#5

3 0 0
                                    


Aku tidak bisa tidur di malam ketika Aria tiba-tiba hilang. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari, Nesa sudah lama tertidur di sebelahku, sedangkan aku masih terjaga. I'm still confused, still worried, and now I'm afraid. What if Aria leaves me on purpose? What if he won't ever come back? Wait... What have I done? Did I do something wrong here? But, no. I have dated Aria for almost one year and not even a single fight happened. Kami tidak pernah bertengkar, semua selalu kami bicarakan baik-baik. We don't fight, we discussed, we talked. Pikiranku semakin kalut. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul bersamaan tapi tak ada satu pun jawaban.

"Al, bangun... Udah jam 08.00 pagi, kita cari Aria ke radio, ya. Gue mandi dulu, lo kumpulin nyawa dulu, ya", ujar Nesa sambil mengelus rambutku. Ternyata aku akhirnya ketiduran semalam. Badanku terasa sakit, gimana enggak? Aku tertidur dengan posisi duduk memeluk lututku sendiri. Aku membuka mataku lebar-lebar, berusaha mengingat apa yang sedang terjadi saat ini. Oh, Aria. Aria di mana? Aku langsung mengecek handphone-ku, berharap ada pesan darinya. Tapi hanya ada satu pesan di whatsapp-ku, dari Sarah, program director-nya radio kepunyaan Aria.

Pagi mba Alea, apa kabar? Sorry ya mba ngechat pagi-pagi. Aku mau tanya soal Mas Aria. Dari kemarin aku telepon enggak diangkat-angkat, pagi ini aku coba telepon lagi malah enggak aktif nomornya. Ini ada beberapa urusan yang mesti dibicarain mba, penting hehe. Bisa tolong disampeinkah ke Mas Aria? Thank you Mba Al.

Aku langsung menutup mataku setelah membaca pesan itu, mencoba mengatur nafasku. Separuh hati ini berharap kalau aku masih tidur dan ini cuma mimpi. Please, God. I don't think I can take this. Aku mencoba menelpon Aria lagi, ntah sudah yang ke berapa kalinya. Dan ternyata Sarah benar, nomornya sudah tidak aktif. Badanku langsung terasa lebih lemas dari sebelumnya. Tidak berapa lama, aku dapat pesan lagi dari Sarah.

Mba, sorry ngechat lagi. Barusan aku udah coba telepon Pak Dirga tapi nomornya enggak aktif juga Mba. Kalau Mba lagi sama Mas Aria, tolong bilangin saya nyariin ya Mba. Makasih banyak Mba Al.

Pak Dirga adalah nama Ayahnya Aria, my soon to be father in law. Oh, Sarah. You have no idea how much I wish I was with him right now, kataku pada diri sendiri. Aku memperlihatkan pesan Sarah pada Nesa sehabis dia selesai mandi. Nesa menatapku bingung. Harapan kami untuk bisa menemukan Aria di radio hilang sudah.

"Oh! Ben, Al! Siapa tahu Ben tahu Aria di mana, bentar gue telepon", ujar Nesa sambil berlalu keluar dari kamarku. Aku sudah tidak mau banyak berharap. Aku ragu kalau Ben tahu di mana Aria. Karena kalau tidak ada apa-apa, tidak mungkin Aria hilang begini.

"Ben enggak tahu, dia juga kaget Al. Terakhir kontak sama Aria itu minggu lalu pas dia ikut main basket sama anak radio. That's all", kata Nesa pelan.

Aku menundukkan kepalaku. Lemas sebadan-badan rasanya. Aku sedih tapi aku tidak bisa menangis. I don't know why, padahal aku ini biasanya cengeng. Nonton iklan yang sedih sedikit aja aku bisa nangis berlebihan. Tapi sekarang mataku malah terasa kering. Hanya hatiku yang bisa menangis. I'm crying inside.

***

Satu minggu sudah Aria menghilang. Aku, Nesa, dan Ben sudah cari ke setiap sudut Kota Bandung. Kami sudah tanya semua teman Aria dari TK sampai Kuliah. We got nothing. Bahkan Ben sudah terbang ke Makassar untuk mendatangi rumah Ayahnya Aria di sana, guess what? Ben kembali ke Bandung dengan membawa kabar bahwa rumah Ayahnya pun ternyata kosong.

Satu minggu ini terasa bagai neraka bagiku. Aku harus terus menerus berbohong pada Ibu tiap kali beliau bertanya soal undangan dan progress persiapan acara pernikahanku. Aku bahkan menghindari pulang ke rumah sebelum Ibu tertidur. Hatiku teriris rasanya tiap kali aku lihat wajah Ibu yang bersinar-sinar membicarakan pernikahanku. Oh, God... What should I say to her? Aku tidak punya kekuatan untuk membuatnya kecewa. Aku harus bagaimana?

I lost my appetite. Rasa laparku terkalahkan oleh rasa takut, sedih, khawatir, kecewa, marah. Boro-boro mau makan, yang ada aku ingin muntah tiap detiknya. I lost my sleepiness. Badan dan otakku tidak pernah terasa selelah ini, but it's really hard for me to sleep. Sesuatu yang buruk selalu terbayang setiap kali aku berusaha memejamkan mata ini. Pernikahanku batal, Ibuku kecewa, keluargaku malu, tetangga dan teman-teman akan membicarakan soal ini, uang DP yang sudah kubayarkan untuk semua vendor hangus, and the list goes on.

But the worst of those thoughts is... Aku kehilangan Aria, orang yang sangat aku sayangi, yang sudah aku bayangkan akan menjadi pendampingku seumur hidup. The thing is, he is great. Dia sangat baik, dari awal dia selalu baik. Bukan hanya padaku, tapi juga pada Ibuku, pada keluargaku, teman-temanku. He treated me like I'm a fucking princess. He's my best friend, my best lover. My fiancé. I miss you, Aria. I miss you...

Braak!!! Aku terjatuh dari dudukku. Pandangan mataku terasa samar, kunang-kunang, sampai akhirnya semua gelap total.

***

Aku merasa telapak tanganku hangat, hangat sekali. Sedikit demi sedikit aku berusaha membuka mataku, aku langsung melihat Ibu sedang memegang tangan kananku sambil menangis. Kenapa ruangan ini telihat seperti rumah sakit?

"Al, Ya Allah sayang... Akhirnya bangun juga sayang", ujar Ibuku pelan. Beliau berusaha menyeka air matanya, tidak ingin tangisnya kulihat.

"Kenapa Al ada di sini, bu?", tanyaku lemas. Badanku benar-benar terasa lemah saat ini.

"Kamu kena tipes, Al. Makannya enggak bener yah, sayang? Kenapa atuh Al teh enggak cerita sama Ibu?", mata itu mulai berkaca-kaca lagi. Hatiku hancur sekali rasanya sekarang. Aku tidak menjawab. Aku tidak tahu mau jawab apa. Aku hanya bisa menangis, akhirnya mata ini bisa juga menangis. Ibu memelukku perlahan, mengelus kepalaku. Tangisku makin pecah, kami berdua sama-sama menangis sesenggukan dalam pelukan ini. Beliau pasti sangat kecewa sekarang.

"Al enggak tahu Al salah apa Bu. Al salah apa, Bu?", tanyaku lirih. Ibu memelukku makin erat. Badannya mulai terguncang sekarang, makin hancur hati ini rasanya.

"Sabar Al, ini ujian dari Allah. Kita harus kuat yah, sayang. Pokoknya Al harus cepet sembuh, enggak usah pikirin nikah. Sembuh aja dulu. Udah itu mah biarin aja. Berdoa aja kita mah ya, sayang. Sembuh dulu anak Ibunya, enggak boleh sakit kayak gini."

Oh, Tuhan ternyata begini rasanya dikecewakan orang yang kusayang sekaligus mengecewakan orang yang paling kusayang. Believe me. Nothing can beat this pain. Nothing.

Belum Ada JudulnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang