Senang dan bahagia. Kedua kata itu mungkin dapat mendeskripsikan perasaan Asuna sekarang. Saat melihat Kirito menunggunya, saat ia menaiki motor Kirito, saat ia memeluk perut Kirito, dan saat mereka berhenti di rumah Asuna.
Turun dari motor, Asuna pun melemparkan senyumnya pada Kirito.
"Kau kelihatan pucat," gumam Kirito cemas. Kemudian, tangannya bergerak menyentuh dahi Asuna membuat perempuan bernetra hazelnut itu memerah. "Tidak panas..."
"Aku tidak apa-apa," balas Asuna. Menurunkan tangan Kirito. "Kenapa menjemputku? Apa Sugu tidak sekolah? Sugu sa—"
"Aku sudah tidak mengantarnya pulang," potong Kirito cepat. Wajahnya berubah murung, membuat Asuna mengurutkan dahinya, bingung. "Ayahnya sudah kembali. Kautahu? Ayahnya sangat ketat. Ah, kehidupan percintaanku kenapa harus sesial ini?" Di akhir kalimat, Kirito mendegus.
Asuna mengulum bibirnya. Ah, jadi karena itu? Seharusnya Asuna tidak berharap lebih. Namun, walau pun begitu, Asuna sangat bersyukur dengan kembalinya ayahnya Sugu ke Tokyo. Terdengar jahat, tapi Asuna mencoba untuk tidak peduli. Tak apa kan dia menjadi egois? Selama ini dia yang selalu mengalah dari Sugu.
"Masuk sana! Aku harus pulang," ujaran Kirito menyentakkan Asuna dari pikirannya.
Bukannya mengindahkan perintah Kirito, Asuna justru memegang salah satu lengan Kirito membuat laki-laki itu terkejut. Ia menatap Asuna di balik kaca helm-nya dengan kening yang terkerut.
"Eto... K-Kau akan menjemputku lagi, kan? Besok, besok, dan besoknya lagi, kan?" Asuna bertanya dengan gugup.
Lama Kirito terdiam sebelum tangannya yang bebas melepas tangan Asuna dari lengannya. Asuna membulatkan matanya. Tindakan Kirito....
"Asuna," panggilnya lembut. Asuna mendongak. "Itu sudah kewajibanku."
Perkataan Kirito seketika menghangatkan hati Asuna. Matanya berbinar seiring kedua sudut bibirnya terangkat. Pipinya memerah.
Asuna merutuk Kirito. Kenapa laki-laki ini selalu bisa membuatnya tersipu? Kenapa kalimat yang laki-laki ini lontarkan seolah seperti berbicara dengan seseorang yang lebih dari teman? Menyebalkan, namun Asuna menyukainya.
Asuna terkekeh pelan. "Bodoh! Itu memang kewajibanmu!"
Kirito tertawa. "Kalau begitu, aku pulang dulu, ya?"
Asuna mengangguk. "Em! Terimakasih atas tumpangannya, Kirito."
"Sudah seharusnya seperti itu," gumam Kirito. Sukses membuat Asuna kembali memerah. Cepat-cepat Asuna memukul pundak Kirito. Agak keras karena dapat membuat laki-laki itu meringis.
"Pulang sana! Ibumu pasti menunggumu."
"Asuna!" Wajah Kirito berubah masam. "Jangan mengejekku!"
"Aku tidak mengejek. Itu kenyataan! Sudah, pulang sana!"
Tersenyum hingga kedua matanya menyipit, Asuna melambaikan salah satu tangannya. Beberapa detik berikutnya, motor Kirito pun melaju, meninggalkannya.
***
Setelah insiden dirinya menangkap basah ibu membawa pria lain ke dalam rumah, perempuan yang melahirkannya itu tidak lagi kembali. Yang Asuna tahu, ketika dirinya masuk ke dalam kamar, ke esokkannya ibunya tak terlihat dan rumahnya kembali sepi.
Itulah yang menyebabkan Asuna beberapa hari belakangan ini berubah.
Hal itu membuktikan ibu dan juga ayahnya sangat tidak mempedulikan dirinya.
Kadang, Asuna beberapa kali mengasihi dirinya sebelum terlelap di malam hari. Ia selalu menanyakan kenapa orangtuanya bersikap acuh padanya? Kenapa? Setahunya, ia tidak pernah berbuat salah. Asuna selalu menuruti permintaan keduanya.
Helaan napas berat keluar melalui hidungnya. Diperhatikannya makanan yang terhidang di depannya. Sangat sederhana. Hanya nasi dan juga telur mata sapi. Asuna tidak mahir memasak. Yang ia tahu hanya mendengarkan musik, membaca partitur, dan bermain biola.
Hidupnya hanya seputar musik dan musik.
Asuna sepertinya tidak memiliki kelebihan lain selain yang barusan disebutkan. Hal ini berbeda jauh dengan Sugu. Asuna tidak dapat memastikan kapan dirinya merasa iri dan cemburu kepada sahabatnya yang satu itu.
Sugu bisa memasak, menyanyi dan membaca puisi dengan sangat bagus. Sugu juga disenangi banyak orang karena sifatnya yang terbuka, sangat berbeda dengan dirinya yang tertutup.
Asuna menyendokkan nasinya ke dalam mulut dangan mata yang terfokus pada layar TV yang menunjukkan sebuah acara orkestra kesukaannya.
Senyumnya tercetak samar ketika sang kameramen menyorot beberapa biolis yang sangat mahir memainkan benda mati tersebut.
Kapan aku bisa duduk di sana?
Tiba-tiba suara dering telepon mengagetkan Asuna. Fokusnya menjadi buyar. Diambilnya ponsel yang ia taruh di sebelah piringnya dang mengangkat panggilan tersebut.
"Asuna di sini!" sapa Asuna riang.
"Ah, Asuna. Kau kedengaran sangat bersemangat. Apa karena undangan itu?" Suara Kaneki yang terdengar berat di telinga Asuna membuatnya memerah.
"Darimana kau tahu? Apa Hinata yang memberitahumu?" tanya Asuna dengan heran.
"Em," gumam Kaneki. "Dia sedang di sini sibuk menyesap cokelat hangatnya. Kautahu, kedatangannya di Anteiku sangat mengangguku." Kaneki mengeluh sambil menatap Hinata yang sedang melambaikan tangan dengan senyum aneh yang sangat mengerikan.
Asuna tertawa mendengarnya. "Kalian berdua bertemu? Jangan begitu, kalian terdengar sedang berkencan," detik selanjutnya, wajah manisnya berganti jadi cemberut. "Kaneki! Ya Tuhan, kau sangat kejam! Padahal baru beberapa hari kau mengajakku kencan! Astaga! Kau seperti playboy bajingan!" jerit Asuna heboh.
Kaneki melototkan matanya. "Yuuki! Apa maksudmu?! Aku terdengar sangat menyedihkan! Lagipula bukan aku yang menyuruh Hinata ke sini! Dia sendiri yang tiba-tiba masuk ke dalam Anteiku dan memanggil namaku dengan keras. Memalukan!"
"Kau pantas mendapatkan itu, Kaneki!"
"Yuuki!"
"Maaf. Aku tidak dapat membantumu. Selamat menikmati kencan kalian!"
Dan sambungan pun diputus Asuna secara sepihak. Asuna menatap ponselnya dengan senyuman. Matanya tanpa sengaja melihat nama Kirito di bawah Kaneki dalam daftar panggilan terbaru. Ragu, tangan Asuna bergerak menekan nama tersebut lalu menempelkannya ke telinga.
Di nada penghubung ketiga, Kirito mengangkat panggilan itu.
"Ha-Halo?" Gugup seketika menyerang Asuna.
"Ah, Asuna? Ada apa?" Suara Kirito terdengar. Serak. Menunjukkan laki-laki itu tertidur dan panggilan Asuna memaksanya bangun. Menyadari hal itu, Asuna tersenyum.
"Ah, aku membangunkanmu, ya? Maaf," gumam Asuna pelan.
"Ti-Tidak, kok! Ada perlu apa?"
"Eto... besok kau sibuk?"
"Emm..., sepertinya tidak. Ada apa? Kau mau mengajakku keluar?"
"Em! Aku bosan di rumah. Bawa aku pergi, ya!" Asuna mengenggam erat ponselnya saat mengatakan hal tersebut. Lama Kirito terdiam. Membuat Asuna menahan napasnya, menunggu jawaban Kirito.
Bukannya menjawab, Kirito justru tertawa di sebrang sana.
"Kirito! A-Apa jawabanmu?"
"Baiklah."
Dan malam itu, Asuna tak bisa tertidur saking bahagianya.
////
KAMU SEDANG MEMBACA
An Instrument In December
Fiksi PenggemarStatus : -up saat sinyal baik- ~An Instrumental In December~ Original Story by @Ichikatsu Up jika sinyal mood, lho! Sinyal didaerah Kredit Story-tor buruk! Menceritakan sebuah kisah persahabatan, cinta dan ironi dalak satu kisah. Kisah dari Asuna da...