Bab 1 : Tujuh Sekutu

166 15 26
                                    

Kesatuan Kerajaan Latinia, Kerajaan Ius Solistia.


Jivnan, 41-Oksevt, Tahun 1398.


Kurang lebih pukul tujuh malam.


Satu kerjapan cahaya berarti kode untuk bahaya, sedangkan dua kerjapan berarti keadaan aman ; namun malam itu Lera melihat tiga kerjapan cahaya dari kejauhan di hutan yang sangat berkabut nan gelap, dan ia serta para penjaga belum pernah membicarakan tentang apa arti dari tiga kerjapan cahaya tersebut. Lera memicingkan matanya yang berwarna merah ; berusaha untuk fokus dan mencerna informasi yang ia dapat. Sebagai seorang makhluk di spesiesnya, ia mampu melihat lebih jauh dan jelas meski di malam seperti ini. Nafas Lera mulai tidak beraturan. Wajahnya yang berhidung mancung dan berbibir mungil itu terlihat seperti induk kucing yang kehilangan anaknya. Apa-apaan arti kerlipan tiga cahaya tadi?

"Fadil! Kau lihat itu?" Lera berteriak ke rekannya yang berjaga di atas benteng di belakangnya. Si pria itu mengangguk, kemudian mengangkat tangannya di kedua bahu, sama bingungnya.

Rambutnya yang panjang dan sehitam jelaga berkibar saat Lera mulai mengumpat lalu berlari menjauhi gerbang, mengabaikan teriakan para prajurit di belakangnya termasuk Fadil yang mencegahnya untuk nekat menuju hutan tersebut. Ia mengokang senapannya, berlari sekuat tenaga ke arah cahaya tersebut. Dari balik punggungnya, sesosok gelap perempuan pucat -- anggun namun membawa aura kesedihan yang merebak -- semi tembus pandang memakai gaun pernikahan meliuk-liuk melaju mengikuti di atasnya.

Lera melirik ke sosok tersebut yang bernama Elga, menunjuk ke hutan, lalu hantu wanita bermata putih dan berpupil samar itu mengangguk sebelum melesat cepat ke arah belantara pepohonan di depannya.

***

Keadaan di balai pertemuan tersebut hening. Tensi penuh ketegangan menekan dari segala penjuru meja coklat besar tempat figur-figur penting itu rapat. Bram baru saja selesai mengungkapkan pendapatnya. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan di meja. Cahaya bulan berkilauan menembus kaca jendela, menyoroti dari kiri rambut acak-acakan hitam legamnya serta separuh dari brewoknya. Ia melemparkan pandangan menantang.

"Jadi," Sahut seorang wanita memecah keheningan. Raut wanita berambut pendek sebahu berwarna cokelat teh dan memakai mahkota itu tetap tenang, "Apakah ada yang ingin ditambahkan kembali?" Lanjutnya.

Putri yang berwajah ceria nan hangat itu menunggu layaknya seorang ibu yang berdiam diri sabar sementara anaknya bermain perosotan. Lampu kunang-kunang -- atau yang disebut kelpa -- meneduhi muka oval sedikit berbintik-bintik sang Putri. Wajah yang mampu membuat hampir setiap pria ingin menjadikannya sebagai teman hidup itu kini menyunggingkan senyum hangat.

"Davika Yang Mulia? Bukankah ide Pangeran Bram tersebut sangat beresiko?" Tanya Patih Arkanis Rudolfo sembari membetulkan kacamata bulan separonya yang melorot. Ia menggaruk hidungnya yang berkeringat.

"Tentu. Tidak ada hal yang selama ini kami bertujuh lakukan tanpa resiko, Patih Rudolfo. Toh, pada akhirnya kami baik-baik saja, kan?" Jawab Davika tersenyum manis sembari bertukar pandangan dengan Bram yang nyengir. Terdengar bisik-bisik gelisah dari segala sisi di ruang rapat itu.

"Saya sendiri sih tidak keberatan." Tukas seorang anak kecil bertelinga lancip. Kacamata gogel berwarna cokelat kayu bertengger di dahinya. "Lagipula kami berdelapan, bukan bertujuh." Lanjutnya sembari melirik kesal pada Davika. Davika terkikik kecil sembari mengisyaratkan gestur meminta maaf.

Si bocah Krucaci itu menggeser kursinya mendekat ke Bram.

"Kak Bram?" Bisiknya.

Bram menengok. Si bocah mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah sembari melirik ke arloji sihir di pergelangan tangan kirinya.

Sadana #1: Takdir Tiga MakhlukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang