Maafkan atas typo dan antek-anteknya.
Enjoy it.
---MPB---
author pov.
Seseorang wanita paruh baya memasuki sebuah kamar gelap yang tak di sinari oleh cahaya apapun, padahal matahari sudah terik. Cahaya kecil hanya berasal dari sinar yang memasuki celah-celah kecil.
Wanita itu meletakkan nampan yang berisi makanan dan segelas air minum di atas nakas dekat tempat tidur.
"Kamu bangun?"
Orang yang di tanya tak merespon apapun, wanita itu mengecek apakah orang itu masih tidur atau sudah bangun. Tapi mata orang itu tertutup dengan tenangnya, wanita itu menaikkan selimut sebatas bahu orang itu.
Orang itu menggeliat pelan, lalu rintihan kecil terdengar dari bibir orang itu.
"Nak," panggil wanita itu.
Orang itu semakin gelisah dalam tidurnya, keringat kecil mulai muncul di dahinya.
"Ma," ucapnya pelan.
Rintihan kecil masih terdengar.
"Ja..jangan pergi," ucapnya lagi. Setetes air mata lolos dari mata yang masih tertutup itu.
"Jangan tinggalin Isha," rengeknya. Seperti anak kecil yang meminta agar ibunya tetap tinggal.
"Isha gak suka sendiri," ia mulai menangis di sela rengekannya.
"Nak, bangun," wanita itu menepuk pipi Alisha dengan pelan.
Alisha membuka matanya dengan nafas terengah-engah. Wanita itu mengusap pelan rambut Alisha.
"Tenang, ibu disini,"
Alisha melirik wanita itu, matanya masih berair dengan nafas yang tak beraturan.
Usapan itu mampu membuat tarikan nafasnya kembali normal, air matanya masih terus turun. Tapi ia tak mengatakan apa-apa, hanya melirik wanita yang menatapnya khawatir itu.
"Bangunlah," ucap wanita itu. "Makan makananmu. Jangan melewatkannya lagi," lanjutnya.
Alisha tak menjawab, hanya diam dan membisu.
"Jangan seperti ini Al," ucap wanita itu.
"Lihatlah keluar. Apa yang kamu takutkan itu belum tentu terjadi," ucap wanita itu lagi.
"Buat keputusanmu, lalu jalani apa yang kamu inginkan. Perjuangkan apa yang seharusnya kamu perjuangkan, jangan takut. Ibu ada disini,"
Alisha masih diam, ia mungkin tak minat menjawab atau nyawanya masih belum terkumpul sepenuhnya.
"Jangan sakiti gadis itu dengan bersikap seperti ini. Ia pasti mencari dan mengkhawatirkan keadaanmu, buat keputusan untuknya, jika kamu tak mampu memperjuangkannya, katakan itu padanya. Jangan membuatnya bingung dengan hanya menunggu tanpa kepastian darimu," ucap wanita itu.
"Ibu keluar dulu. Pikirkan itu," wanita itu mengusap pelan rambut Alisha lagi, lalu berjalan keluar dari kamar gelap itu.
Wanita itu berjalan sembari memikirkan kata-katanya sendiri. Apakah yang ia katakan sudah benar? Ia takut jika hal itu malah membuat Alisha semakin terpuruk dengan ketakutannya sendiri. Tapi ia harus memberikan semangat pada gadis itu agar ia bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
Gadis rapuh itu memang butuh seseorang, seandainya gadis itu bisa membuka diri untuk wanita itu. Maka wanita itu akan senang hati melakukan bagiannya. Sebagai seorang ibu.
Dari gadis itu remaja, wanita itu selalu berusaha mendekatkan diri padanya. Berusaha sebaik mungkin, tapi gadis itu begitu tertutup dan keras kepala. Keras kepala yang di turunkan dari suaminya sendiri itu, saat keduanya bertentangan maka tak akan ada yang mengalah.
Wanita itu jelas sangat marah saat tau suaminya memiliki seorang simpanan dan memiliki seorang anak dari wanita lain. Betapa marahnya ia saat itu. Tapi setelah ibu gadis itu meninggal, perlahan gadis itu menjadi semakin rapuh, semakin keras menutup diri, semakin kuat pula gadis itu membenci dirinya dan keluarganya.
Awalnya wanita itu tak mampu menerima gadis itu, tak kuat untuk menahan sakit di hatinya setiap kali ia mengingat perselingkuhan suaminya. Tapi perlahan ia juga sadar, gadis rapuh nan sombong itu butuh seseorang dalam hidupnya agar bisa selalu berada disisi gadis itu. Itulah kenapa ia berusaha keras, dan di sela usahanya itu perasaan sayang itu mulai tumbuh. Perhatian yang tadinya ditujukan hanya karna kasian walaupun ia terus di tolak dan di bentak, perlahan-lahan pula perasaan kasian itu berubah jadi perasaan tulus dan ikhlas menerima gadis itu sebagai anaknya sendiri.
Alisha tengah duduk di atas kasurnya, kakinya perlahan turun, menjejakkan kakinya pada marmer dingin. Perlahan tapi kakinya terus melangkah menuju gorden besar dan tebal yang menjadi satu-satunya perantara antara dirinya dan dunia luar. Perlahan tapi pasti, tangannya menggeser pelan gorden itu. Sinar matahari langsung menyeruak kedalam kamarnya, menabrak dirinya. Ia menyerngit merasakan silau yang langsung bertemu dengan matanya. Hangatnya sinar matahari itu ia rasakan. Kamarnya sudah terang walau sebagian. Ia kembali bergerak, membuka seluruh bagian dari gorden itu. Kamarnya benar-benar terang dengan sinar matahari yang memenuhi kamarnya itu.
Warna kamar yang tadinya tak terlihat jelas, kini warnanya tampak cerah. Berbagai perpaduan warna biru di dindingnya. Juga ornamen lain didalam kamar itu. Biru, warna kesukaannya.
Beberapa fotonya terpampang begitu cerah, foto dirinya saat masih kecil, remaja, dan juga dewasa. Frame kecil-kecil itu memenuhi kamar.
Ia melangkah menuju nakas samping tempat tidurnya yang berantakan. Membuka laci nakas itu lalu mengambil sebuah frame kecil berisi fotonya dengan ibunya. Frame yang menampakkan betapa bahagianya ia saat foto itu di ambil. Ia dan ibunya tersenyum bahagia. Ia tak tahu kalau foto itu adalah foto terakhir yang bisa diabadikan bersama ibunya.
Alisha mengusap pelan wajah ibunya yang ada di foto itu.
"Isha kangen," ucapnya pelan.
"Isha gak tau harus apa di dunia ini sendirian Ma, Isha takut. Gimana kalo Isha gak bisa melakukan yang terbaik? Gimana kalo Isha ditinggalkan lagi? Gimana kalo Isha bikin kesalahan? Gimana kalo Isha menyakiti banyak orang? Isha takut sendirian Ma,"Ia memeluk frame itu erat.
"Tadi Isha liat Mama di mimpi, tapi Mama malah ninggalin Isha sendirian lagi. Isha gak mau ditinggal, Isha pengen ikut," ucapnya dengan nada merajuk. Tak lagi sewajarnya perempuan berumur 27 tahun bercerita sendiri sembari merajuk seperti itu. Tapi Alisha hanya ingin merasakan kehadiran ibunya disisinya. Ia memejamkan matanya, menjelajahi setiap kenangan yang ada di ingatannya, tentang saat ia masih kecil hingga hari terakhir bersama ibunya, saat ibunya meninggal, masa-masa sulitnya ketika remaja hingga ia menjadi dewasa. Dan perlahan banyak ingatan bermunculan kedalam kepalanya, sampai tentang gadis itu. Gadis yang menemani hari-harinya selama beberapa bulan belakangan.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Gimana kalo aku lebih milih restoran itu di banding kamu? Gimana kalo aku gak pernah bisa ketemu kamu lagi?"Alisha menarik nafasnya dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Ia tersenyum melihat foto itu.
"Isha pasti bisa kan Ma? Selalu awasi Isha ya Ma," gumamnya.
lalu menaruhnya kembali kedalam laci.
"Wanita itu benar. Aku harus liat dunia, apa yang aku takutkan belum tentu benar-benar terjadi."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tubeco.-----------
Hai, hahaha
Aku terlalu gabut😣
Gak tau mau ngapain lagi😂Yang nyariin bos, nih aku kasih😂
Pendek doang tapi😂Kritik dan saran di butuhkan.
TerimakasihSalam cinta,
Hotchocogirl.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfectionist Boss (GxG)
Fanfiction[Completed] ---------------------------------------------------------- Bagaimana jika Bos mu adalah manusia yang sangat Perfeksionis ? wajahnya yang sangar bercampur dengan ekspresinya yang dingin, kau tak akan mampu menatap matanya walaupun hanya s...