BAB 1 : KEBIASAAN LUNA

81 12 3
                                    

Dari sekian banyak rumah yang berada di salah satu perumahan di Kota Bandung, di sini lah Luna berada, di depan sebuah bangunan sederhana berwarna coklat muda yang tidak begitu luas namun cukup untuk membuat Luna mengingat kembali perihal masa lalu yang sampai sekarang dan mungkin seterusnya tidak akan pernah bisa ia lupakan.

Luna terdiam dan duduk di depan pagar karena ia tidak pernah berani untuk mengetuknya.

Matahari sudah mulai menghilangkan jejaknya. Mungkin ia sudah lelah setelah seharian menerangi bumi tanpa henti. Pertanda bahwa Luna sudah berada di sana sekitar 1 jam. Namun dari tadi yang terdengar hanyalah helaan nafas dan suara angin.

Semenjak kejadian itu, Luna selalu menyempatkan untuk sesekali berkunjung ke tempat ini. Walaupun ia tidak pernah bertatapan secara langsung lagi dengan pemiliknya.

Luna terbangun dari duduknya. Sebenarnya ia tidak ingin pulang terlebih dahulu, Luna masih betah ingin berlama-lama disini. Namun ia sudah melihat sepeda motor yang ia kenali dari kejauhan.

Rafa yang sudah berada tepat di depan Luna memberikan sebuah helm dan mengisyaratkan agar ia segera naik di bangku penumpang. Luna pun tersenyum menerimanya lalu naik ke atas sepeda motor milik Rafa.

"Udah?" Rafa melirik Luna yang berada di belakangnya lewat kaca spion.

Mata Luna bertemu dengan Rafa di kaca dan mengangguk.

Mereka pun akhirnya meninggalkan perumahan itu. Sepeda motor milik Rafa mulai menyusuri jalan raya yang lumayan padat dan bising oleh kendaraan lain.

"Mau sampai kapan Lun?" Mulut Rafa memulai sebuah topik pembicaraan yang bahkan ia sendiri tahu akan seperti apa ujungnya.

"Hah?" Suara Luna terdengar lantang, "Gak kedengeran Raf."

Rafa menghela nafasnya, ia terdiam sejenak, "Mau sampai kapan Lun?" Ujar Rafa meningkatkan volume suaranya.

Luna menyeritkan dahinya, "Sampai kapan apanya?"

"Gue yakin lo ngerti kemana maksud dari pertanyaan gue." Rafa menjawab.

Luna mengangguk ragu, "Bukannya gue udah bilang ya?"

Giliran Rafa yang menyeritkan dahinya, "Bilang apaan?"

"Jangan tanya tentang pertanyaan yang gue gak tahu jawabannya."

"Iya gue inget. Tapi mau sampai kapan lo kayak gini terus Lun? Gak capek apa?"

Luna menepuk bahu Rafa, "Gak tahu."

"Buset!" Rafa kaget, " Gausah mukul juga kali." Protesnya.

"Udah deh lo jangan banyak nanya. Fokus aja sama jalan. Gue gak mau kita kecelakaan gara-gara lo cerewet banget."

Luna tertawa pelan. Mereka pun melanjutkan perjalanan tanpa adanya sebuah percakapan.

Motor Rafa berhenti di depan sebuah rumah yang diketahui milik orangtua Luna.

"Thanks, ya, Raf, udah anterin sampe depan rumah." Luna tersenyum kepada sahabatnya.

Gadis itu turun dari sepeda motor sembari melepaskan helm yang ia pinjam.

Rafa membalas senyuman Luna, "Sama-sama."

"Nih." Luna menyodorkan helm yang tadi ia pakai. Namun Rafa tidak kunjung mengambil helm tersebut. Luna menaikan sebelah alisnya, "Kenapa?"

"Simpen aja, besok gue jemput."

Luna menggelengkan kepalanya dengan semangat, "Gak perlu. Besok gue bareng Tara kok."

Setelah nama itu disebut, Rafa mengambil helm yang sedari tadi berada di tangan Luna. Ia harus ingat bahwa ada batasan yang harus ia patuhi.

Rafa menganggukan kepalanya berkali-kali,"Ohh di jemput pacar toh." Terkesan meledek Luna.

Luna tertawa melihat tingkah laku sahabat dari SMP nya itu.

"Sedih-sedih nya aja gue yang dapet, giliran lagi happy mana pernah tuh, lo inget sama gue." Protes Rafa.

Luna kembali memukul pelan bahu Rafa, "Dih bawel. Udah sana cepet pulang."

"Galak banget lo, Lun." Rafa mengelus bahu yang terkena pukulan Luna, "Mana ngusir lagi. Emang ya, gak tau terima kasih banget manusia yang satu ini."

Luna berdecik sebal, "Lebay. Jadi pulang gak nih?"

Rafa tersenyum jahil, "Emangnya boleh nginep?"

"Udah gila lo?!" Luna nge-gas.

Rafa tertawa kencang, "Bercanda Lun, yaelah serius banget sih jadi orang." Luna memutar kedua bola matanya ke atas.

"Yaudah gue balik dulu ya." Rafa akhirnya mengalah, Ia segera menyalakan mesin sepeda motor kesayangan nya. Luna mengangguk tanda setuju.

Luna melambaikan tangannya kepada Rafa yang maju perlahan dan mulai hilang dari penglihatan. Ia dengan segera membuka pagar dan masuk ke dalam rumah.

Di sisi lain, lelaki tadi pulang dengan perasaan yang mulai berantakan.

-Bersambung-

××××

A/N : HAI TEMEN-TEMEN!
Selamat datang di cerita saya yang diketik pas lagi libur panjang karna ada krisis virus corona hahaha.

Maaf kalau ada kesalahan dalam penulisan. Namanya juga amatiran :D

Saya pikir, saya akan update cerita ini setiap hari. Saya tau kok gimana sebelnya kalau di gantung pas lagi baca cerita dan harus nunggu sampai minggu depan.

Makannya saya butuh banget support dari kalian. Saya tipe orang yang kalau udah ketemu bantal, lepasnya bisa sampai tahun depan. Hahaha pasti ada dong yang satu jenis sama saya? :D

Saya tunggu kritik dan saran yang membangun untuk cerita 'Tentang Lari dan Kembali' di kolom komentar yaa! <3

S, 14 April 2020

Tentang Lari dan KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang