"GOOD MORRRRRNIIIIIINGGGGG SLEEPYHEAAAAAD!", suara Aria di ujung telepon yang menggelegar sukses merusak kenikmatan tidurku pagi itu, subuh lebih tepatnya.
"Kenapa sih telepon jam segini....", jawabku sebal.
"Subuh dulu dong, sayangku. Calon istriku."
"Azannya juga beluuuuum pinterkuuuuu, calon supir pribadikuuuuu", ujarku sambil terkekeh sendiri.
"Hush! Enak aja aku dibilang calon supir pribadi. Bagusan dikit atuh, Yang", sekarang giliran dia yang jadi sebal.
"Ada yang penting enggak nih, yang mau diomongin sampe nelpon subuh-subuh gini? Kalau enggak ada aku mau tidur lagi."
"Haha kok kampret sih kamu. Aku tuh kepikiran gitu tadi, Yang. Tiba-tiba. Kamu kan ada keturunan kembar, nanti abis akad kita langsung bikin adonan kembar cowok yah. Duh, ganteng banget tuh pasti nanti jagoan-jagoanku", aku tersenyum sendiri mendengar kalimat itu. Sebalku jadi hilang seketika. He's always lovable everytime he talks about our future, including our soon to be child. It's heartwarming and cute at the same time.
"Aku maunya kembar cewek, kalau kembarnya cowok, udah pusing duluan aku ngebayanginnya", jawabku sambil diiringi azan subuh yang baru saja berkumandang.
"Ya udah, apa ajalah. Yang penting bikinnya aja aku mah. Hahaha. Udah azan, sayang. Salat dulu, yuk!"
"Iya, jangan lupa dua ra'kaat sebelum subuhnya ya", Aria tidak menjawab. Cukup lama sampai aku mengira kalau dia malah ketiduran.
"Sayang? Are you there?", tanyaku sambil siap-siap untuk berteriak jika dia masih tidak menjawab.
"Eh, iya-iya. Itu kok kayak ada yang gedor-gedor gerbang depan kenceng banget. Aku cek dulu, ya. Nanti aku kabarin lagi. Jangan lupa hari ini jam tujuh malem kita ada meeting sama WO. Langsung ketemu di kafenya, ya. Love you, istrikuuuuuu."
"Masih calon, woy! Oke, sayang. See you there, ya! Love you too."
Aku pun menutup telepon itu dan langsung siap-siap untuk salat subuh. Hari berlangsung cukup cepat hingga tidak terasa jam tanganku sudah menunjukkan pukul 18.00. Aku pun berangkat ke kafe kesayanganku di daerah Dago. I can't wait to see our wedding invitation yang harusnya sudah jadi hari ini. So excited!
Setibanya di sana, aku langsung melihat Nesa yang sedang serius memandangi sederetan kertas-kertas catatan yang isinya apalagi kalau bukan susunan acara pernikahanku. I'm so lucky, my best friend is also my wedding planner. She has a very good wedding organizer yang sudah ternama di Kota Bandung.
"Manaaaa undangan gueee, Babe?", tanyaku excited.
"Eh dah dateng nih calon manten. Ini, Babe. Gemes banget enggak seeeeeeh?", jawabnya tak kalah excited.
I like it. I really am! It's just like what I want! Aku langsung memeluknya erat.
"This is it, Nes! Suka banget gueeee, enggak ada typo apa-apa, kan?"
"Woya enggak ada dong, bitch. Gue gitu loh!", jawabnya sombong. enggak apa-apa sombong, yang penting kerjanya bagus.
"Btw, Aria mana? Udah otw?"
"Gak tahu nih, dia belum ada nelpon lagi dari tadi subuh. Paling juga bentar lagi sampe", jawabku santai. Sebetulnya Aria tidak punya sejarah telat selama ini. He always been on time, malah seringnya aku yang telat. Kami pun mengobrol tentang urusan-urusan pernikahanku yang lainnya sambil menunggu Aria. Tidak terasa sudah satu jam kami menunggu tapi Aria tidak juga datang. Jujur aku khawatir. Aku coba telepon handphone-nya tapi tidak dijawab-jawab. Berkali-kali. Tetap tidak dijawab sampai akhirnya masuk ke mailbox terus. Aku makin khawatir. Aku takut dia kenapa-kenapa. You know, lah. Cobaan menjelang pernikahan itu suka ada aja gitu kan.
Kali ini Nesa yang coba menelepon Aria. Tidak dijawab juga. Aku coba hubungi nomor handphone Ibunya, tidak bisa, handphone-nya mati. Aku telepon ke nomor rumahnya, tidak ada jawaban sama sekali.
"Kok tumben yah dia ngilang gini? Kapan coba dia pernah kayak gini? enggak pernah kan, ya?", tanya Nesa ikut khawatir.
"Boleh enggak kita tunda dulu buat kirim undangannya? I have a bad feeling, Nes. Temenin gue ke rumahnya, yuk?", Nesa menggaknguk. Dia paham betul kalau aku sedang benar-benar khawatir sama Aria.
Untungnya rumah Aria tidak terlalu jauh dari kafe tadi, hanya berjarak 20 menit kami sudah sampai di depan rumahnya. Tapi rumah itu gelap, tidak ada satu pun lampu yang menyala. Padahal ada satu asisten rumah tangga dan satu satpam di rumah itu. Kalaupun Aria dan Ibunya tidak sedang di rumah, lampunya pasti nyala, dong? Aku bingung. Satpamnya pun tidak ada. Aku coba bel berkali-kali, nothing. At all. What the hell? Where are all these people? Where is my soon to be mother in law? Where is my fiancé?
Aku tidak mencoba menghubungi Ayahnya karena jujur aku belum pernah bertemu. Aku tidak punya nomor handphone-nya. Ayah Aria kerja di Makassar. Jarang sekali beliau pulang ke Bandung. Kalaupun pulang, waktunya tidak pernah bertepatan dengan waktuku. Aria anak satu-satunya. Ibunya pun sama. Kakek neneknya sudah meninggal. Jadi, tidak ada lagi anggota keluarga yang bisa aku hubungi saat ini.
"Lo yakin dia enggak ninggalin pesan apapun dari tadi subuh?", tanya Nesa yang juga penasaran.
"Gak ada kok, Nes. I'm sure. Udah gue cek berkali-kali juga waktu kita otw tadi. Duh, Nes. Lemes nih gue. Pulang aja, yuk. Lo tidur di rumah ya, please. Temenin gue. Gue bingung harus ngapain."
Nesa mengangguk sambil mengelus pundakku berusaha menenangkan. Lalu mobilku melaju menjauhi rumah Aria, menuju rumahku. Nesa yang menyetir, aku tidak sanggup. I feel worried and confused at the same time. Aku tidak pernah menyangka kalau hari itu adalah hari terakhir aku mendengar suara Aria. Karena setelah hari itu, dia menghilang. Like totally gone. No words, no explanation, nothing at all.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Ada Judulnya
Short StoryMy name is Kalula Alea, let me tell you a story about my beautiful perfect wedding that never even happened.