Hancurnya Suatu Kepercayaan

24 3 0
                                    

Nanda yang berteriak membuat seisi kelas melirik kearahnya. Membuat Tania bingung, tapi ia sadar jantungnya berdetak kencang merasa takut.

"E kan tadi kan Tania dipuji ama Bu Yanti. Buat perayaannya bayarin gua napa buat nonton," sontak itu membuat Tania bernapas lega, karena itu bukan bentuk awal sebuah pertengkaran. Tapi, kalau dipikir-pikir Tania pasti tidak akan dibolehkan oleh papanya. Apalagi dia adalah satu-satunya anak perempuan papanya. Iya, dia memiliki satu kakak laki-laki yang sekarang tinggal di Jepang. Kembali ke permasalahan, Tania bingung harus menjawab apa. Dan gadis ber-iris hazel itu akhirnya memilih jawaban yang paling sederhana dan yang paling jujur.

"Aku... Kayanya papaku ga akan ngizinin. Maaf..."

"Lho kok gitu sih? Belum juga izin," sekarang nada bicara Nanda berubah, menjadi sedikit tinggi. Membuat Tania merasa bersalah.

"Eheh... Maaf," Tania mencoba meminta maaf sambil sedikit menundukkan kepalanya, membuatnya terlihat manis bagi pria yang disampingnya, yang menatapnya lekat sedari tadi. Tapi, si empunya wajah tidak menyadarinya sama sekali.

Nanda yang mendengar itu hanya menatap sinis. Dan tiba-tiba Nana yang tadinya diam saja terpancing untuk melakukan sesuatu.

"Kalo kata dia ga bisa ya ga usah dipaksa lah. Apalagi kan katanya pasti ga bakal dibolehin ma papanya," Nana yang berbicara dengan meninggikan nadanya sambil berdiri dan menetapkan tatapan matanya pada Nanda membuat yang ditatap merasa jengkel dan emosi.

"Emangnya lu siapa dia sok-sokan ngebela!? Dibayarin ya buat ngebela si kacamata muka datar itu? Kalo emang iya mau ajah sehh... Orang ngeselin gitoh!" Jawaban Nanda barusan, sontak membuat Tania melakukan kebiasaannya dan bergeming, makin menenggelamkan wajahnya ke bawah, menatap kakinya.

"Ya gua temennya. Mau apa lu!?" Perkataan barusan makin membuat Tania lagi-lagi melakukan kebiasaannya. Tanpa ia sadari, sebuah cairan bening asin menetes dipipinya. Membuat Devan yang sedari tadi menatapnya memberikan sapu tangannya ke Tania. Dan langsung diterima oleh Tania.

Belum sempat Nanda menjawab pertanyaan Nana, dia sudah diserang oleh Devan yang memasang muka geram. "Oy! Udah napa kalian tuh bukan anak kecil lagi! Cuman masalah sepele aja ampe ribut gimana sih?" Devan berteriak dengan suaranya yang berat. Hal ini membuat semua orang di kelas heboh karena Devan yang terlihat membela Tania. Wajah Tania yang biasanya menunjukkan kesan kaku itu sukses dibuat memerah kerena hebohnya murid-murid.

"Tania, kamu ga papa?" Tanya Nisa yang memukul pelan pundak Tania.

"Eh, oh.. Ga papa. It's okay,"

"Udah jan nangis, usap pake sapu tangannya... Siapa itu? Devan ya?" Kata-kata Nisa malah membuat wajah yang ditanya makin memerah malu.

"Iiih!" bukannya menangis, Tania malah tersenyum kecil. Nisa yang menyadari itu pun tersenyum karena melihat temannya tidak lagi merasa sedih.

"Yaudah bentar lagi bel 5 menit, aku ketempat ku lagi ya." Tania pun mengangguk membolehkan temannya ketempatnya lagi. Dan ia kembali menyaksikan perdebatan ini dengan matanya.

Nanda akhirnya terdiam dan Kara terlihat membisikkan sesuatu ketelinga kanan Nanda yang duduk disampingnya. Tania bersyukur akhirnya perdebatan kecil ini selesai.

"Tania... Menurut gua..." Kata Nana sambil memegang pundak Tania. Membuat si empunya menoleh.

"Apa?" Tania tidak mendengar perkataan Nana barusan, karena bel 5 menit yang baru saja berbunyi.

"Kaga... Ntar aja ah, ngasih taunya. Kalo ngasih taunya sekarang ga bakal asyik kesananya." Tania yang pendiam hanya mendengar tanpa merespon.

Tidak lama setelah bel masuk. Para kakak pembimbing masuk ke kelas. "Dek, langsung aja ya. Nanti kalian bakalan dikasih lembar kerja. Kalian isinya dirumah, nanti dibagiin sama Kak Ardhan."

SERENDIPITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang