BAGIAN 1

639 24 0
                                    

Senja sebentar lagi jatuh di mayapada ini. Matahari sudah tak terasa lagi sengatannya di kulit. Di bawah siraman cahaya senja yang merah jingga, tampak sebuah rombongan pedati yang berjumlah tujuh buah sudah mulai memasuki sebuah kawanan perbukitan yang lengang. Nampaknya, keadaannya amat indah. Apalagi, jauh di depan mata terlihat hamparan rumput bak permadani luas terbentang, yang dilatarbelakangi oleh beberapa bukit yang memiliki ketinggian beragam.
Beberapa buah bukit tampak berdiri sendiri-sendiri. Namun, ada juga yang saling bersambungan seperti barisan benteng kokoh. Entah sejak kapan daerah ini disebut Bukit Serigala. Tapi banyak di antara mereka yang pernah melewati tempat itu melihat dari bawah ujung bukit-bukit itu runcing-runcing, mirip taring serigala. Atau mungkin saja, karena di bukit-bukit itu pernah dijumpai kawanan serigala yang mendiami daerah selatan. Bahkan tak jarang kawanan serigala itu berada di tempat yang sering dilalui para pedagang.
Maka semakin kuatlah dugaan, kalau nama barisan bukit itu diambil dari banyaknya serigala yang mendiami kawasan sekitarnya. Tak heran bila setiap pedagang yang lewat melalui jalan ini harus mempersiapkan segala keamanannya secara seksama. Mereka harus menyewa tukang-tukang pukul yang berkepandaian tinggi atau menyiapkan banyak obor menyala untuk mengusir serigala-serigala itu.
Namun, tak jarang banyak pula pedagang yang harus merugi karena keganasan kawanan serigala yang buas itu. Sebenarnya, bukan hanya kawanan serigala itu saja yang menjadi ancaman para pedagang atau orang yang akan melewati tempat ini. Konon, didaerah Bukit Serigala itu bercokol perampok-perampok yang keganasannya tak kalah dibanding kawanan serigala itu. Namun, para pedagang itu tak mempunyai pilihan lain.
Bukit Serigala memang jalan pintas yang tercepat bagi mereka yang hendak bepergian dari barat ke timur. Demikian pula sebaliknya. Jalan itu diambil, karena biasanya para pedagang memang harus cepat mendapat keuntungan. Sehingga, mereka hampir tak pernah mempedulikan keselamatannya sendiri. Kalaupun para pedagang ingin mencari jalan lain yang aman, maka harus mengitari beberapa buah gunung dan daerah-daerah curam.
Dan waktu yang ditempuh akan lama sekali, sehingga dagangan mereka pasti tidak laku setelah sampai di tujuan. Maka tak jarang rombongan pedagang yang akan berpergian seperti mempertaruhkan nyawa, ketika melewati Bukit Serigala itu. Kalau toh mereka selamat pasti jumlahnya tinggal sedikit sekali. Demikian pula rombongan pedagang yang kini melewati Bukit Serigala ini.
Tampak dua orang penunggang kuda yang membawa golok panjang, berada di depan mengawasi dari kanan dan kiri iring-iringan ketujuh pedati yang penuh berisi barang-barang dagangan. Rombongan itu sendiri bergerak perlahan-lahan seolah bersikap waspada. Masing-masing kusir yang duduk di atas pedati menatap ke sekeliling dengan sorot mata tajam. Sementara, empat penunggang kuda lain masing-masing berada di tengah dan di belakang rombongan.
Kusir pedati yang berada paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar terbungkus kulit hitam dengan otot-otot yang menonjol. Kumisnya tebal dan sorot matanya tajam. Bisa ditebak kalau laki-laki itu seorang pemberani dan tak kenal takut. Sementara di sebelahnya terlihat seorang pemuda tanggung berusia sekitar empat belas tahun. Tubuhnya kurus terbungkus pakaian abu-abu yang lusuh. Wajahnya terlihat tegang dan gelisah, seperti takut akan menghadapi sesuatu.
"Apakah mereka akan menyerang kita, Ayah?" tanya pemuda tanggung itu dengan suara nyaris tak terdengar. Laki-laki setengah baya di sampingnya menoleh, kemudian terlihat tersenyum pahit.
"Kau takut, Puger?" tanya laki-laki setengah baya itu.
Pemuda yang dipanggil Puger itu tak menyahut. Hanya pandangannya yang dialihkan ke depan. Suasana masih terus mencekam. Sedangkan suasana di perbukitan itu terasa lengang sekali.
"Kalau mereka tak kita hadapi, Ayah tak punya pekerjaan, Ger. Hanya inilah satu-satunya yang bisa kukerjakan. Mengawal para pedagang dan barang-barangnya ke tempat tujuan..."
"Ya! Ayah juga pernah bercerita kalau pekerjaan ini baik dan tak merugikan orang lain. Tapi...," sahut Puger, terputus.
"Tapi kenapa, Ger?" desak laki-laki setengah baya yang ternyata ayah dari pemuda bernama Puger.
"Kenapa ada orang yang mencari pekerjaan dengan cara merampok harta benda orang lain? Bukankah hal itu merugikan?" tanya Puger sedikit kesal.
Laki-laki setengah baya itu terdiam sebentar. Kemudian, terdengar helaan napasnya yang berat. "Tak perlu heran, Puger. Di dunia ini banyak orang yang mencari jalan termudah untuk mencapai keinginannya. Termasuk perampok. Mereka tak peduli, apakah korbannya akan rugi atau menderita...," jelas laki-laki bertubuh besar itu lagi. Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak terdengar teriakan seseorang dari ujung depan sana.
"Berhentiii...!"
Laki-laki yang menjadi kusir pedati paling depan langsung menarik tali kekangnya, kemudian lompat dari tempat duduknya. Sedangkan salah seorang penunggang kuda dengan pakaian ketat warna merah dan berada di depan, juga menghampiri. Wajahnya tampak cemas, melihat beberapa orang telah menghalang perjalanan.
"Kita dihadang, Kang?"
Laki-laki setengah baya itu mengangguk, kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan. Tak begitu jauh di depan mereka, telah berdiri tegak tiga sosok tubuh berwajah seram sorot mata tajam menusuk. Yang seorang memakai pakaian hitam dengan selempang kain warna kuning tua. Rambutnya panjang bergelombang berwarna kuning keemasan. Tubuhnya tak terlalu besar, namun memiliki kuku-kuku yang runcing dan panjang. Tangan kanannya tampak menggenggam sebuah cambuk berwarna keemasan.
Berdiri di sebelah kirinya adalah seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Rambutnya juga panjang. Tangan kirinya tampak disambung dengan besi yang berbentur cakar serigala sampai sebatas siku. Sedangkan tangan kanannya memegang senjata berbentuk arit. Sementara orang yang terakhir berusia hampir sama dengan orang yang tangan kirinya terbuat dari besi. Hanya saja, tubuhnya sedikit lebih kurus. Mata kirinya tampak tertutup kain hitam. Senjatanya berupa tombak bermata tiga.
"Kisanak! Aku Suriareja yang memimpin rombongan ini. Dan aku mohon pada kalian agar diizinkan lewat" ucap laki-laki bertubuh besar dan berusia setengah baya dengan nada sopan, setelah memperkenalkan diri. Ternyata, namanya Suriareja.
"Aku Ki Lodaya, di sebelah kiriku adalah muridku. Namanya, Gumarang. Dan sebelah kananku muridku juga. Namanya, Rajendra," sahut laki-laki yang mengaku bernama Ki Lodaya. Lak-laki bernama Suriareja mencoba tersenyum.
"Apakah itu berarti kami boleh lewat?" tanya Suriareja.
"Tentu saja. Tapi, setelah semua barang bawaan itu kalian tinggalkan!" sahut Ki Lodaya tegas.
Suriareja tersentak kaget, namun berusaha menyembunyikan perasaannya. "Kisanak Kami hanya rombongan pedagang kecil yang mengadu nasib untuk sekadar sesuap nasi buat makan anak istri. Harap sudilah kau mengerti," sahut Suriareja merendah.
"Aku tak peduli dengan alasan kalian. Yang jelas jika ingin selamat, tinggalkanlah harta benda yang kalian bawa dalam pedati itu!" lanjut Ki Lodaya dengan suara semakin keras.
Orang-orang yang berada dalam ketujuh pedati itu tampak cemas. Mereka sama-sama melongokkan kepala, melihat ketiga sosok tubuh di depan dengan sikap menghadang. Wajah mereka kelihatan sama sekali tak bersahabat. Meski begitu, masih terbersit harapan di benak mereka. Karena, mereka yakin kalau Suriareja yang dipercaya untuk mengawal rombongan ini beserta sepuluh orang anak buahnya pasti mampu membereskan ketiga begal ini. Sementara itu tampak kesepuluh anak buah Suriareja telah berada di belakang dengan sikap bersiaga, sambil menggenggam senjata masing-masing.
Melihat itu Ki Lodaya dan kedua muridnya hanya tersenyum sinis. "Kuhitung sampai tiga. Dan kau harus menentukan pilihan!" ancam Ki Lodaya memberi peringatan.
"Ki Lodaya! Aku...," Suriareja bermaksud memberikan alasannya lagi, namun Ki Lodaya seperti tak mempedulikannya.
"Satu!"
"Ki Lodaya! Cobalah sedikit bermurah hati, dan jangan terlalu memaksa kami?"
"Dua!" teriak Ki Lodaya sambil menggerakkan cambuk di tangannya.
"Ki Lodaya..."
"Hancurkan mereka!" teriak Ki Lodaya memberi perintah pada dua orang muridnya yang bernama Gumarang dan Rajendra.
Tanpa diperintah dua kali, kedua murid Ki Lodaya langsung melompat dan mengayunkan senjatanya. Gumarang menyerang Suriareja, sementara Rajendra mengamuk menghadapi kesepuluh anak buah Suriareja yang sejak tadi telah siap menanti serangan.
"Yeaaa...!"
"Kau tak memberi pilihan lain kepada kami, Ki Lodaya. Maaf! Kalau itu maumu, kami berhak mempertahankan diri!" sahut Suriareja sambil mencabut golok yang terselip di pinggang, siap memapak serangan Gumarang.
Ki Lodaya sama sekali tak menyahuti ucapan Suriareja. Laki-laki berpakaian hitam dengan selempang kuning itu masih tetap tegak berdiri di tempatnya semula, sambil memperhatikan dengan seksama. Suriareja sebenarnya bukanlah orang sembarangan. Dulu, laki-laki itu pernah berguru pada salah satu padepokan terkenal di daerah selatan. Bahkan sempat berkelana ke mana-mana, mengabdikan kepandaiannya.
Kemudian setelah kawin, Suriareja berhenti berkelana dan menetap di suatu tempat. Namun pekerjaaan lain baginya amat sulit, karena kepandaian yang dimiliki hanya bermain silat. Sehingga, akhirnya dia bersedia mengawal rombongan pedagang yang merasa harta bendanya terancam, seperti sekarang ini! Tapi yang dihadapi Suriareja ini bukanlah orang sembarangan. Hal itu semakin terbukti ketika berhadapan dengan Gumarang yang mampu bergerak cepat dan ganas.
Bahkan boleh dibilang tak kenal ampun. Tangan kirinya yang terbuat dari besi dan membentuk cakar, beberapa kali mengancam keselamatan Suriareja. Belum lagi sambaran senjata arit di tangan kanan yang mengancam seluruh bagian tubuh seperti tiada henti. Beberapa kali sambaran itu ditangkisnya dengan golok yang tergenggam, namun Suriareja jadi tersentak sendiri. Tangannya jadi bergetar hebat. Dan rasanya, golok itu nyaris terlepas dari genggaman saking hebatnya tenaga dalam yang dimilik Gumarang.
"Yeaaa...!"
Suriareja kembali tersentak kaget ketika tubuh lawan bergerak cepat dari arah atas. Tampak Gumarang menukik sambil mengayunkan arit di tangannya. Maka buru-buru Suriareja menundukkan kepalanya sambil bergerak ke samping. Namun....
Brettt!
"Uhhh...!"
Cakar kiri Gumarang tiba-tiba saja menyambar punggung Suriareja. Dia kontan mengeluh kesakitan. Dan belum lagi Suriareja mengambil napas, satu tendangan kembali diluncurkan lawan. Untung Suriareja masih sempat membuang diri ke tanah bergulingan beberapa kali. Dan begitu tubuhnya telah bangkit berdiri, goloknya langsung bergerak menyambar.
Namun, tubuh Gumarang telah melenting ke atas sambil membuat gerakan jungkir balik. Begitu mendarat di tanah, bagai serigala menerkam, tubuh Gumarang melayang menyambar lawan yang tengah terpaku setelah serangannya gagal.
"Graungrrr...!"
Gumarang menggeram buas. Bola matanya tajam berkilat bagai nyala api yang sedang berkobar-kobar. Suriareja sempat bergidik nyalinya melihat roman muka lawannya yang buas seperti binatang liar. Apalagi, ketika terdengar raungan keras, sehingga sempat membuat jantungnya berdebar-debar.
"Hiiih...!"
Cakar kiri Gumarang menyambar wajah Suriareja. Namun, laki-laki setengah baya itu cepat bergulingan ke samping untuk menghindari serangan. Bahkan sempat mengayunkan kakinya untuk menyambar pinggang lawan. Tapi, tubuh Gumarang sudah bisa membaca gerakan lawan. Hanya diikutinya saja gerakan itu, hingga tendangan Suriareja hanya mengenai tempat kosong. Dan tentu saja hal itu amat mempengaruhi keadaan Suriareja.
Apalagi tendangannya demikian keras, sehingga membuat keseimbangannya jadi goyah. Melihat kesempatan ini, Gumarang tak mau menyia-nyiakannya. Senjatanya langsung menyambar ke arah perut lawan. Dan Suriareja sendiri memang tak punya pilihan lain, selain menangkis. Meskipun, dia tahu kalau hal itu bakal berakibat buruk baginya.
Bettt
Trakkk!
Benar saja! Ketika senjata mereka beradu, golok di tangan Suriareja terlepas. Sementara, senjata berbentuk arit milik Gumarang terus bergerak merobek perutnya.
Crasss!
"Aaakh...!"
Suriareja kontan terpekik kesakitan, begitu sambaran arit Gumarang menyambar perutnya. Tangannya langsung memegang perutnya yang terluka dengan darah mengalir deras. Dan belum lagi menyadari lebih jauh, hantaman tangan kiri Gumarang yang terbuat dari besi langsung menembus jantungnya.
Brosss!
"Aaa...!"
Suriareja langsung terjajar disertai pekikan memilukan. Dia terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah terus mengalir membasahi tubuhnya. Kematian Suriareja tentu saja amat mengagetkan anak buahnya serta para pedagang yang berada dalam pedati. Semangat mereka mulai mengendur. Dan kecemasan pun mulai tumbuh perlahan-lahan dalam hati para pedagang itu. Apalagi, ketika melihat kesepuluh anak buah Suriareja tak seorang pun yang mampu mendesak lawan.
"Ayah...!"
Puger berteriak dengan suara pilu ketika melihat ayahnya telah terbujur kaku berlumur darah. Pemuda tanggung itu langsung melompat turun dari pedati dan berlari kencang menghampiri mayat ayahnya. Tapi dengan wajah dingin dan senyum sinis, Ki Lodaya lalu mengayunkan cambuk di tangannya ke arah pemuda tanggung itu.
Ctar!
"Aaa...!"
Puger memang tak seperti ayahnya yang memiliki kepandaian lumayan. Apalagi Suriareja memang tak pernah mengajarkannya ilmu silat. Sehingga ketika ujung cambuk di tangan Ki Lodaya menyambar dadanya, anak itu tak mampu menghindari. Tubuhnya kontan terlempar keras ke belakang dan jatuh di tanah dengan tulang rusuk patah. Dan nyawanya langsung melayang saat pekikannya terhenti.
"Biadab!" geram salah salah seorang anak buah Suriareja sambil melompat menyerang Ki Lodaya. Namun sebelum anak buah Suriareja berhasil menyentuh tubuh Ki Lodaya, Gumarang sudah mencelat menghadang sambil menggeram buas.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
Terpaksa laki-laki berpakaian merah itu mengurungkan niatnya. Dan dengan memutar tubuhnya, dihindarinya sambaran arit Gumarang. Golok di tangannya bergerak cepat menyambar leher Gumarang. Namun, murid-murid pertama Ki Lodaya sigap sekali membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tubuhnya berputar dengan kaki kanan terayun ke pelipis.
"Yeaaa...!"
Tapi, serangan itu ternyata telah dibaca Gumarang. Terbukti, tubuhnya telah melejit ke atas sambil mengayunkan senjata ke leher. Anak buah Suriareja itu kontan terkejut. Maka buru-buru dijatuhkan tubuhnya untuk menghindari. Namun, kaki kiri Gumarang yang berada di bawah langsung menghajar ke arah perut.
Desss!
"Aaakh!"
Tubuh orang berpakaian merah itu kontan terpental pada jarak tiga langkah ke belakang. Tapi Gumarang tak berhenti sampai di situ. Begitu kakinya menendang, maka saat itu pula tubuhnya mencelat mengikuti gerakan lawan. Sedangkan tangan kirinya cepat menyambar ke arah dada. Sementara, lawan masih sempat melihat serangan itu, dan berusaha menghindari sambil memapak dengan goloknya.
Crakkk!
Tangan orang berpakaian merah itu kontan bergetar hebat dan goloknya terlepas dari genggaman, begitu cakar kiri Gumarang menghantam mata goloknya. Bersamaan dengan itu, senjata arit di tangan kanan Gumarang sudah terus menyambar ke arah leher.
Crasss!
"Aaa...!"
Orang berpakain merah itu hanya terpekik sesaat, begitu bahunya terbabat arit Gumarang. Kemudian kepalanya terlihat menggelinding ke tanah dengan darah mengucur deras dari pangkal leher. Sebentar dia limbung, lalu ambruk di tanah dengan nyawa melayang dari badan.
"Bagus Gumarang!" puji Ki Lodaya sambil tersenyum.
Gumarang memandang sekilas pada gurunya, kemudian menatap kepada adik seperguruannya yang belum juga selesai menghabisi lawannya yang tinggal empat orang lagi.
"Rajendra! Apakah kau perlu bantuan Gumarang untuk membereskan lawan-lawanmu?!" teriak Ki Lodaya dengan suara kesal.
"Maaf, Guru. Kalau Guru menghendaki agar mereka mampus dengan cepat, baiklah. Aku masih sanggup melakukannya!" teriak Rajendra di sela-sela pertarungannya.
"Bagus. Nah! Cepat lakukanlah!"
"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Diiringi bentakan nyaring, tubuh Rajendra langsung melompat ke atas setinggi satu tombak. Kemudian begitu tangannya menghentak ke depan, terlihat beberapa buah paku beracun melesat dari tangan ke arah empat lawannya.
"Awaaas! Dia mulai menggunakan senjata rahasia!" teriak salah seorang anak buah Suriareja memperingatkan kawan-kawannya.
"Keparat! Dia menggunakan paku-paku beracun!" geram yang lain.
"Ha ha ha...! Mampuslah kalian sekarang!" teriak Rajendra sambil tertawa nyaring.
Tubuh Rajendra melesat deras ke bawah sambil memutar senjatanya membentur kitiran. Maka dua orang lawannya langsung memapak, sementara dua lainnya mencari sisi pertahanan yang terbuka.
Trak! Trak!
Wuttt!
Ser! Ser!
Dua golok anak buah Suriareja yang coba menangkis berhasil dibuat terpental dari genggaman. Kedua orang itu kontan tersentak kaget, namun masih sempat menyelamatkan diri sambil menunduk. Sementara, Rajendra terus mengejar sambil melemparkan senjata rahasianya ke arah dua orang lawannya yang lain.
"Hiyaaa...!"
Ujung tombak bermata tiga milik Rajendra kembali menyambar kedua lawannya yang berada di depan, kedua anak buah Suriareja itu buru-buru menjatuhkan diri. Melihat kesempatan ini, Rajendra cepat menyusuli. Dan dengan satu tendangan keras yang tak mampu dielakkan oleh salah seorang dari mereka. Maka....
Diegkh!
"Aaakh...!"
Salah seorang anak buah Suriareja kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar lima langkah ke Belakang. Namun, Rajendra terus mengejarnya dengan lemparan senjata rahasia yang tak mungkin dielakkan lagi!
Crasss!
"Aaakh...!"
Begitu dadanya tertembus senjata rahasia Rajendra, orang itu kontan terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya yang tertembus paku-paku beracun. Tak lama kemudian, orang itu duduk di tanah, dengan tubuh membiru. Dari mulutnya tampak mengeluarkan busa berwarna kekuning-kuningan. Rajendra terus melempar senjata rahasianya ke belakang kepada dua orang lawannya yang tadi berhasil menghindari. Betapa terkejutnya kedua orang itu.
Salah seorang memang berhasil menghindar dengan membuang tubuhnya ke tanah. Namun seorang lagi kontan menjerit keras, ketika sebuah paku beracun menembus dada kirinya. Tubuhnya langsung terjungkal ambruk di tanah, dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong. Tapi, Rajendra tidak mempedulikannya. Bahkan ketika kedua lawannya yang tersisa melompat berbarengan membawa serangan, tubuhnya sedikit merendah. Kemudian, dia berputar mengikuti gerakan tombaknya. Lalu....
Bret!
Cras!
"Aaa...!"
Kedua orang itu langsung memekik ketika perut mereka robek diterjang ujung tombak lawan yang bergerak amat cepat. Mereka langsung ambruk ke tanah dengan darah berhamburan dari perut. Sebentar mereka meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
"Beres!" dengus Rajendra sambil mengibas-ngibaskan tangannya, ketika seluruh lawannya sudah tak bangun-bangun lagi. Sebentar dipandanginya mayat-mayat lawannya, lalu dihampirinya Ki Lodaya dan Gumarang.
Perlahan-lahan ketiga orang itu menghampiri ketujuh pedati dengan wajah dingin mengancam. Ki Lodaya memandang beberapa orang yang berada dalam pedati itu, kemudian berteriak lantang.
"Kalau kalian masih sayang dengan nyawa, boleh keluar! Kuhitung sampai tiga. Dan, kalian boleh pergi dari tempat ini dengan berjalan kaki!" kata Ki Lodaya.
Belum lagi Ki Lodaya menghitung mereka yang berada dalam pedati itu langsung melompat keluar dengan muka pucat. Bahkan beberapa orang di antaranya langsung kabur terbirit-birit. Melihat hal itu, yang lainnya pun ikut-ikutan. Agaknya, mereka memang tak punya pilihan lain. Memang tak seorang pun yang mengerti ilmu silat karena hanya para pedagang. Kalaupun punya, sudah ciut lebih dulu nyali mereka melihat sepak terjang kedua murid Ki Lodaya.
"Ha ha ha...!"
Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak dan membiarkan saja mereka lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
"Guru! Mereka membawa banyak uang mas!" teriak Rajendra, setelah memeriksa isi pedati yang berada di barisan tengah.
"Mereka juga membawa pakaian dan perhiasan mahal!" teriak Gumarang pula. begitu memeriksa isi pedati barisan kedua.
"Bagus! Nah, sekarang kalian giring kuda-kuda itu ke markas kita!" perintah Ki Lodaya.
"Baik, Guru!" sahut keduanya serentak.
Kini, mereka segera berlalu dari tempat itu sambil menggiring kuda-kudanya yang menarik pedati itu ke suatu lembah, di kaki Bukit Serigala. Bukit Serigala kini lengang. Tapi sekawanan burung pemakan bangkai sudah terbang berputar-putar di angkasa!

***

109. Pendekar Rajawali Sakti : Darah Di Bukit SerigalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang