"Eomma, aku akan ke Paris lusa dan aku sudah siapkan semua kebutuhanku selama disana. Eomma tidak perlu khawatir, Bomi juga sudah membantuku" ucapku pada Eomma sambil membantu menyiapkan makan malam.
Hari ini aku berada di rumah Eomma dan Appa, aku selalu menghabiskan waktuku bersama mereka sebelum aku berangkat bertugas. Semacam ritual.
Tidak ada waktu yang lebih baik selain bersama keluarga bukan?"Jaga dirimu baik-baik, telepon Eomma sesekali. Eomma-mu yang paling merindukanmu apabila kau sedang pergi jauh" jawab Appa yang sedari tadi sibuk menatap layar pintarnya.
"Appa, kau tidak merindukanku juga? Kenapa hanya Eomma? Huh"
"Sudah-sudah, kami akan selalu merindukanmu Ara. Walaupun kau sudah sering bepergian, tidak mungkin Eomma dan Appa tidak kesepian ketika kau pergi? Kau kan putri kesayangan kami" ujar Eomma yang baru saja meletakkan piring di meja makan.
"Eomma, aku putrimu juga. Kenapa hanya Ara yang jadi kesayangan?"
"Aigoo... apa kau baru saja iri padaku?"
Aku tertawa remeh dan jelas itu membuat Eomma dan Appa pun ikut menertawakan sikap Bomi yang mendadak manja seperti itu.
"Ayo kita makan malam, Eomma sudah buatkan nasi goreng kesukaan kalian."
Aku dan Bomi serentak menjawab dengan semangat layaknya anak kecil yang senang diberi permen "Eomma yang terbaik!"
Makan malam kali ini terasa berbeda untukku, entah mengapa lebih hangat dari biasanya dan canda tawa menyelimuti isi rumah kami.
***************************************
Terangnya cahaya rembulan yang masuk dari celah jendela membiarkan udara dingin perlahan masuk di tengah-tengah percakapan kami.
"Tidak terasa ya lusa kau akan berangkat, aku mendadak sudah merindukanmu sekarang."
Sejujurnya Bomi selalu seperti ini ketika aku akan pergi.
"Jangan berlebihan, aku pergi hanya beberapa hari. Tidak akan terasa karena kau tahu waktu berjalan begitu cepat akhir-akhir ini."
Satu anggukan dilayangkan oleh Bomi. Setelahnya, kami pergi ke kamar masing-masing meninggalkan udara dingin semakin lama muncul ke permukaan.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak tidur di kamar kecilku, kamar dengan wewangian lavender yang membuat diriku tenang dan cepat-cepat ingin tidur. Kamar yang memiliki kenangan masa kecil bahagiaku dengan Bomi dan juga orang tuaku.
Aku mengambil selimut dan mencoba memeluk kasur kesayanganku. Sebentar-sebentar, aku terlihat menyedihkan dengan kata memeluk. Akan ku ralat, aku mencoba berbaring di kasur ini hehehe
Drrttt... Drrttt...
Ponselku bergetar, satu notifikasi pesan masuk dan aku cukup terkejut karena pengirim pesan itu adalah Jimin.Aku hanya ingin memastikan kau sudah menyiapkan apa-apa saja yang diperlukan selama liburanku nanti. Aku tidak mau ada satupun hal yang tertinggal, semuanya harus sempurna.
Satu notifikasi kembali muncul.
Jika kau tidak membalas pesan ini kurang dari 5 detik, aku anggap kau mengerti.
Bagaimana aku ingin membalas pesannya jika sudah dibombardir seperti itu? Belum pergi saja sudah menyebalkan. Bagaimana nanti?
Baik Tuan Jimin.
Singkat. Padat. Jelas.
Itu sudah cukup untuk mewakili rasa kesalku karena tiba-tiba dapat pesan seperti itu.Aku mencoba memejamkan mata dan beristirahat. Perlahan aku mulai terlelap dan masuk ke dunia mimpi. Tunggu, apakah aku akan bermimpi? Aku juga tidak tahu.
*****************************************
Di pertengahan malam ponselku berdering kembali, aku terbangun. Segera ku ambil ponsel dari meja nakas.
Lagi? Sudah aku duga pasti dia.
Kenapa pria ini menganggu sekali sih daritadi? Masih terlalu dini untuk dia menggangguku.
Apakah tidak bisa besok pagi saja? Tanpa pikir panjang ku geser tombol berwarna hijau pada layar ponselku."Ada apa Tuan Jimin?" jawabku malas.
"Lupa ya? Aku kan tidak suka dipanggil Tuan."
Dia menggerutu di seberang sana.
Aku kembali mengulang kalimatku saat pertama kali menjawab panggilan darinya dan menghilangkan kata yang ia tidak sukai itu.
"Ada apa Jimin?"
"Jam berapa penerbangan kita lusa?"
Seriously? Dia menelepon hanya untuk ini? Menyebalkan.
Aku tidak lupa mengirim salinan tiket padanya bukan? Jika saja dia berada di hadapanku, sudah ku layangkan satu pukulan di kepalanya. Tidak jadi satu, rasanya ingin aku pukul berkali-kali.
"Maaf, tapi saya sudah mengirim salinan tiketnya. Apa Anda belum terima emailnya? Perlu saya kirim ulang?" jawabku berusaha profesional.
"Tidak perlu, aku akan mengeceknya nanti. Maaf sudah menganggumu. Dan satu lagi, berbicaralah santai padaku. Sudah aku bilang kan bahwa usia kita tidak berbeda jauh."
Aku bisa mendengar dia tertawa kecil disana, aku tidak mengerti apa yang ia tertawakan. Buru-buru aku akhiri panggilan tersebut setelah mengatakan "Baiklah Jimin."
Terpikir olehku, apakah benar rumor tentang Jimin bahwa dia suka menggoda perempuan lain walaupun dia sudah menikah? Jika memang ya, sok ganteng sekali pria ini.
Sebentar-sebentar, pertanyaan macam apa ini yang tiba-tiba muncul di benakku? Tidak-tidak, aku tidak ingin memikirkannya. Hanya saja aku teringat beberapa karyawan membicarakannya ketika jam makan siang.
Kenapa aku harus peduli sih? Huh menyebalkan sekali. Aku kembali memejamkan mataku. Kau harus beristirahat Ara, berusahalah! Batinku perlahan sambil menghela napas.
jadi gimana untuk part ini? kesel ngga kalian kalau jadi Ara?
atau mau diganggu Jimin juga?
Jimin nya jahil disini, kan aku jadi pengen dijahilin juga wkwkw ndak boleh protes ah kalian 😝yang masih puasa tetep semangat ya! aku lagi galau nih karena kantorku WFH nya diperpanjang :')
padahal pengen cepet2 masuk kerja, kangen makan mie ayam ganja
loh kok ganja sih kak? IYA SOALNYA BIKIN CANDU INI MIE AYAMNYAAAA hiya hiya hiya
canda ya guys~ditunggu comment dan votenya, see you on next chapter! ❤
YOU ARE READING
SAUVEUR
Fiksi Penggemar"Wanita seperti apakah diriku?" "Haruskah aku bersamanya?" Itulah pertanyaan yang selalu muncul di dalam kepala seorang Lee Ara. Seorang gadis, yang selalu memikirkan segala sesuatunya dengan matang dan hati-hati. Namun segalanya berubah ketika ia d...