6. Sakit

11 1 1
                                    

"Raja, Permaisurinya mana, Raja?"

Satu pertanyaan, namun cukup membuat Aaron muak. Entah berapa puluh kali pertanyaan tersebut terus terulang seperti gaung. Cowok itu melirik sinis pada Jun, orang yang paling banyak bertanya pertanyaan tersebut.

"Aww, Mas Aaron galau karena Permaisurinya sakit," Jun lagi, dengan mulut sampahnya.

Aaron tak ambil pusing, lebih memilih merapikan poninya yang berantakan hingga--entah kenapa-- mengundang tatapan dari para siswa dan siswi yang berlalu lalang.

"Raja," lagi-lagi Jun, kini memanggilnya dengan irama.

"Permaisurinya man-- AHH AMPUN!" Jun mengerang, telinganya ditarik Aaron keras-keras.

"Say it again," tantang Aaron.

Jun meringis, menahan tangan Aaron yang masih tak lepas dari telinganya. "It.. again-- AHH IYA-IYA MAAF!" Aaron tak peduli, dengan muka datarnya justru makin kencang menarik telinga Jun.

"Ampun Ra--Ron, sakit banget sumpah," rengek Jun. Baru bernapas lega tatkala tangan Aaron menjauh dari telinganya.

Aaron tak mengerti, apakah sifat Kai yang terus mengikutinya adalah bawaan dari kelima orang ini?

Yah. Jun, Gema, Ardan, Geri, dan Kinan tiba di meja yang ia tempati, langsung berbincang akrab dan makan dengan santainya seolah tak melakukan hal yang aneh. Sementara Caca enggan ikut, merasa tak enak jika ia adalah satu-satunya siswi di antara kumpulan siswa bar-bar urakan.

"Ah kasian. Permaisurinya masuk, Rajanya enggak. Giliran Rajanya enggak, Permaisurinya masuk," Kini Gema yang berucap.

Semua orang di meja tersebut diam sejenak, tampak mencerna.

"Bedanya apaan, Malih?" Jun mencomot batagor pada mangkuk Gema.

"Tau, nih," Kinan berdecak, asal mengambil teh manis milik Gema dan meminumnya santai.

Gema melongo, kemudian menatap sedih mangkuk batagor dan teh manisnya bergantian. "Kalian kok gitu sama Gema?" Tanyanya sedih.

"Eh, tapi bener, deh, Ron," Jun tiba-tiba angkat suara, membuat atensi beralih padanya. "Kai beneran hujan-hujanan kemaren?" Lanjutnya.

"Iya, kemaren kata dia, kuotanya dihabisin Geri," bukan Aaron, melainkan Gema yang menyahut, mau tak mau Geri merasa bersalah.

"Terus dia ke rumah lo, Ron?" Tanya Jun lagi. Aaron mengangguk mengiyakan.

Gema mengaduk tehnya yang tersisa setengah, seperti ingin berucap namun ragu.

"Gue mau jenguk, ah," sambar Geri, menyandarkan punggungnya pada bangku kayu.

"Ikut," kata Gema. "Kalau gue gak nahan dia piket, mungkin tu cewek gak akan hujan-hujanan," imbuhnya.

"Kalian ikut, gak?" Tanyanya pada Kinan, Jun, Aaron dan Ardan.

Kinan menggeleng. "Gak enak sama orang tuanya kalau yang jenguk cowok semua."

Jun mengangguk setuju. "Emaknya pasti mikir aneh-aneh."

Ardan juga mengangguk. "Emaknya pasti mikir 'ini anak gue kok temennya laki semua,'" sahutnya, sengaja membuat suara ala ibu-ibu.

Sementara Geri yang terlihat paling santai. "Ortunya Kai udah kenal gue, sih," katanya sombong sembari memperhatikan jemarinya.

"Lo ikut, Ron?"

Semua perhatian kini beralih padanya, seketika membuat Aaron gugup. Cowok itu menarik pelan hidungnya secara refleks, kemudian bernapas lega saat bel masuk berbunyi--yang justru membuat teman-temannya berdecak.

AlihJun tiba-tiba bangkit dan berlari ke arah parkiran, meninggalkan yang lain di belakang dengan tampang cengo.

🍁🍁🍁

"Udah turun," gumam Ayunda saat melihat dua angka yang tertera pada termometer. "Masih pusing?"

Kai mengangguk kecil, matanya masih terasa berat dan wajahnya masih terasa panas. Gadis itu hendak kembali tidur jika saja suara kakaknya tak terdengar.

"Halah lebay. Paling gak mau ke sekolah," kata Maira, tak beralih dari ponselnya.

"Dibully kali, gak punya temen," imbuh Satria sambil bertopang dagu. Hendak saja Kai membuka mulut, suara mamanya menginterupsi.

"Udah, adiknya lagi sakit, juga," peringat Ayunda sebelum segera bangkit dan beranjak meninggalkan kamar, diikuti Maira di belakangnya. Namun masih ada satu hal yang cukup mengganggu. Ya, Satria.

Kai sedikit mengangkat kepalanya, memastikan bahwa kakak laki-lakinya itu telah menyusul kepergian mama dan kakak tertuanya. Namun sayang, Satria masih di sana sambil sibuk menggulir layar ponsel hitamnya.

Merasa diperhatikan, Satria mendongak. "Apa liat-liat?" Suara bariton itu terdengar galak, entah apa alasannya.

Kai berdecak. "Sana kek, bang. Ngapain sih di sini?" Kai menyahut ketus, menyandingi Satria.

Mata lebar Satria menyipit. "Lo ngusir biar apa? Mau bucin bucinan?"

"Hah? Apaan, sih?"

Satria menaikkan sebelah alisnya sambil mengangkat sebuah plastik bening yang berisikan jepitan rambut warna-warni. Kai terbelalak, segera bangkit terduduk dengan cepat dan mengambil jepit tersebut dari tangan Satria sama cepatnya.

Tak lama pandangannya mengabur, kepalanya terasa berputar. Kai beranjak dari ranjangnya dengan langkah terhuyung sebelum berlari ke arah kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Satria muncul terburu-buru setelahnya, mengikat rambut pendek Kai dan mengusap pelan punggungnya sembari menatap bersalah.

Satria meringis. "Maaf, ya? Jangan lapor mama, please," mohonnya.

Gadis itu berbalik setelah selesai dengan urusannya, menatap Satria bengis. Saat akan memukul keras-keras punggung kakaknya itu, tangannya terhenti.

Kai mendapatkan ide.

🍁🍁🍁

Berantakan, gak jelas, gak nyambung, gak rame

Iya oke.

Part ini dibuat pendek dulu, next update aku buat lebih panjang secepatnya, k?

-SleepyHead
10 Mei 2020

INSIEME (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang