Hari menjelang sore, ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di Kadipaten Indrakasih. Suasana di sini tampak ramai. Di sepanjang jalan, banyak terlihat umbul-umbul berwarna-warni. Apalagi, orang tampak berduyun-duyun mendatangi alun-alun yang terletak tepat di depan istana kadipaten. Ketika melihat seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh menuju tempat yang sama, Rangga segera menghampiri.
"Ada perayaan apa, Ki. Mengapa ramai betul di alun-alun itu?" tanya Rangga, sopan.
Sejenak laki-laki setengah baya itu memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Sepertinya, dia sedang menduga jati diri Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah kau tak tahu?" laki-laki setengah baya itu malah balik bertanya. Rangga menggeleng, sambil tersenyum.
"Hm.... Kau bukan penduduk sini rupanya. Apakah kau seorang pendekar atau paling tidak, berkepandaian tinggi?" lanjut laki-laki tua itu kembali bertanya.
"Aku dan temanku ini hanya pengembara biasa, Ki. Memangnya kenapa?" kata Rangga, merendah.
"Sayang sekali, kalau saja kalian boleh ikut sayembara itu. Hadiahnya besar. Bahkan yang menang akan menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya!" jelas orang tua itu, meyakinkan.
"Sudikah kau menjelaskan pada kami, sayembara apa yang sedang diadakan oleh adipati di sini?" tanya Rangga.
"Adipati Tanuwijaya tengah mengadakan sayembara. Dia mencari pengawal pribadi yang bisa diandalkan untuk melawan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Siapa yang menang dalam pertandingan, maka akan mendapat hadiah seribu keping emas murni. Bahkan akan diangkat menjadi pengawal pribadinya. Sedangkan pemenang kedua akan menjadi kepala pasukan pengawal," jelas orang tua itu, berseri-seri. Rangga mengangguk-angguk, tanda mengerti.
"Maaf, Kisanak. Aku harus buru-buru! Kesempatan bisa melihat tokoh-tokoh persilatan bertarung, jarang terjadi. Pasti akan berlangsung seru dan hebat. Mari, Kisanak!" pamit laki-laki setengah baya itu seraya berlari-lari kecil mengikuti orang-orang yang berjalan menuju alun-alun di depan istana, tempat kediaman Adipati Tanuwijaya.
"Bagaimana, Kakang? Apakah kau ingin ikut serta sayembara itu? Siapa tahu kau bisa menjadi pasukan pengawal di kadipaten ini?" tanya Pandan Wangi, menggoda.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Entah, apa arti senyumnya. Yang jelas, buat Rangga sayembara itu tak ada artinya sama sekali. Toh dia adalah Raja di Karang Setra. Apalagi hanya untuk mendapatkan seribu kepeng emas dan jabatan pengawal pribadi. Bukannya Rangga merendahkan, tapi yang pasti kepandaiannya hanya untuk membela orang yang lemah, dan untuk menumpas keangkaramurkaan.
"Ada baiknya kita melihat pertandingan itu. Aku heran, mengapa adipati itu sampai menempuh jalan ini. Apakah para pengawalnya tak mampu mengatasi orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu?" kata Rangga mengalihkan pertanyaan Pandan Wangi.
"Kau lupa, Kakang! Serigala Iblis Bercambuk Emas itu berilmu tinggi. Apalagi dia mampu memerintah kawanan serigala liar untuk menyerang musuhnya. Aku menduga, adipati itu memang pantas memerlukan para pengawal yang dapat diandalkan dalam jumlah banyak," timpal Pandan Wangi.
Rangga hanya menggut-manggut mendengarkan penjelasan Pandan Wangi. Tak lama kemudian, mereka segera berjalan perlahan sambil menuntun kuda masing-masing mendekati keramaian yang ada di alun-alun depan kediaman Adipati Tanuwijaya. Orang telah ramai memadati tempat itu. Bukan hanya dari kadipaten ini saja, melainkan juga dari desa di sekitarnya.
Tempat sayembara itu sendiri dipagari bambu berbentuk lingkaran dengan garis tengah kira-kira sepuluh tombak. Di salah satu sudut, tampak Adipati Tanuwijaya duduk memperhatikan pertandingan bersama beberapa orang juri yang akan menentukan pemenangnya. Ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di sana, juri telah menentukan lima orang pemenang. Karena pesertanya cukup alot, maka diputuskan bagi mereka yang mampu mengungguli lawan sebanyak tiga kali berturut-turut patut menjadi pemenangnya.
Kini babak penentuan telah berlangsung. Di arena, tengah berhadapan seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus terbungkus baju merah. Dan lawannya adalah laki-laki bertubuh sedang dengan wajah penuh cambang bauk. Pertarungan tampak berlangsung singkat, karena dengan mudah laki-laki bercambang itu mengalahkan lawannya. Dan lawan kedua pun mampu dikalahkannya dalam waktu cepat. Hal itu tak mengherankan, karena kepandaian laki-laki itu memang di atas lawan-lawannya.
"Hidup Jumangun...!"
"Hidup jago Kadipaten Indrakasih!" teriak para penonton lain menimpali.
Jumangun sendiri tersenyum-senyum sambil menjura memberi hormat kepada penonton.
"Siapa lagi yang akan maju menantang Jumangun?!" teriak salah seorang juri dengan suara lantang.
Pada saat itu juga, melesat sesosok tubuh ke arena pertarungan. Dan dengan gerakan ringan kedua kakinya mendarat manis di tempat arena. Rambutnya panjang dan awut-awutan. Mata kirinya tertutup kain hitam. Tangan kanan tampak menggenggam sebatang tombak bermata tiga. Sorot matanya yang hanya tinggal sebelah itu, tampak tajam menusuk. Sehingga membuat Jumangun bergidik ngeri untuk sesaat. Sementara orang-orang yang berada di tempat itu mulai was-was. Sosok yang baru datang itu terlihat buas. Dan agaknya, dia tak segan-segan membunuh lawan. Dan yang lebih mengagetkan lagi, ternyata penonton mengenali orang itu.
"Dia si Serigala Mata Satu. Murid si Serigala Iblis Bercambuk Emas!" teriak seseorang.
"Heh?!" Seketika saja di tempat itu terdengar gumaman-gumaman tak jelas seperti suara kawanan lebah.
Bahkan sebagian dari mereka, wajahnya menjadi cemas. Namun, tak seorang pun yang meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka ingin menyaksikan kejadian selanjutnya.
"He, Adipati Tanuwijaya! Apakah ada peraturan bahwa aku tak boleh ikut dalam pertandignan ini? Kudengar sayembara ini boleh diikuti semua orang. Lagi pula, bukankah kecoa-kecoa ini yang akan kau andalkan untuk menghancurkan kami? Nah kini aku datang ke sini seorang diri. Jadi kenapa mesti menunggu hingga pertarungan ini selesai? Lebih baik, suruh jago-jagomu untuk menghadapiku sekarang juga!" tantang Serigala Mata Satu jumawa.
Adipati Tanuwijaya memandang geram pada Rajendra alias Serigala Mata Satu. Namun sekuat mungkin dia menahan sabar. Sebentar dia berbisik pada beberapa orang juri, kemudian terlihat kembali memandang Serigala Mata Satu.
"Sebagai seorang adipati, aku patut memenuhi janjiku. Meskipun kau seorang pengacau yang seharusnya ditangkap dan diadili, tapi kau kuperkenankan untuk ikut dalam pertandingan ini," ujar Adipati Tanuwijaya.
Kemudian, Adipati Tanuwijaya berpaling pada Jumangun. "Jumangun! Apakah kau bersedia menghadapi lawanmu?"
"Ampun, Kanjeng Adipati. Mana mungkin hamba berani menolak kalau memang lawan telah menunggu hamba!"
"He, cepat cabut senjatamu!" dengus Serigala Mata Satu.
"Kisanak! Sejak awal pertarungan, tak ada yang memakai senjata. Karena, tujuan pertandingan ini bukan untuk mencelakakan lawan," sahut Jumangun tenang.
"Huh! Siapa yang peduli! Bukankah tak ada peraturan yang mengatakan kalau tidak boleh menggunakan senjata? Bahkan kalau kau mampus di tanganku, maka pertarungan sah saja. Nah! Siapkanlah dirimu sebaik mungkin!" sahut Serigala Mata Satu, seraya melompat menyerang lawan.
"Hup!" Jumangun cepat menundukkan kepala, ketika satu tendangan Rajendra meluncur deras hendak menghantamnya. Tapi kemudian laki-laki bercambang bauk itu terkejut sendiri. Ternyata setelah menghindari, sambaran angin kencang Serigala Mata Satu seakan menggiris kulitnya.
Dan belum juga Jumangun mampu bernapas lagi, dia harus bergulingan menghindari serangan Serigala Mata Satu yang tak kepalang tanggung, dalam mempermainkan senjata tombak bermata tiganya. Dan hal ini membuat kedudukannya semakin terjepit. Sementara orang-orang yang menonton pertandingan mulai memaki-maki Serigala Mata Satu. Namun, tak seorang pun yang berani menghentikan pertarungan itu. Memang, dari semula tak ada aturan yang melarang seorang peserta menggunakan senjata.
"Yeaaa!"
"Uts!"
Jumangun semakin terdesak saja. Tubuhnya jatuh bangun berusaha menghindari serangan tanpa mampu membalas. Bahkan sepertinya dia tidak mampu mengelak ketika Serigala Mata Satu mengayunkan satu tendangan ke arah batok kepala. Namun dengan untung-untungan, kepalanya ditundukkan sambil melompat ke belakang. Sayang, saat itu juga Serigala Mata Satu lebih cepat berbalik dan langsung menyodokkan kepalan tangan kirinya ke dada Jumangun.
Desss!
"Aaakh...!"
Jumangun kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal sambil memuntahkan darah segar. Tapi, agaknya Serigala Mata Satu tak mau berhenti sampai di situ. Tubuhnya sudah melompat bermaksud menghabisi nyawa lawannya yang sudah ambruk di lantai arena. Namun, Serigala Mata Satu tidak mempedulikan bentakan itu. Dia terus melompat cepat sambil mengayunkan tombak di tangan untuk menghabisi Jumangun. Dan begitu ujung tombak hampir menyentuh tubuh Jumangun, mendadak saja melesat sesosok bayangan biru yang memapak serangan.
Trakkk!
"Uhhh...!"
Serigala Mata Satu kaget setengah mati ketika merasakan tombaknya ditangkis oleh suatu benda yang kuat luar biasa. Bahkan mampu membuat dadanya berdetak kencang. Belum lagi disadari apa yang terjadi, sekonyong-konyong datang serangan kembali yang menderu ke arahnya. Buru-buru dia melompat menghindari sambil memutar tombaknya dan kembali menangkis.
Trang!
Bet!
"Ohhh!"
Ketika dua senjata kembali beradu, kali ini himpitan tenaga dalam sosok berpakaian biru yang disalurkan lewat senjata membuat telapak tangan Serigala Mata Satu terasa nyeri. Bahkan tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah. Keringat dingin kini mulai mengalir di tubuh Rajendra. Namun laki-laki itu tak kehilangan akal. Maka senjata rahasianya langsung dilemparkan.
Ser! Ser!
Beberapa buah benda melesat cepat, mengancam keselamatan sosok berpakaian biru itu. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat sosok berpakaian biru itu memutar senjatanya yang berupa kipas baja putih sambil berjumpalitan.
Tring! Trang!
Beberapa buah paku beracun yang melesat ke arah bayangan biru itu, kontan buyar dan rontok ke bawah, tersambar kipas baja putih. Dan begitu bayangan biru itu menjejakkan kakinya, barulah Serigala Mata Satu bisa jelas melihatnya. Ternyata orang yang memapak serangannya adalah gadis cantik berbaju biru. Tampak tangannya memegang kipas baja putih. Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu memandang sinis pada Serigala Mata Satu.
"Siapa kau?!" bentak Serigala Mata Satu, garang.
"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!" kata Pandan Wangi, dingin.
"Setan! Kau pikir aku takut bila hanya berhadapan dengan seorang gadis?"
"Kau tak perlu takut, sebab memang akan mampus!" dengus Pandan Wangi geram.
Mendengar hal itu, bukan main geramnya Serigala Mata Satu. Maka dia langsung melompat menyerang lawan disertai pengerahan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi, Pandan Wangi yang sejak tadi sudah geram melihat tingkah orang itu, langsung melayaninya. Maka kini pertarungan tak terelakkan lagi. Sementara itu, para penonton yang tadi kesal dan geram terhadap Serigala Mata Satu kini bersorak-sorak gembira. Apalagi yang maju kini seorang gadis cantik berkepandaian tinggi.
Sementara, Adipati Tanuwijaya sendiri yang merasa hajatnya jadi berantakan, tak tahu lagi harus berbuat apa, selain mendiamkan saja pertarungan berlangsung. Dalam adu senjata tadi, bisa dirasakan kalau tenaga dalam gadis itu tak berada di bawah lawannya. Bahkan mampu mengimbangi kecepatan gerak Serigala Mata Satu. Hal itulah yang membuat Pandan Wangi semakin percaya diri saat ini.
Meskipun lawan telah mengerahkan seluruh kehebatan permainan tombaknya, namun dengan gesit Pandan Wangi mampu lolos dari setiap incarannya. Bahkan dalam satu kesempatan, gadis itu berhasil menyodok pertahanan Serigala Mata Satu. Tubuhnya cepat menukik tajam, dan langsung menghantam genggaman tangannya pada tombak.
"Hiyaaa!"
Trang!
Ketika kedua senjata itu beradu, Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan. Tubuhnya langsung mundur dengan langkah terhuyung-huyung. Tapi, Pandan Wangi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kaki kanannya cepat terayun, menghantam ke arah dada lawan.
Desss!
"Uhh...!"
Serigala Mata Satu kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar beberapa langkah kebelakang, dan jatuh deras di lantai arena. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi bermaksud menghabisi Serigala Mata Satu secepatnya. Bagaikan anak panah, tubuhnya melesat sambil mengayunkan pedangnya yang berisi tenaga dalam kuat.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Namun pada saat terjepit begitu, Serigala Mata Satu masih mampu berbuat curang, cepat dilemparkan paku-paku beracun ke arah Pandan Wangi. Namun, untung gadis itu telah dapat menduga. Maka kipas baja putihnya cepat diputar, dengan gemas menghantam senjata rahasia Serigala Mata Satu.
Trak! Trak!
Paku-paku beracun itu kontan rontok di hajar kipas baja putih Pandan Wangi. Namun ketika gadis itu berhenti memapak, Serigala Mata Satu telah melesat kabur.
"Wanita sial! Aku belum kalah. Hari ini, kau boleh merasakan kemenanganmu. Tapi lain hari, aku akan datang mencarimu! Dan saat itulah hari kematianmu!" teriak Serigala Mata Satu begitu tubuhnya telah jauh.
"Jahanam busuk! Ke sinilah kalau benar-benar bukan pengecut!" bentak Pandan Wangi sambil mendengus garang.
Tapi, gadis itu hanya bisa memandang geram, karena Serigala Mata Satu telah menghilang. Sambil menyelipkan kembali kipas baja putih pada pinggangnya, gadis itu keluar dari arena pertarungan. Namun baru saja melangkah dua tindak, Adipati Tanuwijaya menghampiri.
"Nisanak, kemarilah sebentar!"
Pandan Wangi menoleh, memandang lelaki berpakaian mewah itu. Sambil tersenyum, tubuhnya membungkuk memberi salam hormat.
"Maaf. Kalau tak salah, bukankah Kisanak Adipati Tanuwijaya? Maafkan sikapku!"
"Tak ada yang perlu dimaafkan Nisanak. Malah, akulah yang harus mengucapkan terima kasih. Kemarilah, ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Adipati Tanuwijaya.
"Kanjeng Adipati, maaf. Hamba tak bisa menghampiri seorang diri, sebab hamba ke tempat ini bersama kawan," sahut Pandan Wangi.
"Hm. Kalau demikian, ajaklah kawanmu itu," titah Adipati Tanuwijaya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
109. Pendekar Rajawali Sakti : Darah Di Bukit Serigala
ActionSerial ke 109. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.