kesenjangan sosial.

Kami menikmati makanan dalam hening yang sesekali diwarnai pujian Tante Nina pada masakan mama. Aku tetap saja tidak bisa memasak. Aku hanya membantu menyiapkan bahan. Omong-omong orang tua Mas Aksa menyuruhku memanggil mereka dengan sebutan Om dan Tante. Katanya sih biar terlihat akrab.

Makan malam ini tentu ada maksudnya. Dua pekan yang lalu, kalau tidak salah. Mas Aksa bermaksud mengajak orang tuanya menemui mama. Mas Aksa bilang diumurnya yang seharusnya sudah memiliki anak dua ia tidak bisa lagi terikat dalam hubungan main-main. Aku yang pada saat itu sedang menghafalkan dialog film kaget mendengarnya.

Niat Mas Aksa baik. Namun, apa harus secepat ini? Disaat aku masih ragu dengan pilihan yang sudah terlanjur jauh aku sebrangi.

Seusai makan, kami mengisinya dengan obrolan-obrolan umum mengenai pemerintahan dan karierku. Fakta yang tak kusangka bahwa Om Arghya salah satu penggemar karya mama. Bahkan dengan santainya ia berkata kalau nanti mama merilis buku terbarunya yang sedang ditulis, ia akan ikut pre-order buku tersebut.

Rasanya menyenangkan berbicara dengan Om Arghya. Dia seorang pemimpin hebat. Dari caranya berkomunikasi, ia terlihat cerdas dan mengerti semua bidang. Angka inflasi mulai menurun dalam masa kepemimpinannya. Dua kali reshuffle kabinet dalam dua tahun dan kini tanpa sungkan ia meminta pendapatku yang bukan siapa-siapa tentang kebijakan-kebijakan yang akan sedang dirancang.

Aku bahkan heran melihat masih ada saja yang membenci dia yang berkerja setulus hati untuk rakyatnya ini.

Tiba-tiba setelah aku kembali ke meja makan seusai ke toilet, Om Arghya menyahut dengan nada serius dan tegas. "Maksud kedatangan saya ke sini selain bersilaturahmi dengan Zefanya sekeluarga, kami ingin menyampaikan niat baik kami untuk menjadikan Zefanya sebagai menantu keluarga kami. Jujur saja Om baru tiga kali-sama ini-bertemu kamu kan?" Om Arghya menatapku. Aku mengangguk kecil. "Tapi diumur Aksa yang tidak lagi muda dan kalian cukup lama mengenal apa salahnya hubungan kalian naik ke tingkat selanjutnya. Terlalu lama pacaran tidak menjamin bahwa bisa hidup bahagia selamanya bukan?"

Sial aku tersindir.

Aku menelan ludah dan diam mendengar penyataan ini. Semua orang memandangku. Tentu saja! Aku pemeran utamanya disini. Keputusan ada di tanganku. Aku menggenggam tangan mama di bawah meja. Mama mengelus penggung tanganku dengan ibu jarinya.

Mama berdeham, "Sebagai orang tua, saya tidak pernah memaksakan keputusan anak. Zefa anak saya satu-satunya dan cuma dia yang saya miliki di dunia." Mama membalas tatapanku, "You always have choices. Is up to you."

Aku nyaman sama Mas Aksa. Mungkin ini bisa jadi fondasi awal untuk aku lebih menyayangi Mas Aksa untuk kedepannya.

"So, Anya, will you marry me?" Mas Aksa yang entah kapan pindah duduk ke kursi sebelahku dengan sebuah kotak perhiasan yang berisi cincin yang begitu cantik. Aku menatap semua orang. Tatapan berharap bahwa jawabanku memuaskan hati mereka. Aku tidak bisa menyakiti laki-laki sebaik Mas Aksa. Aku tidak bisa menjadi penjahat seperti dia.


Aku sempat memenjamkan mata sekilas dan dalam diam aku mengingat salah satu ayat di Al-Kitab.

Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.(1)

"Iya, Mas. Aku mau."


___

(1) Kitab Injil Petrus 5 : 7

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku, Galang, dan IndieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang