08 |

79 4 4
                                    

"Permisi, permisi." Hinata bergumam pada beberapa penonton agar memberikan akses untuk jalan ke bangku miliknya. Setelah itu, Hinata pun duduk dan segera menyenggol lengan Kaneki. "Asuna akan segera tampil," katanya memberitahu.

Kaneki meliriknya. "Benarkah?"

Hinata mengangguk. Lalu, memperhatikan peserta yang tengah memainkan biola di atas panggung. Detik berikutnya, Hinata mendengus keras. "Apa-apaan itu? Permainannya sangat datar!"

Sementara itu, Kirito yang mendengar perkataan Hinata beberapa sekon lalu lantas tersenyum kecil, tak sabar menantikan permainan Asuna.

"Huh, membosankan!" Sugu merajuk, membuang napasnya melalui mulut.

Kirito terkekeh. Ia mengacak-acak poni Sugu. "Tunggu sebentar lagi."

Tiga menit berlalu, peserta yang mengenakan gaun bewarna merah itu pun menyelesaikan permainannya, yang disambut meriah dengan riuh tepuk tangan. Perempuan dengan mata biru jernih itu tersenyum haru, melakukan ojigi, lalu melangkah keluar dari panggung.

"Kini saatnya, peserta nomor 15, atas nama Yuuki Asuna dipersilakan naik ke atas panggung!" Suara dari pembawa acara langsung ditanggapi dengan teriakan heboh Sugu dan Hinata, membuat beberapa penonton menatap mereka bingung dan juga kesal.

Suara derap sepatu hak tinggi terdengar memasuki panggung. Mata para penonton langsung terpusat kepada perempuan bergaun putih tulang dengan bolongan di punggung, memperlihatkan kulit putih nan mulus milik Asuna. Rambut cokelatnya pun dibiarkan tergerai. Make-up sederhana membuat kecantikan Asuna terpancar. Buktinya, Kirito dan Kaneki tanpa sadar menelan ludah mereka karena terperangah melihat Asuna.

Asuna berdiri tepat di tengah panggung. Hinata memperbaiki posisi duduknya, mencari tempat senyaman mungkin untuk mendengarkan permainan Asuna.

Asuna menatap seluruh penonton yang memenuhi ruangan hingga matanya terpaku pada Kirito. Tanpa sadar, senyuman Asuna mengembang, walau hanya sekilas. Menghela napas, Asuna lalu menaruh biola di lehernya yang jenjang. Ia menutup mata bersamaan dengan tangannya yang mulai memainkan biola.

Dalam diam, Hinata tersenyum.

Kaneki menatap ke arahnya, meminta diberitahu apa lagu yang dibawakan oleh Asuna saat ini.

Menyadari hal itu, Hinata menjawabnya tanpa mau mengalihkan tatapan dari Asuna. "Symphony No. 28 in C Major, K. 200: IV. Presto." Hinata semakin tersenyum lebar ketika Asuna memainkan biola tanpa rasa gugup. Emosi dalam permainannya seakan tersampaikan, membuat hati Hinata sangat puas. "Sudahlah, diam dan dengarkan permainan Asuna!"

Kaneki lantas bungkam. Laki-laki itu sama sekali tidak mengerti apa yang barusan Hinata katakan. Akan tetapi, Kaneki juga merasakan apa yang dirasakan oleh Hinata. Permainan Asuna sangat berbeda dengan permainan peserta sebelum-belumnya. Kaneki tersenyum simpul seiring jantungnya yang berpacu cukup cepat dan tidak beraturan saat matanya menatap Asuna yang sangat terlihat sangat menawan.

Dan tanpa Kaneki sadari, dari tadi Kirito terus memperhatikan gerak-geriknya. Kirito mendengus pelan. Dan kembali menatapi Asuna.

***

Suara riuh tepuk tangan memenuhi ruangan yang sangat besar itu. Para penonton tanpa sadar berdiri dari duduknya dan meneriaki nama Asuna, akibat terlalu kagum dengan permainan perempuan itu yang seolah membius mereka.

Asuna membuka mata, lalu menurunkan biolanya. Matanya menatap penuh haru para penonton. Dadanya naik turun, serta peluh membanjiri dahi. Tanpa sadar, setitik lapisan bening mengalir dari mata kanan, merasa bahagia bahwa permainannya mencapai mereka semua. Asuna kemudian ber-ojigi, dan akhirnya keluar dari panggung.

"Permainannmu sangat mengagumkan, Nona."

Suara itu membuat Asuna terkejut, lantas menghentikan langkahnya dan menoleh untuk mencari sang empu suara. Senyumnya tertarik saat mendapati wanita yang mengantarkan gaun untuknya.

"Ah, itu tidak seberapa dengan peserta lainnya. Kautahu, menurutku permainanku sangat kacau karena kurang berlatih," balas Asuna sopan.

Wanita itu itu pun terkekeh. "Kau terlalu merendah, Nona. Pelatihmu pasti orang yang hebat!"

"Kau benar," ujar Asuna, langsung teringat wajah Hinata yang sedang tersenyum dan mengomelinya kala ia salah dalam memainkan nada. "Dia pelatihku yang sangat hebat."

"Kau beruntung kalau begitu," katanya. "Ah, kau sebaiknya menunggu di koridor. Kertas hasil penentuan juri akan dipasang duapuluh menit lagi. Semoga kau lolos, dan sampai jumpa nanti!"

"Baik. Sampai nanti juga, err ...." Asuna terlihat bingung untuk melanjutkan kalimatnya. Pasalnya, Asuna belum tahu nama wanita yang ada saat ini ada di hadapan.

"Keiko. Namaku Keiko," ucapnya, memberitahu.

Asuna tersenyum. "Ah, sampai nanti juga, Keiko-san!"

Ketika Keiko pergi dan menghilang dari jarak pandangnya, Asuna menghela napas. Asuna mengusap peluh yang masih membanjiri dahi akibat memainkan biola selama tiga menit. Detik beikutnya, Asuna pun membawa raga menuju koridor untuk melihat kertas pengumuman, seperti perkataan Keiko barusan.

Ketika sampai di koridor, Asuna segera mendapati keempat temannya sedang menunggunya di depan mading, dengan Sugu yang heboh melambaikan tangannya, memberi kode agar Asuna mendekat.

"Kau berhasil, Asuna! Kau berhasil! Kau memainkannya dengan baik!" seru Hinata heboh sambil memeluk Asuna singkat.

"Terima kasih, Hinata. Ini semua berkat dirimu," kata Asuna menatap Hinata dengan tulus, menyaratkan rasa terima kasih yang sangat besar.

"Bodoh!" Hinata memukul Asuna pelan, matanya berkaca-kaca. "Jangan membuatku cengeng di situasi ini!"

Asuna hanya tertawa kecil.

"Tenanglah, Hinata." Sugu mengalungkan lengannya ke pundak Hinata. "Aku sangat tidak sabar melihat kertas pengumumannya. Asuna pasti lolos dan masuk ke babak selanjutnya. Iya, 'kan, Kirito?" Mata Sugu melirik Kirito yang sedang bersender di tembok.

"Eh? Iya. Asuna pasti lolos," sahutnya pelan.

"Apa-apaan itu, Kirito? Kau terlihat tidak bersemangat!" Sugu sewot kepada Kirito.

"A-apa maksudmu? Aku bersemangat! Aku hanya memikirkan hadiah apa yang akan kuberikan kepada Asuna bila ia lolos di babak selanjutnya," sangkal Kirito, gugup.

"Aku tidak memerlukan itu, Kirito," gumam Asuna pelan. Melihatmu menontonku saja sudah seperti hadiah bagiku. Lebih dari kata cukup. Ah, apa yang kupikirkan?! Aku mungkin sudah gila!

"Asuna ...."

"Sugu, aku tidak memerlukan hadiah, sungguh!"

"Kau yakin? Tapi aku merasa tidak enak padamu. Aku tak pernah memberikanmu apa-apa."

"Aku seratus persen yakin, Sugu! Menurutku, kehadiranmu sudah menjadi hadiah spesial bagiku," ucap Asuna, mengacak-acak poni Sugu.

Harusnya kau mengatakan kalimat itu pada Kirito, Bodoh!

"Asuna ...." Sugu berkaca-kaca.

"Sudahlah." Hinata tiba-tiba berceletuk. "Hentikan drama kalian! Panitianya sudah ada!" tunjuk Hinata dengan dagu.

Lantas mading pengumuman yang tadinya sepi langsung diramaikan oleh banyak orang ketika kertas itu ditempel di papan mading oleh petugas yang memakai jas hitam.

"Wah, kau lolos, Arima!"

"Ah, Ibu, aku lolos! Namaku ada! Aku lolos!"

Asuna segera menerobos untuk melihat kertas tersebut. Matanya dengan lincah ia gulir ke bawah, ke samping, ke atas, lalu ke bawah lagi, mencari namanya di daftar nama yang lolos ke babak selanjutnya.

Akan tetapi, lima belas detik melakukan hal itu, ia sama sekali tidak menemukan namanya.

Hingga di detik keenambelas, Asuna pun tersadar.

Ia tidak lolos ke babak selanjutnya.

////

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang