BAGIAN 4

359 22 0
                                    

"Ha ha ha...! Kenapa tanganku mesti kotor oleh darah busuk kalian? Tapi agar kematianmu lebih berarti, baiklah. Akan kusambut tantanganmu itu!" sahut sebuah suara yang tak jelas wujudnya.
Ctarrr!
Kembali terdengar cambuk membelah angkasa. Maka, satu persatu kawanan serigala itu kontan menghentikan serangannya. Dan, perlahan-lahan mereka menjauhi gerombolan Perampok Macan Loreng yang kini tinggal tujuh orang, termasuk Ki Warkala. Memang sebagian besar telah tewas diterkam kawanan serigala itu. Dan sebagian lagi, tersambar senjata rahasia berupa paku-paku beracun.
Di hadapan Gerombolan Perampok Macan Loreng, kini berdiri sesosok bertubuh tegap terbungkus kulit hitam. Rambutnya yang riap-riapan sepanjang bahu, dibiarkan begitu saja tak terurus. Mata kirinya ditutupi kain hitam, namun mata kanannya menatap tajam satu persatu lawan-lawannya. Kemudian, kepalanya berpaling kepada Ki Warkala.
"Majulah kalau ingin mampus!" dengus laki-laki bertubuh tegap itu dingin.
Ki Warkala memandang agak lama pada laki-laki di hadapannya. Ternyata, orang itu hanya memegang sebatang tombak bermata tiga. Jadi, bukan senjata cambuk seperti dugaan sebelumnya. Lalu, dari mana datangnya suara cambuk tadi?
"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Ki Warkala, seraya menatap tajam laki-laki yang memegang sebatang tombak bermata tiga.
"Bukan. Aku Serigala Mata Satu, murid kedua Serigala Iblis Bercambuk Emas!"
"Huh! Aku ingin bertemu dan bertarung melawan gurumu! Pergilah kau, Bocah. Dan, panggil gurumu ke sini untuk menghadapiku!" sahut Ki Warkala, menganggap remeh lawannya.
"Ha ha ha...! Dasar macan ompong! Nyawamu sudah di ujung tanduk saja, tapi masih berlagak. Kau masih beruntung berhadapan denganku, sehingga mau tak percuma direncah serigala-serigala kelaparan itu. Nah, bersiaplah kau!" ejek laki-laki bertubuh tegap, yang ternyata Rajendra atau berjuluk Serigala Mata Satu.
Ki Warkala bergerak ke samping, ketika ujung tombak Rajendra menyambar kepalanya. Dan tubuhnya langsung melompat ke belakang, ketika Serigala Mata Satu menyusuli dengan satu tendangan keras. Namun, ketika ujung tombak Rajendera terus berkelebat cepat menyambar, Ki Warkala tak bisa berbuat banyak. Maka....
Bet! Bet!
"Aaakh!"
Ki Warkala kontan menjerit kesakitan, ketika sambaran ujung tombak merobek kulit dadanya. Seketika, beberapa tulang rusuknya terasa ngilu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Agaknya, racun yang berasal dari mata tombak Serigala Mata Satu bekerja cepat. Bahkan langsung mempengaruhi seluruh aliran darahnya. Terbukti, Ki Warkala kemudian jatuh ke tanah, dan langsung menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan. Dia berusaha bangkit, namun saat itu juga tubuhnya kembali terjerembab!
"Ke..., kenapa kalian di..., diam saja? Ha..., hajar dia...!" ujar Ki Warkala pada anak buahnya dengan suara terbata-bata. Namun kemudian terlihat laki-laki itu kembali berguling-gulingan menahan rasa sakit yang semakin hebat di sekujur tubuhnya.
"Ti..., tidak. Lebih baik aku menyelamatkan diri saja," sahut salah seorang anak buah Ki Warkala.
Dan dia langsung kabur dari tempat itu. Ternyata, perbuatan itu diikuti dua orang kawannya yang lain. Namun baru saja mereka berlari sejauh lima tombak, sekonyong-konyong kawanan serigala yang masih berjaga-jaga di tempat itu menerkam tanpa kenal ampun.
"Graungrrr...!"
"Aaa...!"
Dalam sekejap, ketiga orang itu ambruk bersimbah darah. Dan seketika kawanan serigala yang kelaparan itu merencah daging mereka tanpa tersisa lagi.
"Biadab!" geram salah seorang anak buah Perampok Macan Loreng yang masih tersisa.
"Aaa...!"
Mendadak mereka dikejutkan oleh lenguhan panjang Ki Warkala ketika tubuhnya mengejang. Darah kental berwarna kehitaman tampak mengalir dari sudut-sudut bibirnya. Sepasang matanya melotot. Dan saat itu pula, nyawanya melayang dengan sekujur tubuh menjadi biru kehitam-hitaman!
"Serigala Mata Satu! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus anak buah Perampok Macan Loreng yang lain.
"Sayang, kalian juga akan mampus!" dengus Serigala Mata Satu sambil melompat ke arah mereka sambil mengayunkan tombaknya.
"Awaaas...!" teriak salah seoang di antara anak buah Ki Warkala memperingatkan ketiga kawannya.
Serigala Mata Satu bergerak cepat sambil mengayunkan tombaknya ke arah lawan. Dua orang berhasil menghindar dengan menundukkan kepala. Namun ketika tubuh Rajendra berbalik, yang seorang tak sempat menghindar ketika Serigala Mata Satu langsung melancarkan tendangan. Desss! Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah. Dan belum lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, kawanan serigala sudah menerkamnya.
"Aaa...!"
Sementara itu seorang lagi anak buah Ki Warkala terus mencoba menghindari tendangan Rajendra dengan memiringkan badan. Namun, rupanya gerakan itu hanya tipuan belaka. Karena, justru kepalan kiri si Serigala Mata Satu sudah cepat menghantam telak dadanya. Akibatnya tubuh orang itu kontan terjengkang ke belakang, dan kembali disambut kawanan serigala itu dengan buasnya.
Dua orang dari Perampok Macan Loreng yang tersisa kini hanya diam sejenak sambil memandang ke arah Serigala Mata Satu yang tegak berdiri mengawasi. Wajah mereka tampak pucat, sejenak mereka saling berpandangan, kemudian perlahan-lahan mundur ke belakang. Namun baru saja beberapa langkah, terdengar beberapa ekor serigala menggeram buas. Tentu saja hal ini membuat keduanya tersentak kaget. Wajah mereka semakin pucat, dan keringat dingin mulai mengucur deras dengan tubuh gemetar.
"Tinggal kalian berdua sekarang. Nah, bersiaplah untuk mampus!" dingin sekali suara Serigala Mata Satu sambil melangkah perlahan mendekati kedua lawannya.
"Kisanak, ampunilah kami! Tolong, jangan bunuh kami...!" pinta keduanya, seraya bersujud ke tanah menghiba.
"Ha ha ha...! Ternyata kalian kenal takut juga. Baiklah, kalian akan kuampuni. Nah! Berdiri, dan cepat pergi dari sini!" sahut Serigala Mata Satu.
"Oh, benarkah? Terima kasih, Kisanak. Terima kasih! Kami tentu tak akan melupakan budi baikmu!" kata mereka serentak sambil bersujud beberapa kali.
Kemudian dengan cepat, tubuh mereka berbalik dan berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Seperti mengerti apa yang dikatakan Serigala Mata Satu, kawanan serigala yang berada di sekitar tempat itu mendiamkan saja kedua orang yang kabur. Namun baru saja mereka belari kira-kira sepuluh tombak, tubuh Serigala Mata Satu melompat ke atas sambil berputar.
"Hup!"
Ser! Ser!
Dari sebelah tangan Rajendra langsung melesat beberapa buah paku beracun. Senjata rahasia itu terus meluncur deras, menghantam punggung kiri sisa terakhir anak buah Ki Warkala.
Crab! Crab!
"Aaa...!"
Kedua orang itu langsung tersungkur ke tanah sambil menjerit kesakitan.
"Itu bagian kalian!" dengus Serigala Mata Satu sambil membelakangi kedua lawannya yang terkapar.
"Graungrrr...!"
Begitu selesai kata-katanya, maka seketika itu juga kawanan serigala itu melompat menerkam kedua orang yang tengah sekarat di tanah dengan tubuh membiru. Mereka terus memekik setinggi langit, namun dalam sekejap suara itu sudah berhenti. Kini di tempat itu telah basah oleh darah.
"Huh!"
Serigala Mata Satu mendengus sinis, kemudian perlahan meninggalkan tempat itu. Namun baru saja beberapa langkah berjalan, mendadak sekelebat bayangan hitam melesat ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga suaranya nyaris tak terdengar. Serigala Mata Satu menunduk sambil mengayunkan tombaknya ke atas. Namun, tubuhnya hanya seperti menyambar angin belaka. Pandangannya yang tajam langsung melihat sesosok bayangan hitam kembali berkelebat menyambar ke arahnya.
"Hiiih!"
Cepat Rajendra mengayunkan tombaknya menyambut serangan lawan. Namun, bayangan hitam itu menghindar ke samping. Dan kemudian satu tendangan keras nyaris membuat batok kepala Rajendra pecah, kalau tak cepat bergulingan. Jelas, tendangan itu keras bukan main. Dan itu dapat dirasakan dari angin sambarannya. Rajendra terus bergulingan, sementara bayangan hitam itu terus mencecarnya. Bahkan kaki bayangan hitam itu nyaris membuat tubuhnya hancur kalau saja tidak terus bergulingan.
Jder!
Terdengar suara besar menggelegar, begitu kaki bayangan hitam itu tidak menemui sasaran, dan hanya menghantam tanah. Terlihat bekas tapak kaki di tanah yang melesak sedalam hampir dua jengkal. Padahal, tanah di tempa itu keras dan berbatu!
Ser! Ser!
Meski begitu, Rajendra masih mampu melemparkan beberapa buah senjata rahasi ke arah bayangan hitam yang masih melesat ke arahnya. Seketika bayangan hitam itu menangguhkan serangannya, dan langsung berjumpalitan menghindar sambil mengebutkan tangannya. Terdengar bunyi berdenting ketika senjata rahasia berbalik menyerang diri Rajendra sendiri.
"Hup! Sial...!"
Serigala Mata Satu memaki geram sambil melompat ke depan, menghindari senjatanya sendiri. Namun saat itu, satu sambaran serangan bayangan hitam itu kembali mengincar menderu batok kepalanya. Begitu cepat gerakan bayangan hitam itu, sehingga tak ada waktu lagi bagi Rajendra untuk menghindar. Maka langsung dipapaknya hantaman yang mengincar kepalanya.
Plak!
"Uhhh!"
Rajendra atau Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan ketika pergelangan tangannya terasa sakit dan linu sekali, akibat berbenturan dengan tangan bayangan hitam itu tadi. Tapi masih untung tubuhnya cepat bergulingan, ketika merasakan satu sapuan keras kembali mengarah ke dada.
"Kurang ajar!"
Cepat-cepat tombak di tangan Rajendra diputar-putar bagai kitiran untuk melindungi pertahanan dada, sekaligus mendesak lawan. Dalam sekejap saja, tempat di sekitar itu bertiup angin kencang yang menerbangkan dedaunan kering dan debu, sehingga menghalangi pandangan.
"Hiyaaa...!"
Dalam keadaan begitu, terdengar bentakan nyaring dari bayangan hitam itu. Sementara Serigala Mata Satu balas meningkatkan tenaga dalamnya saat memainkan tombak. Namun, mendadak tubuhnya bergetar hebat. Bahkan genggaman pada tombaknya nyaris mengendur ketika membentur sebuah benda sekeras baja. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang, namun masih sempat melemparkan senjata rahasia.
"Yeaaa!"
Ser! Ser!
Tubuh sosok berpakaian serba hitam itu cepat melesat dan berputaran beberapa kali, menghindari serangan senjata rahasia Rajendra. Namun tanpa diduga sama sekali, sosok berpakaian hitam itu terus melesat ke arah Rajendra. Tak ada kesempatan lagi buat Serigala Mata Satu untuk menghindar. Dan tiba-tiba saja dadanya terasa mendapat hantaman keras, sehingga membuatnya terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Masih untung, sosok bayangan hitam itu tak melanjutkan serangan. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat dan tegak berdiri mengawasi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Hanya Segitukah kehebatanmu?" Serigala Mata Satu cepat bangkit dengan wajah gusar.
Mulutnya nampak meringis, karena dadanya terasa nyeri. Kini bisa terlihat jelas, siapa penyerangnya. Ternyata, dia adalah seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Rambut yang panjang, diikat pita hitam pula. Kulitnya putih bersih. Dan melihat dari raut wajahnya, paling tidak laki-laki yang menggenggam sebilah pedang besar itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Tampangnya tak seram, bahkan penuh senyum.
"Siapa kau?!" bentak Rajendra. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, mendadak melesat sesosok tubuh yang langsung menjejakkan kaki di samping Serigala Mata Satu.
"Rajendra, minggiriah! Kau bukan tandingan si Dewa Bermuka Bulan!"
"Guru!"
Serigala Mata Satu langsung menjura hormat ketika melihat kemunculan gurunya, yang jelas berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas.
"Ha ha ha...! Hm... jadi inikah tampang si Serigala Iblis Bercambuk Emas yang kesohor itu?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam itu yang tadi telah menyerang Serigala Mata Satu.
Serigala Iblis Bercambuk Emas tersenyum sinis, di hadapan laki-laki yang ternyata berjuluk Dewa Bermuka Bulan, berjarak lima langkah. Sorot matanya tajam menusuk seperti ingin menduga, sampai sejauh mana kekuatan Dewa Bermuka Bulan.
"Dewa Bermuka Bulan! Angin apa yang membawamu jauh-jauh datang ke tempatku ini?"
"He he he...? Apakah seorang dewa memerlukan angin untuk membawanya ke sini? Hidungku mencium bau tak sedap di tempat ini. Dan tiba-tiba saja, aku telah berada di sini!" sahut Dewa Bermuka Bulan, cengar-cengir.
"Jangan berbelit-belit! Katakanlah, apa yang kau inginkan sebenarnya? Apakah kau juga ingin menguasai tempat ini seperti kawanan busuk yang menamakan diri Perampok Macan Loreng itu?"
"Ha ha ha...! Apakah kau menganggapku demikian rendah, hanya untuk menguasai tempat busuk ini? Heh, Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kedatanganku ke sini bukan karena silau oleh harta benda curianmu, tapi karena urusan nyawa!" tandas Dewa Bermuka Bulan.
"Hm, sudah kuduga. Lalu, nyawa siapa yang akan kau tebus dariku?" tanya Serigala Iblis Bercambuk Emas. Suaranya terdengar datar, dan sama sekali tak terkejut.
"Masih ingatkah dengan Ki Srengseng yang kau bunuh beberapa hari yang lalu?"
"Ki Srengseng? Apakah yang kau maksudkan adalah si Pedang Bertangan Delapan?"
"Tepat! Dan dia adalah kakakku!"
"Ha ha ha...! Jelas sudah kedatanganmu ke sini. Tapi sebaiknya berpikirlah seribu kali, untuk niatmu itu!" sahut Ki Lodaya alis Serigala Iblis Bercambuk Emas.
"He he he...! Aku bahkan tak perlu berpikir untuk datang ke sini. Apa yang mesti kukhawatirkan darimu? Masalahnya, kau tak lebih dari kecoa busuk yang bisanya hanya menakut-nakuti orang-orang lemah saja!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Julukan Dewa Bermuka Bulan memang sudah tersohor dan memiliki kepandaian tinggi. Tapi berhadapan denganku, kau mesti hati-hati! Ingat kakakmu saja mampus di tanganku. Apalagi kau!" balas Ki Lodaya mengingatkan.
"Heh? Apakah kau sudah pikun atau benar-benar tuli? Bukankah sudah kukatakan, bahwa kau bisanya hanya menakut-nakuti orang lemah dan tak memiliki kepandaian apa-apa? Kuakui, kakakku memang kalah denganmu. Tapi terhadapku, jangan coba-coba pamer gertakan busukmu itu!" dengus Dewa Bermuka Bulan.
"Huh! Kita akan buktikan sekarang juga! Ayo, balaskanlah dendam kakakmu itu!" tantang Ki Lodaya seraya memasang jurus, siap menghadapi lawan.
"He he he...! Silakan, Kawan. Ingin kulihat kepandaianmu. Apakah gembar-gembormu sepadan dengan kenyataannya?" kata Dewa Bermuka Bulan tenang sambil menggenggam pedang erat-erat.
"Hiyaaa!"
Serigala Iblis Bermuka Emas langsung bergerak cepat bagai sapuan angin, mengirim satu tendangan keras ke aras Dewa Bermuka Bulan. Namun dengan enteng, laki-laki berpakaian serba hitam itu merapatkan telapak tangan kirinya ke dada. Kemudian ditangkisnya tendangan Ki Lodaya.
Plak!
Serigala Iblis Bercambuk Emas terperanjat. Ternyata Dewa Bermuka Bulan sedikit pun tak merasakan kesakitan akibat benturan tadi. Malah masih sempat mengayunkan kaki kanan, menghajar ke arah dadanya. Masih untung tubuhnya cepat diputar ke samping dan terus meloncat ke atas. Langsung kepalan tangannya diayunkan ke batok kepala laki-laki berpakaian serba hitam itu.
"Yeaaa!"
"Huh!"
Namun dengan lincah, tubuh Dewa Bermuka Bulan berputar ke samping untuk menghindarinya. Laki-laki berwajah tampan itu kemudian menyodokkan kaki kirinya ke dagu Ki Lodaya.
"Hiiih!"
"Uts, ha!"
Ki Lodaya cepat bagai kilat mundur dua langkah. Kemudian tubuhnya berbalik sambil mengayunkan satu sapuan kaki yang keras ke arah perut. Tapi, Dewa Bermuka Bulan telah melompat ke atas, seraya menghindar dengan kaki kanan ke arah dada. Agaknya, Ki Lodaya telah menduga hal itu. Maka cepat tubuhnya ditundukkan. Dewa Bermuka Bulan jelas bersikap ksatria, untuk tidak mengguliakan pedang di tangan kanannya. Dia melihat, Ki Lodaya juga belum menggunakan senjata.
Namun hanya menggunakan tangan kiri untuk menyerang, itu sama artinya merendahkan kemampuan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dan hal itu membuat Ki Lodaya sudah menjadi gusar. Maka dengan geram Ki Lodaya segera merangsek Dewa Bermuka Bulan disertai pengerahan ilmu silat tingkat tinggi yang dimiliki. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan tubuhnya yang bergerak amat cepat dan ringan sekali.
Tapi Dewa Bermuka Bulan ternyata bukan orang sembarangan. Kemampuannya sebagai tokoh tingkat atas yang tak mudah dipecundangi begitu saja, segera dibuktikan. Tubuhnya segera berkelebat ringan, mengikuti gerakan Ki Lodaya. Bahkan sesekali menusuk pertahanan Ki Lodaya, sehingga membuat kelabakan laki-laki tua itu. Memasuki jurus yang kedua puluh dua, pertarungan kian meningkat sengit.
Ki Lodaya kini menyerang gencar, dan menghajar ke mana saja Dewa Bermuka Bulan bergerak. Namun dengan lincah tubuh laki-laki tampan itu merunduk ke bawah. Dan kepalan kakinya cepat diayunkan, menyodok ke perut. Tak ada waktu lagi untuk menghindar. Maka Ki Lodaya terpaksa menangkis sodokan tangan kiri itu.
Plak!
"Uhhh...!"
"Hiiih!"
Ki Lodaya terkejut setengah mati, begitu tangannya terasa bergetar hebat akibat benturan tadi. Tubuhnya cepat melompat ke belakang, ketika Dewa Bermuka Bulan menyusul dengan satu tendangan keras ke arah perut. Dan begitu tendangannya tidak menemui sasaran, Dewa Bermuka Bulan segera melompat mengejar. Kembali dikirimkannya satu sodokan keras ke arah dada.
Ternyata hal ini membuat Ki Lodaya terkejut, dan bersiap menangkis. Namun ketika kedua tangan mereka hampir beradu, Dewa Bermuka Bulan menarik serangannya. Dan tubuhnya segera berputar cepat dengan kaki kanan menghantam ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Lodaya tidak bisa menghindarinya.
Begkh!
"Aaakh!"
Tubuh Ki Lodaya kontan terjajar ke belakang beberapa langkah sambil memegangi perutnya yang terasa mual akibat tendangan Dewa Bermuka Bulan tadi. Masih untung keseimbangan tubuhnya bisa terjaga, sehingga tidak jatuh.
"Guru...!"
Serigala Mata Satu yang sejak tadi masih berdiri disitu sambil memperhatikan pertarungan, tersentak kaget. Buru-buru dihampirinya Ki Lodaya yang juga gurunya itu.
"Minggir!" sentak Ki Lodaya dengan muka merah menahan malu. Ki Lodaya menatap tajam ke arah Dewa Bermuka Bulan. Seakan-akan lewat tatapannya, dia ingin menelan bulat-bulat laki-laki berpakaian serba hitam di depannya.
"He he he...! Agaknya kau tak bersungguh-sungguh menghadapiku, Kisanak. Nah, berhati-hatilah," sindir Dewa Bermuka Bulan.
Ki Lodaya cepat akan menyerang lawan kembali, dengan jurus barunya. Namun saat itu juga, melesat satu sosok bayangan di sampingnya, dan langsung menjura memberi hormat padanya.
"Guru! Izinkan aku menghajar orang sombong itu...," pinta sosok bayangan itu.
"Gumarang! Menepilah kau! Apa kau pikir aku tak mampu merobek mulutnya? Huh! Kau ini hanya membuat malu saja!" dengus Ki Lodaya.
"He he he...! Jadi, kaukah yang berjuluk Serigala Buntung? Hm.... Semangatmu boleh juga, Kisanak. Tapi, sebaiknya kau memang menepi. Dan jangan mencampuri urusan gurumu," sahut Dewa Bermuka Bulan enteng.
Serigala Buntung yang bernama asli Gumarang, sudah hendak menghajar lawan sambil menggeram buas. Namun...
"Gumarang, minggir kataku!" bentak Ki Lodaya garang, langsung mencegah.
Terpaksa Gumarang menyurutkan langkahnya seraya menahan perasaan geram di hati. Dan dia hanya bisa memperhatikan gurunya yang sudah bersiap menghadapi Dewa Bermuka Bulan sambil memegang cambuk emasnya di tangan.
"Kisanak, silakan. Aku sudah siap...," lanjut Ki Lodaya dingin.
"Ha ha ha...! Aku pun telah siap sejak tadi. Hm... Begitu lebih baik. Jadi, rasanya aku mendapat kehormatan untuk mencicipi ilmu cambukmu yang hebat itu!" sahut Dewa Bermuka Bulan tenang.
"Dewa Bermuka Bulan, hati-hatilah! Sekali cambuk ini terlecut, maka aku tak bisa menahan kawanan serigala yang akan menerkammu dengan buas!" Ki Lodaya memberi peringatan.
"Kau juga patut berhati-hati, Kisanak. Pedangku ini tak bermata, karena tak pernah peduli pada orang yang akan mampus disambarnya!" kata Dewa Bermuka Bulan, dingin.
"Hiyaaa...!"
Ctarrr!
Sekali Ki Lodaya membentak, maka saat itu juga cambuk di tangannya melecut membelah angkasa. Seketika terdengar suara keras yang memecah udara pagi menjelang siang ini.
"Grrr...!"
"Graungrrr...!"
Dan begitu mendengar suara lecutan cambuk itu, kawanan serigala yang masih berada tak jauh dari situ menggeram liar. Dan ketika kembali terdengar lecutan cambuk, maka secara bersamaan binatang-binatang liar itu menerjang ke arah Dewa Bermuka Bulan disertai raungan keras. Sementara, Ki Lodaya pun seperti berpacu dengan kawanan serigala itu sambil mengayunkan cambuknya ke arah Dewa Bermuka Bulan.
Ctar!
Dewa Bermuka Bulan cepat melompat ke atas sambil menyilangkan pedang di tangannya. Tubuhnya terus berputaran beberapa kali untuk menghindari kejaran ujung cambuk Ki Lodaya, sekalian berkelit dari terkaman kawanan serigala liar. "Hup!" Dewa Bermuka Bulan lalu meluncur ke bawah, sambil membabatkan pedangnya ke arah beberapa ekor serigala.
Wuttt!
Cras!
Brettt!
"Ngiek!"
Sekali Dewa Bermuka Bulan mengelebatkan pedang, maka dua ekor serigala melengking setinggi langit. Tubuh binatang-binatang itu nyaris terbelah menjadi dua dan isi perutnya terburai keluar, ujung pedang Dewa Bermuka Bulan menyambar. Namun bersamaan dengan itu, ujung cambuk Ki Lodaya menyambar dengan gerakan meliuk-liuk cepat seperti mengikuti gerakannya.
Kontan cambuk yang membelah udara, membuat gendang telinga laki-laki berpakaian serba hitam itu terasa perih. Agaknya, permainan cambuk Serigala Iblis Bercambuk Emas dilakukan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka tak heran bila suaranya membuat jantung berdetak tak karuan, dan kulit terasa seperti diiris-iris.
Ser! Ser!
Betapa terkejut Dewa Bermuka Bulan. Karena baru saja kedua kakinya menjejak tanah, saat itu juga datang serangan beruntun berupa senjata rahasia ke arahnya. Ternyata lemparan senjata-senjata rahasia itu dilakukan oleh Serigala Mata Satu dan Serigala Buntung. Untung saja, Dewa Bermuka Bulan cepat mengelebatkan pedangnya. Maka sebelum senjata-senjata rahasia itu menghujani tubuhnya, sudah terpapak oleh senjatanya.
"He he he...! Ternyata dugaanku tak salah. Kalian ternyata bukan hanya gerombolan pengecut yang bisanya membegal orang-orang lemah dan tak berdaya, tapi juga tukang main keroyok!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil terkekeh-kekeh.
Padahal jelas kedudukan Dewa Bermuka Bulan tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk balas menyerang. Untuk mempertahankan diri dari serangan lawan saja, barangkali tak akan bertahan lama. Karena dengan ikut mengeroyoknya kedua murid Serigala Iblis Bercambuk Emas, jelas hal itu akan membuatnya semakin terjepit saja. Dan baru saja Dewa Bermuka Bulan menarik napas, ujung cambuk Ki Lodaya sudah menyambar ke arah pinggang kanannya.
Ctarrr!
"Uts!"
Dewa Bermuka Bulan cepat bagai kilat melenting ke atas dengan gerakan ringan. Namun salah seekor serigala bergerak menyambar ke arah punggungnya. Maka cepat-cepat Dewa Bermuka Bulan menyabetkan pedangnya ke arah perut binatang buas itu.
"Mampus kau!"
Bret!
"Nguiek!"
Seketika binatang liar itu ambruk ke tanah, begitu tersambar pedang Dewa Bermuka Bulan. Melihat hal itu Serigala Mata Satu segera melempar senjata rahasia ke arah laki-laki berpakaian serba hitam.
Ser! Ser!
Dua buah berhasil dirontokkannya. Namun, sebuah paku beracun berhasil menancap di punggung kanannya.
"Aaakh!"
Dewa Bermuka Bulan kontan meringis kesakitan, begitu tertancap sebuah paku beracun pada punggungnya. Untung saja, dia agak jauh dari para pengeroyoknya. Maka kesempatan itu digunakan untuk melesat dari tempat itu. Disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, tubuhnya berkelebat cepat, kabur dari situ. Tak ada kesempatan bagi para pengeroyok untuk mengejar. Apalagi, tindakan itu demikian cepat. Mereka hanya saling berpandangan, kemudian menatap ke arah kepergian Dewa Bermuka Bulan yang sudah menghilang.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas, aku akan datang lagi untuk membuat perhitungan dengan kalian!" teriak Dewa Bermuka Bulan sayup-sayup dari kejauhan, menggema ke segala penjuru.
Ki Lodaya yang tidak berusaha mengejar hanya mendengus garang. Tanpa bicara apa-apa, laki-laki itu segera berlalu diikuti kedua muridnya.

***

109. Pendekar Rajawali Sakti : Darah Di Bukit SerigalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang