BAGIAN 8

372 19 0
                                    

Kegelapan mulai menyelimuti seluruh kawasan Bukit Serigala ini. Dingin menyapu sekitarnya, begitu angin bertiup perlahan-lahan. Langit terlihat cerah. Dan bulan lembut sekali memancarkan sinar yang kemilau menerangi seluruh tempat itu. Di kejauhan, terdengar lolongan serigala saling bersahutan. Di sebuah jalan yang menuju Bukit Serigala, tampak dua orang tengah mengendarai kuda. Mereka berhenti persis di dekat sebuah batu karang yang menjulang ke atas dan membentuk sebuah kerucut.
Bagian bawahnya sendiri lebar tak rata, dan terus bersambung dengan jejeran bukit-bukit kecil yang tandus di sekitarnya. Sementara, tak jauh di belakang gugusan karang-karang kecil itu terlihat sebuah hutan yang memanjang dan luas. Sedangkan di depan mereka, terhambar padang rumput yang cukup lebar. Dan di ujung mata memandang, terlihat dua buah gunung yang menjulang tinggi. Kedua anak muda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu memandang sekilas ke sekeliling tempat itu tanpa turun dari punggung kuda masing-masing.
"Kakang! Tempat ini sepi dan menyeramkan...," kata Pandan Wangi sambil memandang ke sekeliling.
"Kenapa? Kau takut?" tanya Rangga sambil tersenyum kecil.
"Tidak. Justru aku ingin cepat-cepat melihat tampang orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas!" sahut Pandan Wangi sengit.
"Kurasa dia telah mengetahui kehadiran kita...," kata Rangga tenang.
"Kakang...?" Pandan Wangi langsung memandang wajah pemuda itu, seolah ingin meyakinkan kata-kata yang dikeluarkan Rangga tadi.
"Mereka tengah mengawasi kita," kata Rangga tersenyum dan mengangguk.
"Di mana?"
"Di balik pepohonan itu...," tunjuk Rangga, kesebuah pohon yang tumbuh beberapa tombak di depannya. Baru saja Rangga selesai berkata demikian, mendadak melesat satu sosok tubuh dari arah yang ditunjuknya.
"Ha ha ha...! Dugaanku tak salah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti berkenan juga untuk mengunjungi tempatku yang buruk ini!"
Begitu menjejakkan kaki pada jarak sepuluh langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi, sosok itu langsung tertawa terbahak-bahak. Rangga dan Pandan Wangi jelas dapat melihat sesosok laki-laki bertubuh sedang itu. Tampak kain kuning, diselempangkan ke pundak kirinya. Mukanya seram dan kedua rahangnya menonjol. Rambutnya panjang riap-riap berwarna kuning keemasan. Di pinggang sebelah kanan, terlihat seutas cambuk berwarna keemasan.
"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Rangga meyakinkan.
"Tak salah. Ternyata, namaku telah sampai pula di telingamu!" sahut orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sambil tersenyum sinis.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas, aku telah banyak mendengar sepak terjangmu bersama dua muridmu. Dan ternyata kau sudah melampaui batas-batas kemanusiaan. Maka, kuminta agar kau dan dua muridmu menyerahkan diri sekarang juga...."
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tak perlu berbasa-basi! Tempat ini milikku. Dan, akulah yang berkuasa di sini. Tak seorang pun yang berhak memerintahku. Jika aku ingin nyawa kalian, hanya seperti membalikkan tangan saja. Nah! Tak usah banyak bicara lagi. Cabutlah pedangmu, dan pertahankan nyawamu. Karena, aku akan mengambil sekarang juga!" sentak Serigala Iblis Bercambuk Emas.
"Hm.... Aku percaya kata-katamu itu, Kisanak. Tapi, jangan terlalu jumawa. Aku takut, malah kau sendiri yang terkubur di sini bersama dua muridmu yang berjiwa melempem, karena terus bersembunyi di belakang pohon itu," balas Pendekar Rajawali Sakti dingin.
Ki Lodaya mendengus geram mendengar perkataan Pendekar Rajawali Sakti yang seperti meremehkannya. Kemudian matanya memandang ke satu arah, seraya melambaikan tangannya. Saat itu juga, melesat dua sosok tubuh ke tempat ini. Mereka tak lain dari Gumarang alias Serigala Buntung, dan Rajendra alias Serigala Mata Satu.
"Nah! Kami kini telah berkumpul. Kau boleh menentukan kematianmu sendiri, Kisanak," geram Ki Lodaya.
"Apakah kalian bersungguh-sungguh? Padahal aku datang secara baik-baik. Tapi apabila kau menjualnya apa salahnya kubeli. Sekalian untuk mempertanggungjawabkan sepak terjangmu selama ini...," timpal Rangga lagi, tenang.
"Banyak mulut! Lebih baik, mampuslah kau sekarang!" bentak Rajendra. Kemudian, Serigala Mata Satu langsung melemparkan paku-paku racunnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas, kuperingatkan sekali lagi! Aku masih bisa menahan sabar, agar tidak ada pertumpahan darah!" bentak Rangga sambil melompat dari punggung kudanya untuk menghindari lemparan senjata rahasia Rajendra.
"Sebaiknya jagalah dirimu agar selamat, daripada coba-coba mengancamku!" balas Ki Lodaya sudah langsung melecut cambuknya, tepat ketika Rangga mendarat manis di tanah.
Ctarrr...!
Belum juga gema lecutan cambuk itu hilang, dari kejauhan terlihat puluhan ekor kawanan serigala liar berlari kencang mendekati tempat itu. Ki Lodaya langsung menunjukkan wajah cerah.
"Kau lihat itu, Pendekar Rajawali Sakti? Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki, mampukah melawan kawanan serigala yang buas dan kelaparan itu? Ha ha ha...! Kalian akan mampus direncah mereka!" ejek Ki Lodaya sambil tertawa.
Rangga tersenyum dingin, kemudian bersuit nyaring. Maka dari jarak yang cukup jauh, terlihat lebih dari seratus orang penduduk berdatangan sambil menyalakan obor. Dan kini mereka siap menghadang kawanan serigala itu. Ki Lodaya tersentak kaget. Demikian juga kedua orang muridnya.
"Serigala-serigala liar itu kini mempunyai lawan-lawannya. Dan kalian akan berurusan dengan kami!" kata Rangga kalem.
"Huh! Kalau begitu, mampuslah kalian!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan cambuknya menghajar lawan.
Ctarrr...!
Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas ketika merasakan angin kencang yang membuat perih kulit tubuhnya, akibat lecutan cambuk lawan. Dan bersamaan dengan itu, kawanan serigala yang tengah dihadang para penduduk itu terlihat semakin garang saja. Meskipun pada mulanya takut-takut melihat obor yang menerangi tempat itu, namun lecutan cambuk itu seperti memacu keberanian mereka!
Sehingga, tak heran bila beberapa ekor serigala berani menjerang orang-orang yang tengah menghadangnya. Dan hal itu menimbulkan kekalutan bagi orang-orang yang kebanyakan bermodal keberanian saja. Ketika tercium bau darah yang berasal dai beberapa orang yang berhasil dilukai, kawanan serigala itu seperti berlomba untuk mendapatkan mangsanya. Apalagi, ketika mendengar suara cambuk yang berkali-kali melecut di angkasa.
Maka kawanan serigala itu bertambah liar dan buas saja. Hal itu agaknya disengaja oleh Ki Lodaya untuk mengalihkan perhatian lawan. Di samping mempengaruhi kawanan serigala. Hal inilah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti menjadi geram. Apalagi, ketika mendengar jeritan kesakitan dari beberapa orang penduduk yang mulai menjadi korban kebuasan kawanan serigala itu.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kau sudah keterlaluan! Perbuatanmu tak bisa kubiarkan lagi. Pertahankanlah jiwamu sekuat mungkin!" geram Rangga sambil mencabut pedang pusakanya.
Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti menganggap kalau lawannya tidak mungkin dihadapi dengan tangan kosong saja. Apalagi, ketika melihat kawanan serigala itu telah membunuh beberapa penduduk. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau tanggung-tanggung lagi. Maka untuk menahan lecutan cambuk yang bisa mempengaruhi serigala, Rangga harus mencabut pedangnya.
Srang!
"Heh?!"
Untuk sesaat, Ki Lodaya dan Rajendra tersentak kaget melihat sinar biru terpancar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang menerangi sekitarnya. Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti mengandung hawa kemarahan, seperti seekor rajawali yang hendak menerkam mangsanya.
"Keparat! Apa kau pikir aku takut dengan pedang bututmu?!" geram Ki Lodaya dan muridnya. Dan mereka sudah langsung melompat menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Ctarrr...!
Dengan didahului lontaran paku-paku beracun, Serigala Mata Satu, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata tombak bermata tiga yang diputar-putar bagai kitiran. Sementara, Serigala Iblis Bercambuk Emas mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang dimiliki, sambil mengayunkan cambuk yang siap menjilat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga cepat menyilangkan pedangnya persis di depan wajah, kemudian mendadak tubuhnya melompat ke atas. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', yang digabung dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Trasss! Trasss!
Weerrr...!
Sekali pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat, maka paku-paku beracun yang dilepaskan Serigala Mata Satu rontok tak berbentuk. Bahkan tombak bermata tiga di tangannya pun patah menjadi tiga bagian. Dan tubuh Rajendra nyaris terkoyak kalau saja pada saat itu tak buru-buru menjatuhkan diri ke tanah. Demikian pula halnya Serigala Iblis Bercambuk Emas.
Bukan main terkejutnya dia, ketika melihat cambuknya yang melesat ke arah lawan, dihajar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti hingga putus dari setengahnya. Saat itu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti tampak bergetar menyambar ke arah dadanya. Ki Lodaya tergagap, dan berusaha menjatuhkan diri ke bawah. Namun, Pendekar Rajawali Sakti cepat melepaskan tendangan kaki kiri. Begitu cepatnya tendangan itu, sehingga tak mampu dihindari.
Desss!
"Aaakh...!"
Ki Lodaya kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal ke tanah lebih kurang tujuh langkah sambil memuntahkan darah segar. Namun Pendekar Rajawali Sakti tak langsung mengejar. Dia malah berjalan perlahan-lahan mendekati lawan yang berusaha bangkit susah payah. Dan tanpa diketahui, tiba-tiba Rajendra melesat cepat hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja pada saat yang sama, terdengar satu suara nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tubuh. Dan sosok itu langsung memapak serangan Serigala Mata Satu!
"Pendekar Rajawali Sakti! Izinkanlah Dewa Bermuka Bulan untuk membantumu menghajar keparat licik ini! Yeaaa...!"
Ternyata sosok itu adalah Dewa Bermuka Bulan. Dan laki-laki berpakaian serba hitam itu langsung menyerang Serigala Mata Satu. Rangga tak menoleh sedikit pun mendengar suara itu. Pandangannya masih lurus menatap ke arah Ki Lodaya, seperti tak berkedip. Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sendiri beringsut-ingsut mundur dengan wajah ketakutan.
"Ampun.... Ampunilah selembar nyawa ini, Kisanak. Aku mengaku salah, dan rela dihukum berat asal kau tak mencabut nyawaku ini...!" ratap Ki Lodaya, memasang wajah memilukan.
Langkah Pendekar Rajawali Sakti terhenti, ketika jaraknya hanya tinggal tiga langkah lagi. Ditatapnya wajah Ki Lodaya yang memelas itu sesaat. Kemudian tanpa berkata apa-apa, tubuhnya berbalik dan bersiap menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Merasa kalau lawan berbuat lengah, diam-diam Ki Lodaya mencabut dua bilah pisau kecil berwarna keemasan dari balik pinggangnya. Dan pisau beracun yang jarang digunakan itu cepat dihujamkan ke arah dua paha lawan.
"Mampuslah kau keparat! Hiiih!"
Wuttt!
Namun Pendekar Rajawali Sakti agaknya sudah menduga kelicikan Ki Lodaya. Maka tubuhnya langsung melenting ke atas sambil berputar. Seketika pedangnya berkelebat, menyambar dengan gerakan menyilang.
Crasss!
"Aaa...!"
Mulai dari bahu kiri hingga pinggang kanan Ki Lodaya nyaris terbelah tersambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Diiringi jeritan panjang memilukan, tubuh Serigala Iblis Bercambuk Emas langsung ambruk ke tanah. Setelah meregang nyawa sesaat, Nyawa Ki Lodaya melayang saat itu juga.
Melihat kematian gurunya, agaknya berpengaruh besar bagi Rajendra dan Gumarang. Bahkan Gumarang yang sejak tadi didesak habis-habisan oleh Pandan Wangi, kini harus menerima pengalaman pahit, begitu lengah saat melihat kematian gurunya. Pedang di tangan Pandan Wangi tanpa dapat dicegah lagi menyambar tangan kirinya sebatas bahu!
Crasss!
"Aaakh...!"
Serigala Buntung kontan memekik kesakitan, begitu tangannya buntung sebatas bahu. Dan nampaknya Pandan Wangi tidak memberi kesempatan lagi. Kaki kanannya cepat bergerak menghajar dada kiri Gumarang.
Begkh!
"Ugkh!"
Serigala Buntung kembali memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar. Bahkan tulang rusuk di dada kirinya sempat patah dan melesak ke dalam, akibat tendangan Pandan Wangi. Seketika Gumarang hanya bisa menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi. Mati!
Sementara itu Serigala Mata Satu, semakin gelisah saja melihat guru dan saudara seperguruannya tewas. Lebih lagi, yang dihadapinya kali ini adalah lawan tangguh yang pernah mempecundanginya beberapa hari yang lalu, yaitu Dewa Bermuka Bulan. Tanpa tombaknya, Rajendra menjadi bulan-bulanan dan hanya mengandalkan senjata rahasia yang semakin menipis jumlahnya. Sedangkan Dewa Bermuka Bulan terus mencecar dan tak memberi sedikit pun kesempatan. Dalam satu kesempatan ujung pedangnya menyambar dada Rajendra. Begitu cepat sambarannya, sehingga Rajendra tak bisa menghindarinya.
Crasss!
"Aaakh...!"
Serigala Mata Satu kontan menjerit kesakitan begitu perutnya robek tersambar pedang Dewa Bermuka Bulan. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh laki-laki berpakaian serba hitam itu, dengan pedangnya kembali berkelebat menyambar.
Crasss!
"Aaa...!"
Kali ini, Serigala Mata Satu hanya bisa berteriak tertahan ketika ujung pedang Dewa Bermuka Bulan nyaris membuat lehernya putus! Darah kontan muncrat dari leher. Sebentar Rajendra terhuyung-huyung, lalu ambruk ke tanah. Mati!
"Mampus!" dengus Dewa Bermuka Bulan sambil menyarungkan pedangnya.
Dewa Bermuka Bulan melihat sekilas ke arah para penduduk desa yang berhasil mengusir kawanan serigala itu. Sejak cambuk di tangan Ki Lodaya berhasil dihancurkan Pendekar Rajawali Sakti, kawanan serigala itu seperti kebingungan. Maka kesempatan itu digunakan sebagian penduduk desa yang terdiri dari para pengawal kadipaten dan jago-jago silat, untuk menghalau serigala-serigala itu.
Tindakan itu tentu saja membuat penduduk lain yang tadinya merasa takut, langsung bangkit semangatnya. Dan secara beramai-ramai mereka menghalau kawanan serigala hingga lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Kemudian sambil berteriak-teriak gembira, mereka beramai-ramai menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas telah mati! Hidup Pendekar Rajawali Sakti!" teriak seseorang.
"Hidup Raja Karang Setra...!" timpal yang lain dengan gegap gempita.
"Hm.... Tak kusangka kalau penolongku ternyata seorang pendekar tersohor!" ujar Dewa Bermuka Bulan sambil menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.
"Terima kasih juga atas pertolonganmu, Kisanak," sahut Rangga merendah.
"Ah, tak perlu! Aku memang mempunyai dendam terhadap mereka. Tak dapat si keparat Lodaya itu, muridnya pun tak apa. Nah, Kisanak. Rasanya aku tak bisa berlama-lama di sini. Selamat tinggal, dan sampai ketemu lagi!" sahut Dewa Bermuka Bulan.
Tubuhnya langsung melesat meninggalkan tempat itu, sebelum rombongan yang dipimpin Adipati Tanuwijaya tiba di tempat itu. Ilmu meringankan tubuhnya memang cukup tinggi, sehingga sebentar saja tubuhnya telah menghilang dari tempat itu. Rangga dan Pandan Wangi hanya tersenyum melihat Dewa Bermuka Bulan. Tak lama kemudian, mereka harus menghadapi kerumunan penduduk desa yang mengelu-elukannya. Bukit Serigala yang semula sepi dan menimbulkan ketakutan bagi siapa yang mendekatinya, kini ramai oleh teriakan suka cita para penduduk kadipaten. Sinar rembulan dan obor-obor yang dibawa para penduduk menerangi tempat itu.
"Gusti Prabu, aku akan merasa mendapat kehormatan bila Gusti Prabu mengunjungi raja kami," pinta Adipati Tanuwijaya.
"Adipati Tanuwijaya, aku telah mampir ke wilayah negeri ini. Dan mau tak mau, aku harus beranjang-sana kepada raja kalian. Terima kasih atas keramahtamahan yang kuterima," sahut Rangga sambil tersenyum.
"Oh, sungguhkah itu?" tanya Adipati Tanuwijaya meyakinkan. Rangga kembali mengangguk pelan.
"Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih. Ini suatu kemuliaan bagi hamba, bisa mengawal Gusti Prabu. Kami akan menyiapkan segala sesuatunya bagi keperluan Gusti Prabu!" sahut Adipati Tanuwijaya cepat.
Tak berapa lama kemudian, mereka segera meninggalkan Bukit Serigala sambil berteriak-teriak melepaskan perasaan gembira yang meluap. Sementara, malam telah merambat pagi. Di kejauhan terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan tanda datangnya kehidupan baru.

***

TAMAT

109. Pendekar Rajawali Sakti : Darah Di Bukit SerigalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang