04. Panggilan Tak Dikenal

28 5 1
                                    

"Ana, sebenarnya bagaimana kamu tahu tentang hutan ini?"

"Itu rahasia."

'Hmm.. Menarik.'

"Kamu mengutarakan ide itu setelah upacara perpisahan, artinya kamu baru saja mendapat ide itu. Berarti yang memberitahu tentang hutan itu adalah teman sekolah. Dan kamu Ana, tidak punya terlalu banyak teman selain yang di kelas."

"Wah Shei, sepertinya kamu terpengaruh Novel yang kamu baca." Celetuk Amerta setelah mendengarkan tentang penjelasanku.

"Sherlock Holmes, ya?" Tanya Luna. Ia memang sering memerhatikanku membawa serial Novel favoritku itu ke Sekolah.

Lalu aku hanya menganggukan kepala sambil memberi sedikit elakan,

"Tidak banyak pelajaran moral yang bisa diambil dari novel Sherlock Holmes yang aku baca. Namun itu mampu meningkatkan daya pikirku untuk menerka dan membuat hipotesis. Dijelaskan dan dibuktikan bahwa detail-detail kecil lah yang paling besar pengaruhnya dan ternyata, hal paling sepele bisa jadi bukti yang paling penting."

Mereka semua memandangku dan tidak berkomentar apa-apa. Setelahnya, kami melanjutkan perbincangan ke topik yang lebih ringan membahas masa Sekolah kami dulu. Aku bersyukur Luna mengalihkan topik, sehingga aku cukup menikmati malam ini.

Jarum pendek menunjukkan angka 10. Kami terdiam sibuk dengan kegiatan kami masing-masing yang tidak lain ialah berkutat pada ponsel masing-masing.

"Aku tetap ingin berkemah besok." Ana tiba-tiba membuka suara, membuyarkan pikiranku.

'Kumohon, jangan.'

Tapi Ana tetap bersikeras untuk mengadakan kemah. Ternyata semesta sedang tidak berpihak padaku dan Naufal karena 4 orang lainnya mengangguk tanda setuju. Hanya Naufal yang menatapku penuh harap, tapi aku menggelengkan kepala kecil sebagai tanda pasrah.

Maka malam itu diambil keputusan bahwa tidak akan ada yang berubah dari rencana semula. Naufal terlihat agak kecewa, dan dia juga terlihat agak khawatir.

Aku mengelus-ngelus punggungnya, mengerti, mencoba menenangkannya saat kami berjalan menuju parkiran.

Sesaat sebelum Naufal meninggalkan cafe, ia berjanji akan ikut besok. Ana terlihat senang.

Aku mengambil ponsel dan mengetik sesuatu. Aku menunjukannya pada Ana. Dia hanya mengangguk dan agak keheranan.

"Bagaimana kamu tahu?" Katanya setengah berbisik.

"Jangan tanya."

Aku sengaja tidak langsung saja menyebutkan apa yang aku tulis agar Ana percaya aku bisa menjaga rahasia. Namun karena dia mengangguk, berarti yang aku tulis itu benar. Dan jujur saja, itu menjanggal di pikiranku.

Di rumahku, hampir pukul dua malam dan aku masih belum tidur. Ponselku berdering.

"Private Number? Semalam ini?"

Aku menatap layar ponselku, berpikir. Aku bermaksud untuk mempermainkan balik orang yang ingin mempermainkanku ini. Aku sudah tertawa lebih dulu membayangkannya.

Begitu aku menerima panggilan itu, suara agak serak berbicara dengan begitu cepat.






































































["Jangan ke hutan itu!"]

Lalu telepon mati.

'Sial!'

Tanganku agak gemetar. Aku melempar ponsel sembarang arah. Tapi untungnya benda pipih itu mendarat di kasurku, bukan di lantai.

Beberapa saat kemudian aku kembali bisa menguasai diriku. Aku menarik nafas sangat dalam, dan mulai berfikir akan kemungkinan asal panggilan telepon tadi.

Jika itu temaku, tapi untuk apa? Sepertinya apa yang terjadi barusan agak membantuku, aku jadi merasa lelah dan ingin sekali tidur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang