Chapter 5

46 6 2
                                    

Normal POV
Tour sekolah pun usai, para peserta MPLS kembali ke gugus mereka untuk menerima materi selanjutnya. Para panitia hanya mengikuti sampai di depan ruangan saja. Selebihnya mereka menunggu di luar sampai pergantian jam. Iqbal merasakan kejanggalan dalam panitia yang hadir di sana. Sesosok gadis kecil berkuncir kuda yang 2 hari ini selalu bersamanya tidak ia temukan keberadaannya sejauh mata memandang.

"Ca, Christy mana?" tanya Iqbal, nada cemas sangat terasa dalam ucapakan .

"Christy padus, Bal. Ana apa?" jawab Chaca mengerutkan alis, menatap heran sekaligus curiga pada sosok pria yang mencari keberadaan sahabatnya itu.

"Gak, gapapa," balas Iqbal datar, mengamati sekitar.

Chaca menatap Iqbal dengan tatapan selidik, lalu mengangkat bahu, tak ingin ambil pusing dengan tingkah Iqbal itu.

***
Christy POV

Bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa bersiap untuk pulang, begitu pula para peserta MPLS juga bersiap untuk pulang. Lain halnya bagi mereka yang ada di studio musik. Tampak gurat lelah, letih, lesu, di wajah setiap orang di dalamnya, terkecuali Pak Parjo, yang masih sangat bersemangat menekan setiap tuts pada keyboard di depannya.

"Ya, anak-anak, latihan hari ini selesai. Besok latihan lagi jam ke-7 dan 8 lagi ya. Kalian bisa pulang sekarang," kata Pak Parjo.

Semua orang bernapas lega dan bergegas keluar dari ruangan yang sudah menyiksa mereka selama dua jam pelajaran. Namun, langkahku terhenti saat suara guru musik yang paling membuatku kesal memanggil namaku.

"Eh, Ty, pie jadine? Sok pas HUT sekolah sidane meh nyanyi lagu apa?" tanya Pak Parjo membereskan buku dan alat musik mikiknya.

"Hmm, gak tau, Pak. Masih bingung. Nanti saya pikirkan lagi. Pakai gitar, Pak?" balasku juga ikut membantu membereskan alat musik lain.

"Yo nganggo toh. Nah, engko nyanyi sambil gitaran, kaya pas perpisahan ndek wingi. Keren toh, kaya ning TV-TV iku," kata Pak Parjo sambil mengacungkan jempol dan menaik-turunkan alisnya.

"Ya udah, Pak, kalau gitu saya pamit pulang," kataku sambil salim ke Pak Parjo.

Suasana sekolah mulai sepi. Para siswa sudah tak banyak terlihat di lorong-lorong sekolah. Aku membuka pintu kelasku dan melihat beberapa temannya masih tinggal di sana.

"Haloo gess. Do lahopo eg? Tek gung bali?" tanyaku memasukkan barang-barangku ke dalam tas.

"Sing piket dina iki, dikon piket neh pas mulih sekolah," balas Galih sambil menyapu lantai.

"Oalah, ya wis, tak bantu, dina iki piketku," kataku sambil mengambil sapu di pojok kelas.

Detik demi detik, menit demi menit telah berlalu. Kelas sudah tampak lebih rapi daripada sebelumnya. Aku mengambil tas dan berpamitan pada yang lain.

"Pulang dulu ya, guys!" pamitku melambaikan tangan dan berjalan keluar kelas.

"Iyaa!!" sahut mereka, satu per satu meninggalkan kelas itu.

Sepi dan sunyi, tidak ada siswa satu pun di sana. Hanya terdengar langkah kakiku yang menemani menuju parkir sepeda. Pikiranku mulai merencanakan berbagai skenario yang akan ku lakukan setibanya di rumah. Langkahku terhenti, menatap ke arah pria yang berjalan tak jauh dariku.

"Loh, Iqbal! Tek gung bali?" tanyaku mendekat dengan senyum manis di wajahnya.

"Ana urusan, lha kowe?" balas Iqbal datar, menatapku yang berjalan di sampingnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

He is My SchieldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang