03. Perundingan

29 5 0
                                    

"Jangan! saat malam tidak boleh ada yang memasuki hutan!"

"Tapi kenapa, Pak?"

Naufal menanyakan alasan kepada mereka. Namun tak di jawab, mereka memalingkan wajahnya dan kembali berjalan menjauhi kami.

"Aku jadi ingat si anak aneh itu, dia juga tadi pergi begitu saja setelah memalingkan wajahnya."

Naufal berceletuk membahas Dicky, tapi fikiranku tidak fokus sama sekali.

Kembali berputar-putar nama hutan ini di kepalaku.

Hutan batok,
Hutan batok,
Hutan batok.

Sungguh, itu sangat menggangguku. Lalu kami putuskan untuk pulang.

"Sheira."

Di perjalanan Naufal memanggilku dengan perlahan, namun itu mengejutkanku. Tubuhku di dekatnya namun pikiranku entah pergi sejauh apa. Aku merasa tubuhku demam, hanya demam rendah.

"Apa, Fal?

Naufal menggelengkan kepalanya. Kebisuan melanda kami di tengah perjalanan.

Sampai di rumahku, Naufal hendak pulang.

Sebelum ia pergi, ia bertanya lagi

"Bagaimana ini? Apa yang mereka katakan menggangguku."

Entah seperti apa aku akan menjawabnya.

"Jangan pergi, Fal. Nanti aku bujuk Ana untuk membatalkannya."

"Harus banget dibatalin ya, Shei?"

Aku tidak tega melihat air mukanya, penuh harap. Dia terlihat seperti ingin sekali berlibur bersama teman-teman.

"Iya-iya, nanti aku cari tempat liburan yang lain dan mengusulkannya ke Ana."

Naufal pulang, aku mengantarnya sampai ke jalan raya, sampai ia tak terlihat lagi setelah melewati jembatan yang agak menanjak.















































Malam harinya, aku mengajak beberapa temanku untuk berkumpul di Cafe langganan kami yang terletak tak jauh dari Sekolah. Naufal, Tirta, Ana, Amerta, dan Binar datang. Aku ingin mengajak mereka merundingkan kembali rencana gila yang Ana ajukan dan mereka setujui tadi pagi.

Tak kusangka Luna juga datang, temanku yang bernama Dharaluna Elmeera ini tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya di luar sekolah. Sudah dua tahun aku berteman, dan malam inilah pertama kali kami bertemu di luar sekolah.

Dua cangkir kopi hangat, tiga gelas milo dingin, dan satu gelas mocktail di bawakan seorang pelayan.

"Satu cangkir cappucino lagi."

"Jadi apa yang akan kita bicarakan, Shei?"

Ana membuka percakapan setelah keheningan melanda kami dalam pikiran masing-masing.

Kuperhatikan senyumnya, sekilas ada rasa iba jika aku memaksakan untuk membatalkan semua.

"Jadi begini-"

Lalu pelayan datang membawa kopi pesanan Luna.

Setelah pelayan itu pergi, aku melanjutkan.

"Kalian minum saja dulu."

Aku jadi tidak enak untuk membatalkan acara kami.

"Katakan saja cepat, Shei!"

Seperti biasa, itu Binar. Cewek tomboy yang kalau bicara selalu nge gas.

"Santai aja, Bin."

Untung ada Ana yang dapat mendinginkan suasana. Bagus Ana, bagus.

"Ana, kita tidak akan pergi berkemah besok jika pilihannya masih sama di hutan batok. Aku dan Sheira sudah mendatangi hutan itu. Hutannya berantakan, terlalu gelap bahkan untuk siang hari. Dan kami bertemu dua orang warga setempat. Mereka mengisyaratkan dengan kuat bahwa kita tidak diizinkan berkemah di sana."

Naufal tiba-tiba berbicara. Mereka memandangiku dan Naufal secara bergantian.

"Tapi, itu hutan milik negara. Mereka tidak berhak melarang kita. Lagi pula Pak Ardi akan ikut bersama kita, jadi pasti aman dan tidak masalah."

Benar juga.

Ana membela. Aku jadi bertanya-tanya apa yang menyebabkan dia ngotot untuk pergi kesana.

"Ana, kenapa harus hutan? Bukankah Pantai lebih masuk akal?"

Kali ini, Tirta buka suara.

"Pengalaman baru, Tir! Tdak mungkin kan liburan terakhir kita bersama harus garing dengan berkunjung ke Pantai."

"Bagaimana dengan alasannya? Orang-orang tadi melarang kami ada alasan tertentu. Seperti ada hewan buas misalnya."

Aku sudah tidak tahan lagi. Jelas sekali mereka mempunyai alasan yang kuat. Aku ingat betapa tajamnya mata mereka saat Naufal menyebutkan akan berkemah di sana.

Mereka terdiam sejenak. Naufal menghela nafas, tampak wajah penuh harap saat aku berbicara tadi. Kini, Naufal adalah orang nomor satu untuk mengurungkan rencana ini. Dari sudut pandang Naufal, dia lebih terlihat takut dibanding malas seperti yang dia katakan tadi sore.

"Jadi peranku di sini hanya mendengar ocehan kalian ya."

Aku sejenak berhenti berfikir. Fokusku dikacaukan oleh Luna.

"Ana, sebenarnya bagaimana kamu tahu tentang hutan ini?"

"Itu rahasia."

'Hmm.. Menarik.'

MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang