1 year ago
.
.PIP
PIP
PIP
PIP
.
.
.Bau khas desinfektan di dalam ruangan ini menguar tajam. Ruangan ini memiliki tembok putih, lantai putih, tempat tidur, meja beserta kursi di dalamnya juga putih.
Bahkan selimut dan pakaian yang ia kenakan pun putih.
Di kamar serba putih inilah dirinya berbaring. Menutup mata tanpa tahu dirinya telah dipasangi selang-selang--dan bahkan kabel-- penyambung kehidupan.
Apakah ia masih hidup?
Berdasarkan alat buatan manusia yang terletak di samping tempat tidurnya, ia masih hidup dengan deteksi denyut dan ritme jantung yang lemah.
Jauh di dalam alam bawah sadarnya, ia sedang berjuang dengan berbagai pilihan yang akan membawanya pada hidup atau mati.
.
.
.Lorong ini gelap, berkabut, tak berujung dengan jalan setapak yang kecil.
Ah, andaikan aku bisa lebih tinggi dari ini. Aku akan memiliki kaki yang panjang dan aku bisa lebih cepat sampai di ujung lorong.
Ukuran lorong ini cukup sempit, hanya muat satu rentangan tangan. Temboknya sedingin es, serta udaranya sedikit. Aku pikir kandungan oksigennya tak akan cukup untukku hingga ujung lorong nanti.
Tunggu sebentar..
Apakah aku masih butuh oksigen?
Ngomong-omong harusnya aku kan sudah mati.
Tapi sepertinya kegiatan mati itu tidak hanya sampai disini?
PYAASSS
Ugh, apa ini?
Mendadak jadi silau sekali. Refleks, aku menutup mata dengn kedua tanganku.
Ah, apakah ini sinar dewa?
Apakah ini yang disebut dengan tuhan?
Ataukah dia malaikat?
"Mengapa kau ada disini? Belum waktunya kau kesini, anak muda"
Belum sempat aku bertanya, Dia sudah bertanya duluan.
"Apakah kau adalah Tuhan ku?"
Kuberanikan diri bertanya sambil membuka mata. Anehnya, rasanya sudah tidak sesilau tadi, meskipun apa yamg aku lihat tidak terlalu jelas hanya seberkas cahaya yang amat terang.
"Eksistensiku menurut manusia adalah apa yang mereka yakini. Jadi anggap saja aku sebagai apa yang kau yakini"
Ah, beginikah caraku akhirnya menghadap Dia?
"Tuhan, apakah aku sudah mati?"
"Apakah mati benar-benar menjadi tujuan hidupmu?"
Aku tengah berpikir, ragu untuk menjawab.
"Mengapa kau memutuskan untuk mengakhiri hidup jika kau saja ragu dan tak benar-benar memahami keinginanmu?"
Layaknya kaset rusak, beragam memori terputar acak.
Sedari kecil tidak punya orang tua.
Hidup luntang-lantung, berkali-kali dititipkan pada kerabat jauh yang ujungnya tak lagi sanggup menampungku.
Tidak punya teman.
Kehidupan cinta yang tidak pernah baik.
Mengalami abusive relationship.
Disaat aku sudah memberikan segalanya, aku pun dikhianati, lalu ditinggalkan.
Bagaimana tidak ingin mati saja?
"Aku... Aku ingin mati, Tuhan"
"Iya, benar! Aku ingin mati!"
"Semua yang hidup pasti akan mati jika pada waktunya. Aku sudah menjanjikan hal itu"
"Lalu kau kesini, mengakhiri hidupmu sendiri, menyalahi takdirku, dan kau masih memohon padaku? Apa kau bercanda?"
Astaga, benar. Aku hanyalah pendosa. Bahkan Tuhan saja menganggapku hina. Kematianku pun tidak diterima oleh-Nya.
Air mata menetes dari ujung mataku. Bibirku hanya tersenyum getir. Penyesalan memang selalu datang terakhir.
"A-Aku.. Aku hanya tidak ingin jadi manusia..."
"Lalu, kau ingin menjadi apa?"
"Apapun... Asal bukan manusia"
.
.
.tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
My Shooting Star [Weishin][✔]
Fanfiction"Tuhan, bolehkah aku berada di sampingnya dan membantunya?" Pinta sebuah bintang jatuh bxb lee jinhyuk x kim wooseok fantasy