22 |

56 2 0
                                    

"Kau terlalu berlebihan, Kirito."

Itulah ucapan pertama ketika mereka telah meninggalkan rumah Hinata. Hatinya diselimuti rasa bersalah akibat pertengkaran Kirito dengan Hinata. Ya, mau di lihat dari sisi mana pun juga, Hinata sudah termasuk sahabat Asuna.

"Aku sudah meminta maaf," elak Kirito. Ia menghentikan laju motornya ketika telah sampai di rumah Asuna. "Lagian aku juga sudah bilang bahwa aku hanya bercanda, dianya saja yang terlalu berlebihan."

Harusnya Asuna protes. Harusnya Asuna marah. Namun yang Asuna lakukan hanya diam, tanpa memberikan argumentasi.

"Tidak usah dipikirkan," lanjut Kirito lembut. Lalu mengusap rambut Asuna yang kini sudah turun dari motornya. "Masuk dan berlatilah untuk sabtu ini. Aku pasti akan datang dan mendukungmu," sudut bibir Kirito terangkat. "Kali ini aku yakin juri akan meloloskanmu. Semangat!"

Asuna terkekeh pelan. "Terserah kau, Kirito."

Kirito tertawa. "Ya sudah, aku pulang dulu. Dah!"

Asuna tersenyum. "Dah!"

Sepasang mata Asuna masih tetap menperhatikan motor Kirito hingga kendaraan itu menghilang dari jangkauan matanya. Dan detik selanjutnya...

Deg!

Jantungnya....

Jantungnya terasa sakit kembali.

Asuna menekan dadanya kuat-kuat dengan tangan kirinya yang bebas. Ia meringis dan menggigit bibir bawahnya keras-keras. Mencoba mengalihkan rasa sakit itu dengan rasa sakit pada bibirnya yang mulai berdarah.

Dengan tubuh gemetar, Asuna membuka gerbangnya yang tidak ia kunci dan masuk tanpa menutupnya kembali. Asuna sudah tidak bisa menahannya lagi! Ia duduk di kursi teras, mengambil botol obat yang baru kemarin ia ambil di apotek sesuai resep baru Gin dari tas ransel sekolahnya. Kemudian, ditelannya dua kapsul tersebut.

Seperti obat kebanyakan.

Pahit....

Namun, bukannya mereda, Asuna semakin merasakan sakit yang luar biasa. Tanpa sadar air mata Asuna menetes. Asuna butuh seseorang saat ini.

Asuna butuh Kirito saat ini juga.

***

Laki-laki bermata abu-abu itu menggigit kukunya, gelisah. Ia duduk bersandar di kursi yang berada di lorong rumah sakit Sanggraloka, menunggu Asuna yang lima belas menit lalu tergeletak di lantai teras rumah—yang kini tengah berada di ruang ICU.

Niatnya sebenernya ingin bertemu dengan Asuna dengan maksud pergi ke pameran lukisan yang diadakan oleh temannya, Touka. Namun, hal itu harus dia buang-buang jauh ketika masuk ke pagar rumah Asuna dan melihat perempuan berambut cokelat itu tergeletak di teras rumah. Tanpa berpikir panjang, ia pun mengangkat Asuna dan segera memanggil taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit Sanggraloka.

Laki-laki itu sontak berdiri ketika melihat seseorang memakai jas putih yang keluar dari ruangan ICU. Dokter Gin. Tak ada senyum di wajahnya, kecuali wajah yang sangat serius.

"Kaneki?" Gin bersuara, memastikan nama laki-laki bermata abu-abu itu.

"Bagaimana dengan Yuuki?" serbu Kaneki langsung dengan wajah khawatirnya.

Gin menghela napas. Lalu menatap kembali Kaneki. "Kau sudah memberitahu Hinata?"

Kaneki mengangguk. "Dia akan sampai sekitar lima menit lagi," jawabnya. "Bagaimana dengan keadaan Yuuki, Dok?"

"Penyakitnya bertambah parah. Untuk detailnya, kumohon ke ruanganku." Tegas Gin, lalu menuntun Kaneki ke ruangannya yang tidak jauh dari ruangan ICU.

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang