Sudah satu minggu lamanya aku dirawat di rumah sakit, kondisiku belum juga membaik. Aku tahu kalau tidak butuh untuk dirawat seperti ini, aku cuma butuh Aria. Aku ingin tahu dia dimana, dia kenapa. Karena sampai detik ini, tidak ada satupun dari kami yang tahu dimana keberadaannya. This is ridiculous. Gimana caranya satu keluarga bisa hilang gitu aja?
My beautiful perfect wedding kini tinggal sekedar harapan, rasanya tidak mungkin itu akan jadi kenyataan. I called the wedding off. Aku sudah bicara sama Ibu dan seperti yang Ibu bilang, kesembuhanku adalah yang paling penting saat ini. Semua keluarga dan teman-teman yang mendapat kabar batalnya penikahanku tadinya berpikir kalau sakitnya aku adalah alasan utamanya. Tapi setelah mereka datang menjengukku, satu per satu dari mereka menyadari bahwa sakit ini bukanlah alasannya. Aku melihat rasa iba dan kasihan di wajah mereka masing-masing ketika melihatku terbaring lemah di ranjang ini.
Aku juga kasihan pada diriku sendiri. Selama menjalin hubungan dengan Aria, aku selalu berusaha memberikan yang terbaik dan jadi terbaik buat dia. Karena diapun selalu berusaha seperti itu untuk aku. Semenjak Aria hadir di hidupku secara tiba-tiba, semuanya berubah jadi lebih menyenangkan. Aria bukan hanya mencintaiku dengan tulus, dia juga merangkul segala kekuranganku dan membuatku jadi manusia yang lebih baik setiap harinya, tanpa menggurui sama sekali. Aku belajar lebih menghormati Ibuku dari Aria. Dia memperlakukan Mamanya dengan luar biasa, kadang aku heran di zaman seperti ini ternyata masih ada anak laki-laki yang sebegitu sayang dan perhatian kepada Ibunya. Dan aku selalu merasa beruntung, karena laki-laki itu akan jadi suamiku. Tadinya. Sekarang? Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk menjalani hidupku kedepannya. Setelah aku sembuh dan ke luar dari rumah sakit ini, aku harus bagaimana?
***
Elusan hangat sebuah tangan di kepalaku ini telah membangunkanku dari tidur, samar-samar ku lihat ada badan laki-laki sedang duduk di sebelah ranjangku. Wajahnya belum sempat ku lihat, tapi hatiku sudah merasa sakit, menyadari kalau badan itu bukanlah badan Aria.
"Hey...", ujarnya sambil tersenyum melihatku bangun.
Diaz? Kenapa ada dia di sini? Bukankah dia seharusnya masih di Belanda untuk mengambil PhD?
"Yas?", jawabku pelan.
"Sorry, ya, aku baru bisa ke sini. Akhirnya supervisor-ku ngasih aku libur sebentar", katanya menjelaskan.
"Al...", Diaz menatapku dalam.
"Ya?", jawabku lirih.
"I've told you, I'm better than him. See?", katanya lagi.
"Shut up, Yas. I don't need to hear that right now. Thanks udah nengokin aku, tapi mending kamu pulang aja, aku mau istirahat", jawabku sambil memalingkan wajah darinya. I really don't need to hear that right know. Diaz menarik nafas dalam, dia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu keluar kamar ini.
"Just so you know, I'm still here. I always am", ujarnya seraya keluar dari ruangan.
Kini aku yang menarik nafasku dalam sambil memejamkan mata. Jujur, aku masih berharap kalau Aria akan datang ke sini, menemuiku dan menjelaskan semuanya. Aku pasti akan mendengarkan, aku pasti akan memaklumi apapun yang telah terjadi yang membuat dia sampai tega menghilang seperti ini. Aku pasti akan memaafkannya. I still love him. Very much.
Mataku masih terpejam saat aku mendengar suara pintu ruangan ini terbuka kemudian oleh diikuti suara langkah kaki yang mendekat ke arahku. Suara itu terdengar semakin dekat sampe akhirnya ia berhenti di sebelah kanan ranjang ini. Aku tidak ingin membuka mataku, mungkin hanya suster, pikirku. Tapi badanku sedikit tersentak ketika aku menyadari kalau aku hafal aroma badan ini. Ini kan, wangi parfum kesukaannya Aria? Aku membuka mataku perlahan dan aku melihat ada Aria sedang berdiri di sebelah kananku. Dia tersenyum, mataku langsung terasa berkaca-kaca. Akhirnya Aria datang juga.
"Kamu cepet sembuh dong, Al. Aku enggak bisa lihat kamu sakit kayak gini", kata sambil membungkukkan badannya untuk mencium keningku.
"Kamu kemana aja sih, Ya? Aku cariin kamu selama dua minggu ini, kamu tuh sebenernya kemana, sih?", tanyaku sambil berusaha menggapai tangannya. Aku ingin merasakan hangat tubunya, hati ini sudah terlalu rindu.
"Aku enggak kemana-mana, Al. Aku sama kamu terus kok. Kamu cepet sembuh ya, sayang, kan minggu depan kita nikah", jawabnya sambil mengelus kepalaku lembut.
Aku mengernyitkan dahiku, heran. Karena seingatku, pernikahan itu sudah dibatalkan. Tapi kenapa Aria malah bilang begini? Aku memejamkan mataku lagi, berusaha mencerna hal yang sedang terjadi saat ini. Dan ketika aku membuka mataku, aku mendapati Ibu sedang mengelus-ngelus kepalaku perlahan, sambil menangis. Loh, Arianya mana?
"Aria mana, Bu?", tanyaku kebingungan. Ibu makin menangis, beliau langsung memelukku erat. Kemudian matanya menatapku sendu,
"Aria enggak ada, Al... Kamu tadi mimpi, ya?", jawabnya pelan.
Hatiku yang sudah hancur berantakan ini rasanya makin porak poranda. I saw him, clearly. I smelled his scent, very fragrant. I felt his touch, so warm. I heard his voice, we talked. WE TALKED. It was so fucking real. And now you tell me it was just a dream? Oh God... just kill me already.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belum Ada Judulnya
Short StoryMy name is Kalula Alea, let me tell you a story about my beautiful perfect wedding that never even happened.