BAB 3 - Sudah Kenal

15 3 1
                                    


"Makasih ya Pak," ucap Shavira kepada penjual bakso, tidak jauh dari kampus.

Makan bakso berdua dengan orang yang baru saja menemuinya. Warung tidak begitu ramai tapi cukup untuk membuat berbagai suara bising. Tujuan orang datang ke warung ini adalah makan. Mengisi perut agar cacing-cacing tidak pada demo di dalam sana.

Shavira makan dengan santai, maupun sejujurnya perut ini sangat lapar. Apalagi yang ada di depannya adalah semangkok bakso, makanan kesukaannya, dan Raga. Tapi, ia merasa tak nyaman dengan orang yang sedang duduk didepannya sekarang ini. Matanya tak berhenti bergiliran untuk melihat bakso dan orang ini. Bukan untuk menyamakannya, sudah jelas wajah orang di depannya ini tidak bulat seperti bakso.

"Makan seperti biasa saja, tidak perlu melihatku begitu," ucap orang itu tegas namun tidak terkesan memarahi. Shavira melanjutkan aktivitas memakan baksonya.

Boleh saja orang ini duduk di depannya. Tapi, untuk apa kesini kalau cuma untuk duduk. Ternyata ada juga orang yang datang ke warung ini tidak bertujuan untuk makan.

"Apa kak Ryan cuma mau melihatku makan? Tidak mau pesan?" Shavira menawarkan kakak tingkat nya ini untuk ikut memesan bakso.

"Makan saja, lalu kita pergi," ucapnya masih tegas. Untuk apa membawanya kesini kalau orang yang mengajak tidak ikut makan. Memang memalukan ketika sedang serius berbicara dengan seseorang, tiba-tiba cacing dalam perut memberontak demo sehingga menghasilkan nada yang buruk rupa.

Tidak banyak perbincangan sampai akhirnya Shavira selesai makan. Bagaimana dengan Bryan? Kakak tingkatnya itu? Ia hanya menemani Shavira makan sendirian. Motif apa yang membawa wakil presiden BEM itu ingin menemaninya makan bakso. 

Dan sekarang, ia juga yang duluan ke kasir untuk membayar. Shavira tidak tau tujuan Bryan berdiri adalah untuk ke kasir. Jika ia tau, ia bisa menahannya, maupun dalam hati yang paling dalam Shavira sangat berterima kasih dan bersyukur karena sudah di traktir. Perut kenyang tanpa keluar uang. Bukan matre, ia hanya bersyukur.

Tanpa aba-aba Bryan keluar dari warung bakso setelah membayar di kasir. Spontan Shavira juga ikut berdiri dan berjalan ke luar mengikuti Bryan. Sebelum itu ia memastikan apakah benar Bryan mentraktirnya?

"Sudah di bayar sama orang tadi dek," kata penjaga kasir tersebut. Itu sudah cukup untuk memastikan kalau ia sudah di traktir.

Bryan tidak banyak bicara dari tadi, tapi Shavira ingin mengucapkan terima kasih dulu sebelum pulang.

"Kak, terima kasih. Apa perlu aku ganti?" Ucap Shavira basa-basi.

"Tidak perlu. Ikut aku." Bryan langsung menaiki motornya, dan singkat perintah untuk Shavira.

Dengan bingung, Shavira mengikuti perkataan Bryan. 

Melaju membelah jalanan kota menuju ke sebuah tempat. Angin menerpa dengan kencang, menusuk masuk menelusuri tulang. Waktu sudah semakin sore, maupun panasnya kota ini masih bisa terasa.

Kendaraan berlalu lalang, cepat lambatnya diatur oleh tempo si pengendara. Tak jarang pula jalanan di sini macet. beruntungnya sekarang mereka tidak mengalami hal menyebalkan itu. 

Tapi, ada hal yang lebih menyebalkan bagi Shavira. Dari tadi ia bertanya kepada Bryan, kemana ia akan dibawa pergi? Di balas oleh Bryan dengan diam seribu bahasa. 

Sepertinya pertanyaan Shavira diterbangkan begitu saja oleh angin jalan, sehingga tak terdengar oleh telinga Bryan yang ditutupi helm.

Di ujung pandangan. Shavira melihat tempat yang dulu sangat sering diikunjunginya. Masa-masa SMA yang begitu menyenangkan.

Jaraknya tidak jauh lagi. Tepat dipikiran Shavira, Bryan berhenti di pinggir jembatan itu. Tempat ia dan Raga memakan jagung bakar dan membeli gorengan pisang yang masih hangat. 

Sebening Cinta Dalam SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang