BAGIAN 5

337 20 0
                                    

Adipati Tanuwijaya adalah penguasa di kadipaten wilayah barat. Dan kadipaten itu meliputi tujuh buah desa yang cukup ramai. Beliau sendiri menetap di Kota Kadipaten Indrakasih, suatu daerah yang cukup padat penduduknya dan subur tanahnya. Tak heran bila hasil panen selalu berlimpah ruah, sehingga penduduknya hidup dalam kecukupan.
Di sebelah utara kadipaten itu terdapat sebuah tambang emas. Tiga kali dalam setahun, para penduduk kadipaten itu diwajibkan menyerahkan upeti kepada pihak kerajaan. Tidak hanya berupa hasil panen dan ternak, tapi juga emas. Dan justru itulah yang belakangan ini meresahkan sang Adipati!
Pusat kerajaan berada di wilayah timur. Dan untuk menuju ke sana, jalan yang tercepat dan termudah adalah melewati Bukit Serigala. Ada juga jalan lain, tapi terlalu berbahaya juga. Selain memutar jalan itu juga sulit didaki. Bahkan terdapat turunan terlalu curam. Sedangkan bila melewati Bukit Serigala, sudah jelas di sana akan dihadang Serigala Iblis Bercambuk Emas bersama dua orang muridnya.
Dan belakangan ini, mereka memang menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Maka sebulan yang lalu upeti yang semula dikirim untuk kerajaan, dirampok oleh kawanan itu. Dan jelas, hal itu membuat pihak kerajaan mulai marah. Mereka mengira Adipati Tanuwijaya sengaja melupakan kewajibannya. Maka tentu saja Adipati Tanuwijaya gelisah bukan main.
Amarahnya semakin menjadi ketika beberapa pengawal terbaiknya yang dikirim untuk menghabisi Serigala Iblis Bercambuk Emas, ternyata hanya kembali seorang. Itu pun penuh luka di tubuhnya yang bahkan tak bisa tertolong lagi, karena keburu tewas setelah menyampaikan berita kematian kawan-kawannya. Dan kali ini, Adipati Tanuwijaya tentu tak mau gagal lagi. Maka dipersiapkannya segala sesuatu sebaik mungkin.
Termasuk, para pengawal yang akan menjaga upeti nantinya. Dan untuk mencari para pengawal yang baik dan mampu diandalkan, kini di kadipaten itu diadakan suatu sayembara dalam bentuk pertandingan adu ketangkasan. Sepuluh orang pemenang terbaik akan diangkat menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya, ditambah hadiah besar. Dan mulai hari itu juga pengumuman disebar ke seluruh wilayah kadipaten.

***

Matahari yang menyengat, membawa dua anak muda ke tepi sebuah sungai yang airnya amat bening, di wilayah Kadipaten Indra Kasih. Mereka berhenti dan membasuh mukanya untuk menyegarkan diri. Kemudian setelah merasa segar, mereka berjalan ke arah sebuah pohon yang berdaun lebat. Tak lama, punggung mereka sudah bersandar di bawah pohon itu, untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Sedangkan kedua kuda mereka dibiarkan minum air sepuas-puasnya.
"Kakang! Aku masih jengkel dengan orang tua busuk itu!" kata gadis berwajah cantik memakai baju biru muda, dengan pedang bergagang kepala naga tersembul di balik punggungnya. Memang, dia tak lain dari Pandan Wangi. Sedangkan pemuda di sebelahnya adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum dan tak menyahut.
"Lagaknya seperti yang paling hebat saja!" cibir Pandan Wangi kesal.
"Orang itu memang aneh. Dan itu memang sudah kelakuannya. Kitalah yang patutnya bisa menahan diri...," sahut Rangga, sabar.
"Huh! Menahan diri? Enak saja!" dengus Pandan Wangi, sengit.
"Kalau tak bisa menahan diri, maka dia akan semakin menggoda kita," jelas Rangga.
"Huh! Kalau berhadapan dengan mereka yang tak punya kemampuan apa-apa, mungkin dia bisa berbuat sekehendak hatinya. Tapi kepadaku, jangan coba-coba, ya!"
Rangga hanya melirik sekilas pada kekasihnya. Pemuda itu sudah paham betul watak gadis itu. Makanya, dia tidak terlalu menanggapi kekesalan hati Pandan Wangi.
"Kenapa tersenyum?" tanya Pandan Wangi, tak senang.
Dan ini memang sudah wataknya. Gadis itu seolah-olah ingin mengajak perang mulut, untuk menunjukkan kemanjaannya.
"Mengejekku, ya!"
Rangga malah tertawa lebar. Sebaliknya Pandan Wangi langsung mencubit tangan Rangga. Pemuda itu berusaha menghindar, sambil bangkit dan berlari menjauhi Pandan Wangi.
"Huh! Ke ujung langit sekalipun, akan kukejar kau!" dengus Pandan Wangi, langsung mengejar pemuda itu.
Kejar-kejaran di antara mereka seolah tak mau berhenti. Tanpa disadari, Pandan Wangi mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Namun sejauh itu, belum juga berhasil mengejar. Rangga masih tenang-tenang saja berlari di depannya dan terus berputar-putar di sekeliling tempat itu.
"To..., tolong...."
"Heh?!"
Rangga seketika menghentikan larinya begitu pendengarannya yang tajam menangkap teriakan minta tolong yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Bola matanya langsung mencari-cari sambil melangkah pelan ke satu arah, dengan pendengaran dipasang tajam. Sementara Pandan Wangi saat itu sudah dekat. Dan....
"Kenapa kau!" teriak Pandan Wangi, langsung mencubit pemuda itu.
Namun Rangga tak peduli. Malah tangannya memberi isyarat agar gadis itu tak membuat keributan. Pandan Wangi jadi celingukan sendiri sambil menatap ke sekeliling tempat itu dengan wajah heran.
"Kenapa? Ada apa, Kakang?"
"Ada teriakan minta tolong dari seseorang...," sahut pemuda itu.
Baru saja Rangga menyelesaikan kata-katanya, mendadak sesosok tubuh berpakaian serba hitam melangkah sempoyongan ke arah mereka. Wajahnya tampak pucat. Dan begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi tangannya langsung menggapai-gapai.
"To..., tolong..."
Tubuh orang itu langsung ambruk persis di depan Rangga berdiri. Rangga dan Pandan Wangi langsung menghampiri. Dan seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti langsung memeriksa keadaan tubuh orang itu. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera membopong orang berpakaian serba hitam itu. Segera dibawanya orang itu ke tepi sungai. Sementara, Pandan Wangi segera mengikuti dari belakang, setelah memungut sebilah pedang berukuran besar yang tadi terjatuh dari genggaman orang itu.
Sosok orang berpakaian serba hitam itu tak tahu, sudah berapa lama tak sadarkan diri di tepi sungai. Namun ketika kesadarannya mulai pulih, perlahan-lahan matanya melihat sepasang anak muda di depannya, yang tak lain dari Rangga dan Pandan Wangi. Dia cepat bangkit dan bersandar di batang pohon. Kemudian, ditatapnya Pandan Wangi dan Rangga bergantian.
"Siapa kalian?" tanya sosok berpakaian serba hitam itu, lemah.
"Aku Rangga. Dan ini kawanku, Pandan Wangi. Kami menemukanmu dalam keadaan tak sadarkan diri. Siapa namamu, dan apa yang telah terjadi padamu, Kisanak?" tanya Rangga disertai senyuman manis di bibir.
Orang berpakaian serba hitam itu tak langsung menjawab. Dan matanya malah meneliti keadaan tubuhnya, serta melihat beberapa buah luka yang dideritanya. Kemudian tatapannya beralih pada sepasang anak muda di depannya.
"Aku Kamajaya alias Dewa Bermuka Bulan. Huh! Kalau saja mereka tak bermain curang! Dalam pertarunganku melawan Serigala Iblis Bermuka Emas, tubuhku telah terkena senjata rahasia. Dan tiba-tiba kepalaku pusing dan darahku seperti berhenti mengalir. Jelas senjata rahasia itu pasti beracun. Tapi kini keadaanku sudah berangsur-angsur baik. Kaukah yang mengobatiku?" jelas laki-laki berpakaian serba hitam, yang ternyata Dewa Bermuka Bulan.
Suaranya terdengar masih lemah, walaupun seluruh racun dalam tubuhnya sudah keluar. Memang, Pendekar Rajawali Sakti telah memberi pengobatan padanya, dengan penyaluran hawa murni.
"Darahmu telah bercampur racun dari senjata rahasia yang menancap di tubuhmu. Dan luka di pinggangmu seperti terbakar. Kau banyak muntah darah tadi. Ini, telah kubuatkan ramuan dari tumbuhan di sekitar sini. Mudah-mudahan ramuan ini bisa mengembalikan kesegaran tubuhmu. Minumlah," ujar Rangga sambil menyerahkan ramuan obat yang ditampung dengan tempurung kelapa.
Dewa Bermuka Bulan yang bernama asli Kamajaya itu agak ragu-ragu menerimanya. Namun begitu melihat sorot mata Rangga yang memancarkan kesungguhan, akhirnya diterimanya juga ramuan obat itu dan diteguknya sampai tandas.
"Kau tak boleh banyak mengeluarkan tenaga dulu, Kisanak. Dalam keadaan begini, sangat berbahaya bagi kesehatanmu," ujar Rangga.
"Terima kasih atas kebaikan kalian padaku," ucap Dewa Bermuka Bulan sambil tersenyum, kendati agak pahit.
"Sama-sama, Kisanak. Dan memang sudah kewajiban kami untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Oh, ya. Apa yang telah terjadi padamu, sehingga mengalami luka separah ini?" tanya Rangga.
"Huh, Serigala Iblis Bercambuk Emas keparat! Kalau saja dia tak berlaku curang, mana bisa mengalahkan aku!" dengus Dewa Bermuka Bulan.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas? Siapa dia?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Apakah kalian tak tahu?"
Rangga dan Pandan Wangi, sama-sama menggeleng kepala.
"Ah! Kukira julukan itu sudah menggetarkan jagad ini. Tapi nyatanya kalian pun tak tahu. Kalau begitu, tak salah jika aku menuduhnya sebagai pengecut hina yang beraninya hanya merampok orang-orang tak berdaya...," sahut Dewa Bermuka Bulan seperti berkata pada diri sendiri.
"Maaf, Kisanak. Aku tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan. Sudikah kau menceritakan, siapa orang yang dimaksud dengan Serigala Iblis Bercambuk Emas? Dan, mengapa kau sampai bertarung dengannya?" tanya Rangga.
Kamajaya terdiam sesaat seperti tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat. Kemudian segera diceritakannya semua yang dialaminya. Namun karena urusannya pada Serigala Iblis Bercambuk Emas adalah soal balas dendam, maka agaknya dia lebih tertarik menceritakan soal itu lebih banyak. Hanya saja, Rangga dan Pandan Wangi lebih tertarik dengan sepak tenang Serigala Iblis Bercambuk Emas yang diceritakan sepintas oleh Kamajaya.
"Kalau ada kesempatan lagi, akan kuhabisi keparat licik itu!" dengus Kamajaya, setelah mengakhiri ceritanya sambil mengepalkan tangan.
Rangga dan Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk.
"Apakah kalian betul-betul belum pernah mengenal keparat licik itu selumnya?" tanya Kamajaya ingin meyakinkan.
Sepasang pendekar dari Karang Setra menggeleng pelan. Dan Kamajaya pun ikut-ikutan menggelengkan kepala dengan wajah sedih.
"Sayang sekali. Padahal kalau kalian berurusan dengannya, aku pasti bisa menghajarnya habis-habisan. Orang itu tak bisa dibiarkan hidup lama lagi. Sudah banyak orang yang dirugikannya...," gumam Kamajaya lirih.
"Kami mengerti apa yang kau rasakan, Kisanak. Tapi suatu saat, dendammu pasti akan terbalaskan," hibur Rangga.
"Ya, aku tahu itu. Aku memang mesti bersabar dan mencari jalan lain untuk membalas kelicikannya itu," sahut Kamajaya lirih. Tak berapa lama kemudian, Kamajaya mohon diri. Tak lupa diucapkannya terima kasih berkali-kali pada kedua pendekar itu.
"Aku tak akan melupakan pertolongan kalian," ucap Kamajaya seraya bangun, dan langsung berkelebat cepat dari situ.
"Aku suka orang itu. Selalu riang gembira meskipun hatinya dendam dan sedih...," gumam Pandan Wangi, begitu Kamajaya sudah tak terlihat lagi.
"Hm, suka...?" tanya Rangga meyakinkan.
"Ya, kenapa?" sahut Pandan Wangi balik bertanya sambil melirik dengan senyum genit pada kekasihnya.
"O...," hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.

***

109. Pendekar Rajawali Sakti : Darah Di Bukit SerigalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang