1

372 88 203
                                        

Iridescent
Aleiodeth©

|1878 kata|

❄----------❄

AKU benci banyak hal.

Misalnya saja dikelilingi banyak orang yang menganggapku sebagai teman ketika mereka menginginkan sesuatu dariku dan membuangku ketika aku melakukan kesalahan kecil pada mereka. Orang seperti itu biasanya memiliki banyak wajah yang bahkan mereka sendiri tak tahu yang mana wajah asli mereka saking munafiknya.

Ah, akhir-akhir ini aku sarkas sekali. Jadi teringat seorang wanita tua yang tak sengaja menyenggol lengan seorang pria di bus tadi pagi, apel-apel kecil dari keranjang wanita itu mulai menggelinding di lantai bus tapi tak ada seorangpun yang mau membantu memungutnya, aku memungut beberapa yang menggelinding tepat di depanku dan mengembalikan pada wanita itu. Sementara pria yang disenggolnya menatap geram dan memaki-maki si wanita hingga perhatian seluruh penumpang bus tertuju pada mereka.

Maksudku, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa itu bahkan tak layak di sebut senggolan dan pria itu memaki-maki seolah ia adalah manusia paling suci di dunia. Setelah beberapa saat terdiam dengan perasaan sedih -kurasa- wanita tua itu segera turun dari bus, membiarkan apel-apelnya tetap menggelinding di lantai kecuali yang sudah kupungutkan untuknya tadi.

Dengan begitu, apa sekarang aku sudah menjadi orang baik? Tidak juga, lagi pula siapa aku yang beraninya melabeli diriku sendiri sebagai orang baik. Sungguh ironis sekali.

Setidaknya kejadian di bus itu kembali menyadarkanku bahwa tak semua orang di dunia sebaik yang kukira. Justru kebanyakan dari mereka akan menertawakan terlebih dahulu ketika melihatku tenggelam alih-alih berpikir untuk menyelamatkan nyawa orang yang jelas-jelas bisa melayang di depan mata mereka.

Tapi hidup itu pilihan, bukan? Entah aku memilih menjadi orang baik, menjadi orang yang berpura-pura baik, atau orang yang tidak baik sama sekali. Itu pilihan. Semua orang berhak memilih jalan hidupnya dan aku pun berhak memilih jalan hidup yang kumau, contohnya jika keberanianku sudah menerobos batas normal aku akan beranjak dari kursi ini, melenggang keluar dengan sombong tanpa memperdulikan tatapan membunuh dari guru Biologi yang mengawasi setiap gerak-gerikku dari sudut ruangan yang tak terdeteksi. Ah, mungkin suatu saat nanti aku benar-benar harus melakukannya.

Setelah kelas Geografi yang membosankan, aku membusuk selama empat jam pelajaran di kelas Biologi yang beraromakan entahlah, sesuatu yang mengalami fermentasi dengan ragi. Aku bisa mati kering di sini. Semua istilah-istilah itu sama sekali enggan masuk kedalam telingaku tanpa permisi seperti ketika aku menguping sesuatu atau setidaknya menumpang lewat barangkali satu atau dua diantara mereka tertinggal di otak kecilku. Ini adalah tempat aku tidak bisa memilih dan aku amat sangat tidak menyukainya.

Ayolah, matematikawan tidak harus menguasai psikologi, dan Albert Einstein juga tidak bisa membuat bola lampu. Lalu, mengapa aku dituntut menguasai semuanya dengan nilai sempurna? Bukankah setiap orang memiliki porsi masing-masing? Ini sama saja dengan terus makan makanan yang diberikan walau perutku sudah merasa sangat kenyang, dan kuyakin semua bisa menebak bagaimana kelanjutannya.

"Ray!" Seseorang menguncang pelan bahuku. "Ray, ini hasil ujianmu." Pria itu menyodorkan secarik kertas penuh coretan tinta merah di setiap nomor soal yang kuhitung ulang sedikitnya tujuh coretan dari dua puluh soal dengan dua angka merah tercetak tebal di sudut kanan atas.

IRIDESCENT : The HalcyonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang