01. Hari Kelulusan

42 11 4
                                    

Awan pekat kehitaman mendominasi langit pagi. Namun sepekat apapun langit, hari ini tetaplah hari ini. Hari kelulusan, adalah puncaknya akhir perjuangan kami.

Kelulusan diumumkan secara online, namun sebulan setelahnya seluruh siswa seangkatan datang ke sekolah melakukan upacara bendera terakhir dan juga upacara perpisahan. Kepala sekolah berpidato dengan gagah, lalu dilanjutkan oleh seorang siswi pilihan.

Namaku Sheira, dan iya, aku dan dua puluh satu temanku adalah anak yang beruntung. Kami terpilih untuk selesaikan study SMA kami dalam waktu dua tahun. Entah ini disebut beruntung atau tidak, karena bagi sebagian orang ini sama sekali tidak menyenangkan.

Mereka bilang kami tidak bisa menikmati masa paling indah dalam kehidupan remaja, yaitu masa SMA. Mereka juga bilang kami dipaksakan untuk matang, mereka bilang kami para siswa karbitan. Tapi aku dan teman-teman tidak peduli dengan celotehan-celotehan semacam itu. Mereka semua berhak berpendapat, tapi kami tidak akan pernah mau mendengar.

Selepas upacara yang begitu hikmat, kami bercengkrama bersama. Berkumpul dalam lingkaran masing-masing kelas. Kami tertawa mengingat masa yang telah lalu, masa yang begitu biasa saja namun pasti akan dirindukan. Air mata menetes di pipi temanku, Renjana atau yang biasa kita panggil Ana. Dia tertawa sambil menangis, lalu patahlah pertahanannya.

"Pokoknya kalo udah pisah, jangan lupain aku ya!"

Suaranya Ana lantang tersayup-sayup tangisnya, namun pipinya tetap mekar dengan senyumnya.

Kami semua terdiam memandangnya, jujur tak kusangka wanita lembut dan pendiam seperti dia akan berteriak histeris sambil menangis di hadapan kami semua. Beberapa perempuan mulai berlinang butiran air bening dari mata mereka, berkaca-kaca mata mereka.

Binar, si cewek tameng besi yang tak kenal sedih dan tahan banting, bahkan jika dia dilempari dengan batu, batu itu akan kesakitan. Dari matanya yang memang aku akui cukup bersinar, terlihat bening dan basah berkaca-kaca. Terbersit dalam benakku, bahkan wonder woman sekalipun bisa dilelehkan hatinya oleh waktu.

Hari kemarin begitu jauh, jauh lebih jauh dibanding hari esok. Tak terjangkau lagi sampai kenangannya mampu melelehkan hati.

Terhenti lamunanku saat mataku menatap sudut loby sekolah. Duduk seseorang bersama kacamatanya yang ia selipkan di saku baju, matanya menatapku juga lalu sekejap di tundukan kepalanya.

Dia Dicky, lelaki yang selalu menyendiri. Bahkan pada masa sekolah dia duduk sendirian di pojok belakang kelas. Tidak ada guru yang bertanya padanya, tidak ada teman yang menyapanya, tidak ada wanita yang tersenyum padanya.

Aku teringat pada Ana, wanita dengan paras lembut itu adalah satu-satunya pelajar di sekolahku yang pernah mengajak Dicky berbicara. Dan saat itu, saat mataku memang kebetulan sedang menghadap mereka, untuk pertama kalinya aku melihat ada garis senyum di wajah Dicky.

Aku menggambarkan Ana sebagai malaikat yang sengaja dikirim Tuhan agar menjadi teman untuk Dicky, lebih tepatnya adalah teman satu-satunya.

Saat dia sedang sendiri dengan kepala tertunduk seperti itu, aku mengajak Tirta dan Naufal menghampirinya. Tirta enggan, jadi aku menghampirinya bersama Naufal.

Saat kami ada di hadapannya, diangkat kepalanya lalu dia menoleh ke arah mereka-teman-teman kami yang sedang bersenang-senang. Aku melihat matanya, entah apa yang dia fikirkan.

"Kalian terlihat sangat bahagia ya?" Ucapnya penuh sindiran.

"Gabung bersama kami yok." Aku mengajaknya. Naufal menatapku dengan padangan tidak percaya yang tidak ku hiraukan. Kupikir kasian juga melihat dia sendiri padahal ini hari terakhir kami.

"Kenapa? Kalian tiba-tiba bersikap manis hari ini. Apa karena ini hari terakhir kita bertemu? Yang aku tahu adalah kalian berdua merupakan penghidup kelas, kalian adalah sumber tawa mereka dan tanpa pernah kau pikir hati siapa yang kau lukai."

Aku dan Naufal hanya terdiam dan Dicky berlalu. Dia melangkah menjauhi kami, meninggalkan loby menuju parkiran. Entah apa yang dia bicarakan tadi, aku sama sekali tidak mengerti. Dan tidak biasanya laki-laki yang satu ini bisa bicara banyak.

Naufal berdecak.

"Sudah kubilang, sia-sia berbicara dengan orang aneh itu."

"Kau benar." Ucapku yang sebenarnya bergumam pada diri sediri.

Aneh. Perasaanku saja atau memang Dicky yang aneh?

MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang