18 |

60 2 0
                                    

Bel pulang yang sedaritadi Asuna harapkan, akhirnya berbunyi. Asuna segera mencangklokkan tas ranselnya ke pundak, mengingat di jam pelajaran terakhir ia sama sekali mengeluarkan buku. Kemudian, tangan kanannya mengambil tas khusus berisi biola yang ia taruh di samping kursi, lalu memegangi talinya.

"Aku duluan ya, Hinata."

Hinata mengangguk. "Sampai jumpa!"

Memang, setelah menerima pesan Hinata, semuanya menjadi lebih baik. Rasa tidak suka Asuna saat Hinata melontarkan kalimat pedas itu, seketika lenyap. Asuna hampir lupa. Dan seharusnya ia tahu, jika Hinata mengatakan hal tersebut karena memiliki alasan. Entah alasan itu, namun Asuna harus menghargai alasan Hinata itu.

Langkah Asuna ringan ketika menyusuri koridor sekolah yang tidak terlalu ramai. Karena berbeda dari murid sekolah lain, murid di sini sangatlah betah untuk tinggal di sekolah. Mungkin karena fasilitas alat musik di sekolah ini sangat lengkap.

Ketika sampai di gerbang, Asuna tak kuasa menahan senyumnya. Figur Kirito langsung menjadi objek pertama yang dilihat oleh Asuna. Pipinya mendadak merah, membayangkan bagaimana menyenangkannya kencan yang akan mereka lakukan—mungkin hanya Asuna berpikir seperti itu.

"Kirito!"

Panggilan Asuna membuat Kirito yang sedang fokus dengan ponselnya langsung mendongakkan kepalanya. Tersenyum lebar yang membuat hati Asuna melayang, Kirito kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana laki-laki itu.

"Wajahmu kelihatan senang," komentar Kirito. Laki-laki itu menyerahkan sebuah helm kepada Asuna.

Asuna menerima barang tersebut. "Oh, ya? Mungkin hanya perasaanmu saja. Wajahku memang selalu terlihat bahagia."

Kirito tertawa mendengarnya. "Kau ingin mengajakku ke mana hari ini?"

"Ke mana pun itu, asal bersamamu, aku mau!" ujar Asuna, hampir sepenuhnya ingin itu terjadi.

"Ada-ada saja." Kirito menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yasudah, ayo naik! Aku tau tempat yang pas untukmu."

Asuna tersenyum lebar. Detik berikutnya, ia segera menaiki motor Kirito dan memeluk laki-laki itu dengan erat. "Di mana itu?"

Kirito menyalakan mesin motornya, menaikkan standar, dan melajukan motornya sembari berkata, "Rahasia."

***

Ternyata, tanpa disangka-sangka, Kirito mengajak Asuna ke wahana bermain. Asuna tentu saja senang. Ia suka tempat semacam ini. Apalagi, tempat yang mereka kunjungi adalah tempat yang baru saja selesai dibangun dan menjadi objek paling terkenal di Tokyo.

"Kau ingin bermain apa?" tanya Kirito.

"Aw!" Bukannya menjawab, Asuna justru mengaduh. Dan akibat teriakan refleks Asuna itu, Kirito lantas membalikkan badannya dan mendapati Asuna yang terjatuh—di lantai bergambar abstrak dengan berbagai warna mencolok—akibat disenggol dengan pria bertubuh besar secara tidak sengaja.

"Kau tidak apa-apa? Maafkan aku!" Pria itu merasa bersalah. Wajahnya bahkan menunjukkan raut cemas yang sangat kentara.

"Ah, tidak apa-apa. Ini salahku yang tidak melihat sekitar," balas Asuna sopan sembari berdiri dan membersihkan roknya dari debu.

"Kau tidak apa-apa, Asuna?" Kirito tiba-tiba datang dengan panik. Pria bertubuh besar itu segera pergi saat Kirito datang. "Ah, benar-benar! Sifat cerobohmu memang tak pernah hilang ya sejak SMP?"

Asuna menunduk. "Maaf."

Kirito menghela napas. Tanpa diduga, Kirito segera mengambil sebelah tangan Asuna dan menggenggamnya dengan erat. Tindakan tersebut tentu saja membuat Asuna terkejut. Jantungnya berdebar dan pipinya memerah.

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang