05 |

91 7 1
                                    

"Hari ini cukup sampai di sini saja. Dan untuk Asuna," Guru Silica yang tengah merapikan buku nilainya, segera menatap Asuna yang telah bersiap untuk pulang. "Persiapkan dirimu. Besok adalah hari di mana kau mengikuti kontes musik. Dan jika kau perlu bantuan, hubungi aku."

"Baik, Guru. Aku mengerti," jawab Asuna, tersenyum.

Ketika Silica keluar dari ruangan kelas, Asuna segera berdiri dan menghampiri Hinata yang berada di bangku paling depan.

"Ada apa?" tanya Hinata.

"Sebentar malam, ya? Pukul delapan, di rumahku. Jangan terlambat, Sahabat Musikku!" Asuna mengecup pipi Hinata. "Dah!"

"Hoi!" Hinata menggeram. Masih terkejut dengan apa yang Asuna lakukan. Lalu, detik berikutnya, perempuan berambut hitam itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dah."

***

Asuna melewati gerbang sekolah dan tersenyum kecil melihat Kirito bersama motor sport berwarna hitam miliknya.

Kirito memang selalu menjemput Asuna setiap hari. Kegiatannya yang satu ini sudah rutin ia jalani saat mereka naik ke bangku SMA. Cukup aneh. Sebab, seharusnya Kirito melakukan hal ini pada Sugu. Namun, mau bagaimana lagi? Sugu selalu ketat oleh penjagaan ayahnya yang merupakan pejabat tinggi di pemerintahan Tokyo.

"Kau lebih awal," sindir Asuna ketika telah berada di depan Kirito.

Kirito tidak langsung membalas. Laki-laki berseragam itu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel yang lagi-lagi bewarna hitam. Mengotak-atik sedikit, kemudian menampilkan layar dari gawai miliknya pada Asuna. Itu pesan Asuna yang ia kirim tadi pagi.

"Ah," Asuna menggaruk rambut. Ia memperbaiki syal tebalnya. "Aku melupakannya."

"Kau memang seperti itu," balas Kirito, menaiki motornya. "Cepatlah, kita bisa mati kedinginan bila berada di luar ruangan seperti ini."

"Eh?" Asuna menatap Kirito yang kini menyalakan mesin motor. "Ah, kau benar. Kita akan mati kedinginan," ulangnya seraya menaiki kendaraan tersebut.

"Jadi, kita akan ke mana?" tanya Asuna, mengeratkan pelukannya pada perut Kirito karena hawa dingin yang menerpa wajah.

"Membicarakan hubunganku dan Sugu," jawab Kirito, fokus pada jalanan Tokyo yang lumayan ramai dengan kendaraan hari ini.

Sementara Asuna, perempuan itu lantas terdiam cukup lama. Tiba-tiba, pelukannya di perut Kirito semakin mengerat. Sial. Asuna merasakan perasaan aneh yang menyerangnya lagi beberapa hari belakangan ini. Menyebalkan! Hal ini cukup menganggu Asuna, sebab Asuna seperti tidak nyaman berada di dekat Kirito.

Asuna menaruh kepalanya yang tidak mengenakan helm, di punggung Kirito.

Selang tujuh menit kemudian, motor Kirito berhenti melaju tepat di depan kafe Anteiku. Asuna turun duluan dari motor, kemudian diikuti Kirito. Mereka mendorong pintu kaca kafe, menimbulkan suara 'ting!' akibat bel yang ditaruh di atas pintu berbunyi.

Anteiku kali ini tidak seramai malam kemarin. Asuna dan Kirito duduk di tempat biasa. Baru saja mereka duduk, seorang laki-laki yang sebaya dengan mereka datang mendekati.

"Kali ini pesan apa Tuan Kazuto dan Nona Yuuki?" tanyanya.

Asuna menoleh karena mendengar suara yang begitu familier. Pupilnya seketika melebar. Senyum tertarik secara otomatis.

"Kaneki!" seru Asuna, heboh. Secara spontans, Asuna berdiri dan langsung memeluk erat laki-laki tersebut. "Kapan kau kembali ke Tokyo? Astaga. Aku sangat merindukanmu, Bodoh!"

Kaneki tertawa kecil. Asuna lalu mengurai pelukannya. "Aku baru kembali tadi pagi. Ah, aku juga merindukanmu, Yuuki. Dan bagaimana kabarmu, Kazuto?"

Kebiasaan Kaneki bila bertemu Asuna dan Kirito. Dia selalu memanggil Asuna dengan nama depan perempuan itu, sementara dia memanggil Kirito dengan nama belakang laki-laki itu. Yuuki Asuna dan Kirigaya Kazuto.

Kirito tersenyum. "Aku tak perlu menjelaskannya. Menurut bagaimana?"

Kaneki menaikkan salah satu alisnya. "Kau baik-baik saja seperti biasanya, Kazuto," jawabnya sarkastik. Lalu, ia beralih menatap Asuna kembali yang telah duduk. "Aku dengar kau akan mengikuti Kontes Festival Biola Tokyo besok. Aku sangat senang mendengarnya, Yuuki."

Asuna mengangguk, membenarkan ucapan Kaneki. "Yah, begitulah. Doakan aku, ya! Dan, ah, kau harus menontonku besok!"

"Aku tak bisa janji, Yuuki."

"Kaneki!" Asuna menatap Kaneki penuh paksaan. Membuat Kaneki meringis pelan.

"Baiklah, akan kuusahakan."

Asuna tersenyum. "Aku menunggumu, Kaneki!"

"Ehem!" Kirito tiba-tiba berdeham. Membuat dua kepala yang tanpa sadar tengah asyik mengobrol lantas tertoleh pada anak laki-laki berseragam itu. "Aku tahu obrolan kalian sangat asyik, tapi ... aku sangat butuh kopi hangat buatanmu atau buatan Tuan Fugaku, Kaneki."

Hening selama beberapa detik, hingga Kaneki tersadar. "Eh? Maafkan aku, Kazuto! Aku hampir lupa dengan tugasku untuk melayani kalian berdua. Dan, eh, kalian memesan apa? Selain kopi hitam dan cokelat hangat?"

"Mungkin satu cheesecake? Aku juga sangat membutuhkan itu, Kaneki," pesan Asuna.

Kaneki mengangguk. "Lima menit." Lalu, ia pun pergi.

Kini, Asuna menatap Kirito sepenuhnya. "Jadi ...?"

Kirito menghela napas, lalu berdeham pelan. "Aku tak tahu, Asuna. Sugu hanya mengirimku pesan, mengatakan bahwa ia sangat marah padaku. Aku sungguh tidak tahu apa yang salah denganku."

"Ini permasalahan yang sudah sering kalian alami, Kirito! Dan, kau masih menanyakan padaku?" Asuna menatap Kirito tidak percaya.

"Ini berbeda dari yang biasanya, Asuna," balas Kirito. "Aku telah melakukan hal yang biasa kulakukan, tapi sekarang mungkin sudah tidak mempan."

"Kenapa bisa? Tipikal Sugu adalah orang yang sangat mudah luluh. Mana mungkin dia sudah tidak mempan lagi dengan cara itu?"

"Mungkin dia berubah?"

Plak!

Asuna menyentil dahi Kirito dengan keras. "Bodoh! Mana mungkin Sugu berubah!"

Kirito meringis dan mengusap-usap dahinya. Menatap Asuna kesal. "Mana aku tahu?"

"Kalau cara yang biasa sudah tidak bisa ...," Asuna terdiam sejenak, sengaja menggantungkan kalimatnya agar Kirito merasa penasaran.

"Apa?"

"Berarti kau harus melakukan hal lain."

"Seperti?"

"Mengantarnya pulang ke rumah dengan selamat setiap hari," sahut Asuna, tersenyum lebar. "Kautahu, Sugu pasti menginginkannya."

"Tapi, bagaimana denganmu?" Kirito bertanya, membuat senyum Asuna seketika memudar.

Asuna tidak ingin membohongi dirinya sendiri. Asuna ingin Kirito tetap menjemputnya setiap hari seperti biasa. Asuna ingin Kirito melakukan hal itu hanya padanya. Terdengar aneh memang. Dan Asuna tidak tahu penyebab mengapa ia bisa berpikir seperti itu. Mungkin, karena Asuna sudah terbiasa dengan hal yang Kirito lakukan—ah, Asuna mungkin sudah gila!

Asuna secara perlahan mengembangkan senyumnya kembali, ia menatap Kirito, sambil berucap, "Sugu lebih penting, Kirito."

////

Jangan lupa di vote... sebagai dukungan pengarang asli
i

chikatsu

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang