Untuk sekarang, tidak ada yang bisa Sean lakukan selain berharap Shane segera datang lalu memberikan buku latihan fisikanya.
Sudah jam 07:25, lima menit lagi gerbang sekolah akan digembok, dan jika Shane belum datang juga, maka habislah riwayat Sean.
Dia berulang kali mengirimkan huruf 'P' ke kontak Shane, tapi tetap saja tidak ada notifikasi dari Shane yang mengisi handphone-nya.
Tiga menit berlalu sudah, waktu hidup Sean tinggal dua menit sebelum Pak Maruli masuk lalu memakinya habis-habisan. Guru Batak itu tidak akan mengampuni Sean kali ini, ini sudah kali ketiga Sean teledor akan PR-nya, jadi, Sean pasrah.
Langkah Pak Maruli sudah terdengar, beberapa siswa yang tadinya di depan kelas berlarian masuk lalu duduk di bangkunya masing-masing.
Sean melirik ke arah tempat duduk Shane, tepat dua bangku di depannya. Masih kosong. Jantung Sean seakan mau copot ketika melihat penggaris rotan sang Guru menapak lantai kelasnya.
Ah, Shane di mana sih?
Saat Pak Maruli masuk, kepala Sean tertunduk. Karena dia tahu bahwa tatapan guru killer ini menyalang ke arahnya.
"Sean, udah kau siapkan PR-mu kan?"
Suara Pak Maruli yang berat dengan logat batak khas dirinya itu berhasil membuat bulu kuduk Sean berdiri.Cowok ini diam saja, tak berani menjawab pertanyaan yang dilontarkan untuknya.
Karena tidak ada jawaban, Pak Maruli memilih berjalan ke arah meja Sean, "Mana PR-mu? Buka dulu, Bapak mau lihat."
Bahkan Yudha, sebangku Sean, merasa mau mati jika Pak Maruli sudah berada di meja mereka.
Sean mati kutu. Dia memilih berpura-pura membongkar tasnya, daripada mengaku bahwa bukunya tidak bersamanya kali ini.
"Lama kali kau cari bukumu, udah siap apa belum?" Nada bicara Pak Maruli meninggi dua oktaf, refleks membuat seisi kelas mengeluarkan buku latihan fisikanya di meja.
Sean berdiri, sepertinya Shane tidak datang sekolah hari ini, jadi lebih baik dia mengaku saja.
"Anu Pak..." Suara Sean mulai terdengar memberi alasan, "buku latihan Saya ke-"
"Pagi Pak!" Pekikan semangat dari ambang pintu membuat Pak Maruli menoleh, tidak lagi menatap Sean ganas.
Itu Shane, perempuan yang sedari tadi Sean tunggu kedatangannya. Shane berjalan ke arah meja Sean, menemui Pak Maruli lalu menyalim tangannya, "Maaf ya Pak, Saya telat lagi." Suara Shane terdengar halus.
"Justru heran Bapak kalau kau tiba-tiba datang cepat." Pak Maruli menyindir ketus, "Udah duduklah kau."
Setelah menyuruh Shane duduk, dia sepertinya lupa apa tujuannya mendatangi meja Sean, itu sebabnya langkahnya mengarah ke meja guru.
Shane lekas duduk di bangkunya, lalu menatap ke arah Sean, "Sorry," bibir Shane berbicara tanpa suara, lalu segera mengeluarkan buku latihan Sean.
"Eh Va, tolong oper ke Sean dong bukunya nih," tangan kurusnya memberikan buku coklat tua kepada Diva, perempuan yang duduk tepat di antara dirinya dan Sean. Diva mengambil buku itu tanpa suara, lalu meletakkannya ke meja Sean tanpa berbalik badan.
"Gila ya lo, ga ada hari tanpa telat! Astaga Shane," suara Andini terdengar pelan sekali tapi Shane tau bahwa sebangkunya ini mengomel sekarang.
"Wajar dong Din, rumah gue tuh jauh banget tau." Shane mencoba membela dirinya kali ini.
"Ya kalau jauh itu, berangkatnya dicepatin, biar gak telat. Coba aja tadi lo telat buat nyelametin Sean, habis deh kita sekelas kena makian Pak Maruli, ga kebayang deh gimana sialnya." Andini seperti tidak kehabisan kata untuk mengomel pada Shane. Supaya omelan Andini berhenti di sini saja, Shane memilih diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everlasting
Teen FictionAndai saja Shane bisa memilih akan menjatuhkan hatinya pada siapa, dia akan menjatuhkan hatinya pada siapa pun selagi itu bukan Sean. ••• Didedikasikan kepada semua insan yang rela bertahan di rumah yang sudah hancur, kepada yang ingin pindah namun...