Dua tahun sebelumnya..
---
Tanah Bebas Sanskritia, Provinsi Vredajvatha, Laut Drakensi.
Zerov, 7 Aujaliv, Tahun 1396.
Pukul sebelas siang.
---
Imajinasi adalah sekutu terkuat. Apalagi, di laut yang luas dan tenang seperti ini. Sebagai seorang nelayan, sudah barang tentu ketika engkau harus mempelajari serta menghafal banyak hal. Arus ombak, cuaca, daerah mana saja yang penuh terumbu karang, serta pola-pola rumit saat spesies ikan-ikan yang bisa kau tangkap sedang berenang mencari makan. Belum lagi, fungsi peralatan-peralatan yang kau bawa. Itu semua sungguh hal yang membosankan, setidaknya bagi Bram.
Ia mengusap peluh di dahinya. Yang membuat Bram mau menjalani penafkahan hariannya itu, tak lain dan tak bukan adalah dua hal : Kebaikan Paman Tengger – Paman sekaligus ayah angkatnya – yang sederhana namun telah menjadi orang tua asuh bagi Bram semenjak umur empat tahun, serta fakta bahwa Bram gemar menantang laut yang sukar diprediksi dengan imajinya.
Bagi Bram, imajinasi bukanlah khayalan. Imajinasi adalah skenario dalam kepalamu untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi. Kamu membayangkan Naga? Tulislah sebuah cerita tentang Naga. Siapa tahu, ceritamu bagus dan kau terkenal. Kau berimajinasi tentang wanita cantik? Cari dan dekatilah. Barang kali, kau bisa memenangkan hatinya. Dan masih banyak contoh lain yang selalu Bram lakukan dengan imajinasinya.
Seperti siang ini, pria berkumis-brewok rapi serta berkulit cokelat cerah, serta memiliki raut muka serius itu sudah sejam berkeliling dengan kapal ikan tuanya. Sialnya? Dia belum menemukan kawanan ikan sarden. Padahal, biasanya mereka bergerumbul, berenang beramaian dengan lincahnya di koral maupun gugus terumbu yang telah dihafalnya. Bram sedikit melambatkan laju kapalnya.
Kapal itu bertenagakan dinamvo dengan aguna sebagai bahan bakarnya. Dicat dengan warna merah darah, kapal seukuran dua kamar tidur itu merupakan hadiah dari Paman Tengger untuk Bram saat ulang tahunnya yang ketujuh belas. Bram memang mencintai kapal Pamannya itu semenjak dia mengetahui bahwa ia diselamatkan dan dibawa Pamannya menggunakan kapal tersebut. Kini, kapal tersebut sudah dua puluh tahun lebih terkena sinar matahari dan melawan ganasnya ombak. Menyebabkan catnya terkelupas, warna kayunya memudar, serta performanya menurun.
Bram menengadahkan kepala, setelahnya menyipit melihat matahari dengan ekor matanya. Pancaran sinarnya membakar tengkuk Bram. Ia sebenarnya tak membutuhkan penunjuk waktu karena ia hafal posisi matahari sebagai penunjuk separo hari, dan peletakan bulan untuk alat penunjuk separo hari gelap sisanya. Biasanya, di saat matahari hampir mencapai puncaknya sebelum perlahan menurun lihai nan pelan, para kawanan ikan ini seharusnya sudah menampakkan diri. Bram menghentikan laju kapalnya.
Bram merengut, sebentar kemudian mengambil sebatang rokok dari tas ransel berwarna cokelat peti mati yang nampak butut ; dilunturkan oleh panasnya sang surya, teriris-iris tercabik ganasnya angin laut, dan ditempa kerasnya kayu kapal yang terhantam gelombang. Pemantik lawas kesayangan Pamannya yang ia pinjam diam-diam, ia cetikkan. Sembari memandang mata kail, tasi, dan umpan, Bram berpikir apakah ia harus berburu target besar yang sulit, atau kerumunan ikan sekali jaring. Keduanya sepadan. Masalahnya adalah, kedua opsi tersebut sangat tidak memungkinkan saat ini.
Saat Bram sedang merenung, renungannya buyar karena melihat tiga sirip yang berbaris lurus berdekatan di permukaan air. Sirip tersebut timbul, selanjutnya tenggelam kembali. Bram berdiri terperanjat; menyebabkan asap dari rokoknya mengembun panas di matanya yang memunculkan rasa pedas nan berair. Remahan abunya yang terjatuh saat ia mendadak berdiri, sedikit membakar beberapa helai kumis Bram. Ia yakin ia tak salah lihat. Mata Bram bergerak-gerak cepat memindai area lima puluh meter di depannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sadana #1: Takdir Tiga Makhluk
Fantasy***Buku Pertama Dari Pentalogi Sadana** Empat Negara, Tiga Takdir, Dua Kehidupan, Satu Kematian. --- Bram, yang merupakan nelayan ceria yang akan diangkat sebagai Ketua Nelayan di desanya, berpedoman hidup bahwa setiap orang haruslah memiliki orang...