Dua orang berpakaian serba hitam tampak berjalan di pinggiran Hutan Jati Kembar tergesa-gesa. Ternyata mereka telah ditunggu oleh lebih dari dua puluh orang yang rata-rata berwajah seram. Tampak sebilah golok terselip di pinggang mereka semua. Salah seorang yang berdiri di tengah dua puluh orang itu bertubuh besar. Bajunya terbuat dari kulit macan loreng. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Tangan kirinya memakai gelang bahar berukuran besar berwarna hitam mengkilat. Wajahnya polos tanpa kumis dan jenggot. Namun, sorot matanya demikian tajam berkilat, laksana seekor harimau liar. Sehingga membuat siapa pun yang bertatapan dengannya pasti merasa takut dan ngeri.
"Apa yang kalian dapat hari ini Gendon, Wowor?!" bentak orang bertubuh besar itu yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.
"Hanya pepesan kosong, Ki Warkala...," sahut orang laki-laki berkumis tebal, yang ternyata bernama Gendon. Sedangkan kawannya yang satu datang bersamanya, tadi dipanggilnya dengan nama Wowor.
"Daripada tidak dapat sama sekali, kami hanya berhasil merampok gerobak butut dan kerbau ini" timpal Wowor.
"Keparat!" orang yang dipanggil Ki Warkala itu menggeram sambil mengepalkan tangannya. Melihat perubahan wajah Ki Warkala, semua anak buahnya terlihat membisu sambil menundukkan kepala. Mereka tahu, apa artinya itu. Dan tak seorang pun yang berani bersuara.
"Kita tak bisa membiarkan hal ini terjadi terus-menerus!" lanjut Ki Warkala, masih dengan suara seram.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ki...?" tanya Gendon, lirih.
Ki Warkala memandang laki-laki berkumis tebal itu sekilas. Kemudian, matanya menatap lurus ke depan. "Aku sudah punya rencana...," gumam Ki Warkala.
"Rencana apa itu, Ki?" tanya Wowor.
"Kalian tahu Bukit Serigala?"
"Siapa yang tak kenal tempat itu," sahut Gendon.
"Bagus! Kita akan berangkat ke sana, dan menguasai tempat itu!" sahut Ki Warkala mantap.
"Menguasai Bukit Serigala?!" kata beberapa orang serentak, dengan wajah tak percaya.
"Kenapa? Kalian takut ke sana?!" ujar Ki Warkala, agak mendengus.
"Bukan begitu, Ki. Tapi...," sahut Gendon ragu.
"Tapi kenapa?!" bentak Ki Warkala, menggeledek.
"Bukankah di tempat itu telah bercokol Ki Lodaya yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas? Bahkan dia tak sendirian, tapi beserta dua orang muridnya. Dan kabarnya juga, di tempat itu banyak kawanan serigala yang patuh pada perintah mereka," jelas Gendon, mengemukakan kekhawatirannya.
"Apakah kau ingin kusebut penakut?" tanya Ki Warkala dengan sorot mata tajam menusuk.
"Eh! Bukan begitu, Ki. Tapi...."
"Diam!" bentak Ki Warkala nyaring. Dipandanginya anak buahnya satu persatu dengan sorot mata tajam menusuk.
"Perampok Macan Loreng selama ini tak pernah takut pada siapa saja. Apa yang kita inginkan, harus didapatkan. Aku tak ingin kalian berjiwa pengecut! Dan lagi, kita tak bisa terus-menerus berada di tempat ini, sementara Serigala Iblis Bercambuk Emas beserta dua orang muridnya bergemilang harta di sana! Padahal, hanya mereka bertiga. Sedangkan kita, jauh lebih banyak daripada mereka. Maka, akan kita hancurkan mereka sekarang juga. Dan siapa yang tak mau ikut, akan menerima hukuman dariku!" kata Ki Warkala, dengan suara keras.
"Aku ikut, Ki...!" sahut Wowor, terdengar bergetar.
Mendengar jawaban Wowor, yang lain tak ada seorang pun yang berani membantah Ki Warkala. Dan kalau ada yang membantah, maka dia tak akan segan-segan membunuh. Masih untung, Gendon tak menerima hukuman. Memang, Gendon adalah orang kepercayaan Ki Warkala. Tapi bila anak buah yang lain, maka bisa dipastikan nyawanya akan melayang dihukum Ki Warkala, jika berani membantah.
"Kita berangkat sekarang juga!" lanjut Ki Warkala.***
Di kaki Bukit Serigala, suasana terasa lengang. Hawa dingin terasa menyapu sekitarnya, di antara kabut yang belum seluruhnya sirna. Daun-daun dan rerumputan masih basah oleh embun. Rombongan Ki Warkala tampak bergerak perlahan-lahan dengan mata tajam mengawasi keadaan sekelilingnya.
"Waspada! Jangan lengah!" bisik Ki Warkala pada anak buahnya.
"Baik, Ki."
"Jangan berpencar! Kalian harus saling mengawasi satu sama lain!" lanjut Ki Warkala kembali.
Semua anak buah Ki Warkala mengangguk cepat. "Aduh! Apa ini?!" sentak salah seorang anak buahnya, ketika tubuhnya terjerembab karena tersandung sesuatu di tanah.
"Astaga! Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia!" desis kawannya, ketika melihat ke bawah.
Yang lainnya tersentak kaget, ketika mengetahui apa yang terdapat di sekitar tempat itu. Wajah mereka tampak cemas, rasa ketakutan kini mulai merasuki hati mereka.
"Ada apa ribut-ribut?!" sentak Ki Warkala geram.
"Anu, Ki. Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia...," sahut Gendon, takut-takut.
"Keparat! Apa yang kalian takutkan dengan tulang-belulang itu? Apa dia bisa melawan kalau dihajar?!" geram Ki Warkala sambil melotot.
"Eh! Ti..., tidak, Ki..."
"Sudah! Kalau begitu, jangan ribut! Sekali lagi kudengar teriakan ketakutan, kupecahkan batok kepala kalian!" Semua anak buah Ki Warkala menelan ludah, menahan rasa takut.
Mata mereka melotot lebar, seolah-olah di sekeliling tempat itu penuh hantu yang siap mencekik kapan saja. Wajah mereka tampak semakin pucat, dan rasa takut semakin menjadi-jadi bergolak di hati. Keadaan di tempat itu sendiri masih terasa sunyi mencekam. Sampai kemudian, mereka disentakkan oleh lolongan serigala yang terdengar sayup-sayup di kejauhan.
"He, kurang ajar!" maki Ki Warkala yang ikut tersentak kaget.
Kembali terdengar lolongan serigala. Kali ini, nadanya pendek dan terdengar tak jauh dari tempat ini.
"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buahnya dengan suara bergetar.
"Diam!" bentak Ki Warkala mulai kalut.
"Ha ha ha! Siapa yang berani cari mati memasuki daerah kekuasaanku...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras yang nyaring. Seolah-olah, suara itu berasal dari segala penjuru.
"Heh?!"
Mereka yang berada di tempat itu kontan jadi terkejut. Termasuk Ki Warkala. Namun, dia cepat-cepat menguasai diri.
"Siapa kau?! Tunjukkan dirimu! Kami adalah Gerombolan Perampok Macan Loreng!" Ki Warkala balas membentak lantang.
"Ha ha ha...! Perampok tengik semacam kalian mau bertingkah di sini. Pergilah sebelum kalian menjadi tulang-belulang!" kembali terdengar suara yang keras dan lantang.
"Keparat! Tunjukkan dirimu di hadapan kami!" bentak Ki Warkala geram.
"Kalian tak ada derajat untuk berhadapan denganku!"
"Phuih! Siapa pun dirimu, aku tak peduli. Dan sekarang kutegaskan, mulai hari ini kami yang menguasai Bukit Serigala. Maka yang coba-coba menghalangi, akan mampus di tanganku!"
"Ha ha ha...! Perampok Tengik Macan Loreng, sesumbarmu tak ada artinya. Aku Serigala Iblis Bercambuk Emas, penguasa tempat ini. Siapa pun yang berada di wilayah kekuasaanku, harus tunduk padaku. Dan karena kau telah sesumbar bacot, maka kau dan seluruh anak buahmu harus mampus!"
"Huh! Serigala Iblis Bercambuk Emas, buktikanlah kata-katamu kalau memang mampu!" sahut Ki Warkala menantang.
"Auuung...!"
"Heh?!"
Baru saja Ki Warkala selesai berkata, mendadak terdengar raungan serigala yang saling bersahutan. Bahkan amat dekat dari tempat mereka berada. Ki Warkala dan anak buahnya kontan tersentak kaget. Dan samar-samar di antara kabut yang mulai menipis, tampak jelas puluhan ekor serigala telah mengurung tempat itu sambil memperlihatkan lidahnya yang terjulur meneteskan air liur. Sorot mata binatang itu terlihat liar dan buas.
"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buah Ki Warkala bernada ketakutan.
Tapi Ki Warkala tak mengacuhkan kecemasan anak buahnya. Sambil bertolak pinggang, matanya merayapi sekeliling tempat itu.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Apakah kau seorang pengecut, sehingga beraninya hanya mengandalkan binatang-binatang menjijikkan itu?!"
"Ha ha ha...! Kalian sama menjijikan dengan binatang-binatang itu. Maka untuk itulah aku perlu mendatangkan lawan yang sepadan. Nah, Sobat Nikmatilah keramahan mereka."
Ctarrr!
"Graungrrr...!"
Tiba-tiba terdengar lecutan cambuk, yang disusul raungan serigala yang siap mendapatkan mangsa.
"Awaaas!"
Bersamaan dengan itu, serigala-serigala yang mengurung tempat itu bersamaan menerjang Gerombolan Perampok Macan Loreng. Sementara, anak buah Ki Warkala tampak terkejut untuk sesaat. Namun seketika, mereka mencabut golok masing-masing.
"Hiyaaa...!"
"Huh! Binatang-binatang celaka, mampuslah kalian!"
Sambil menggeram penuh amarah, Ki Warkala menerjang dua ekor serigala yang melompat berbarengan menerkamnya. Sementara, dua ekor lagi menerkamnya dari samping. Ujung golok laki-laki tua itu langsung berkelebat cepat. Hasilnya, perut dua ekor serigala berhasil dirobek goloknya. Hewan itu kontan menjerit melengking secara bersamaan. Tubuh kedua hewan itu terjungkal di tanah dalam keadaan bermandikan darah, dan tak bergerak-gerak lagi. Untung saja laki-laki tua itu cepat memiringkan tubuhnya, dan terus melompat ke belakang. Maka terkaman yang mematikan dari dua ekor Serigala itu berhasil dihindarinya.
"Aaa...!"
"Heh?!"
"Graungrrr...!"
Ki Warkala terkejut ketika tiba-tiba terdengar jeritan beberapa orang anak buahnya. Terlihat beberapa orang anak buahnya sudah terjungkal diterjang beberapa ekor serigala yang langsung mengerubuti dan merencah tubuh mereka yang terluka. Darah seketika membajiri tempat itu, dibarengi pekik kesakitan yang menyayat. Dengan amarah meluap-luap, laki-laki tua itu melompat membantu. Namun, lima ekor serigala lain cepat menghadang dari lima arah yang berbeda.
"Binatang-binatang laknat, mampuslah kalian semua...!" dengus Ki Warkala.
"Graungrrr...."
"Hiiih!"
Berkali-kali Ki Warkala menyabetkan goloknya. Namun kali ini kawanan serigala itu seperti mengerti lawannya yang satu ini tak bisa dianggap enteng. Itulah sebabnya, binatang-binatang liar ini melompat menerkam dengan lompatan tinggi yang tak diperhitungkan sebelumnya oleh Ki Warkala. Dikira, serigala-serigala itu akan menyerangnya. Padahal, hewan-hewan buas itu hanya membingungkannya saja, sehingga membuatnya kelelahan.
Ciet... Ciet! Ciet... Ciet!
"Heh?!"
Pendengaran Ki Warkala yang tajam tiba-tiba menangkap suara angin yang aneh di antara hiruk-pikuk raungan serigala dan teriakan-teriakan anak buahnya yang menghadapi amukan hewan-hewan liar itu. Namun belum lagi bisa menduga apa yang akan terjadi...
"Aaa...!"
Sekonyong-konyong terdengar kembali pekikan panjang yang bersahutan dari anak buahnya. Tiga orang yang tumbang sekaligus, langsung diterkam serigala-serigala kelaparan itu.
"Keparat! Kalian telah bermain curang, he?!" geram Ki Warkala ketika menyadari adanya sambaran senjata rahasia yang sengaja dilemparkan ke arah anak buahnya.
Baru saja orang tua itu akan melompat ke arah sesosok bayangan yang muncul tiba-tiba di tempat itu, kembali mendesir angin kencang ke arahnya. Buru-buru Ki Warkala melompat menangkis dengan golok di tangan.
"Hup!"
Trang! Trak!
Dalam keadaan repot menangkis senjata rahasia yang bertubi-tubi menyerangnya, seekor serigala menerkam punggung kiri Ki Warkala. Laki-laki tua itu terkesiap, namun tidak bisa berbuat banyak lagi. Maka....
Brettt!
"Aaakh!"
Ki Warkala kontan menjerit kesakitan. Seketika tubuhnya berbalik, seraya mengayunkan goloknya ke belakang untuk menyambar serigala itu. Akibatnya hewan liar itu melolong kesakitan. Bahkan tubuhnya langsung terbelah dua. Tapi, saat itu juga kembali mendesir angin kencang dari senjata rahasia sebuah sosok bayangan yang mengancam keselamatan Ki Warkala. Dua buah berhasil di tangkis goloknya, namun...
"Aaakh!"
Ki Warkala langsung mengeluh kesakitan, ketika sebuah senjata rahasia menancap di pahanya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dengan cepat, dicabutnya senjata rahasia yang berupa paku sebesar telunjuk itu. Tampak di sekitar lukanya telah berubah menjadi biru yang menandakan kalau paku itu beracun. Dan agaknya racun itu cepat menjalar. Ki Warkala seketika merasakan kaki kanannya sulit digerakkan lagi. Peredaran darahnya seperti terhenti dan otot-ototnya langsung kejang.
Namun, orang tua itu masih berhasil menghindar dengan menjatuhkan diri, ketika dua ekor serigala menerkamnya. Dan baru saja tubuhnya menyentuh tanah, kembali terdengar pekik kesakitan dari anak buahnya. Tiga orang telah ambruk dan langsung diterkam kawanan serigala itu. Darah mulai menggenangi tempat itu, setelah didahului oleh teriakan kematian yang memilukan.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Hadapilah aku, kalau kau memang jantan. Jangan bisanya hanya mengandalkan binatang-binatang keparat itu!" teriak Ki Warkala geram setelah berhasil menghindari terkaman dua ekor serigala. Dan kedua binatang buas itu langsung menyerang anak buah Ki Warkala.***
KAMU SEDANG MEMBACA
109. Pendekar Rajawali Sakti : Darah Di Bukit Serigala
ActionSerial ke 109. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.