02. Berlibur

30 10 6
                                    

Dalam bisingnya percakapan teman-temanku, sedikit ada pelajaran yang mampu dipetik oleh temanku, Tirta. Dia menjelaskan bahwa bising adalah bagian dari kehidupan, lebih lucu lagi karena dia bilang "Kebisingan sedang mengajari kita bahwa mereka adalah bagian dari hidup". Entah pendapat bodoh macam apa itu.

Beberapa saat kemudian, tiga orang wanita yang aku tidak tahu dari kelas mana menghampiri kami. Ada garis-garis senyum licik di wajahnya. Mereka tepat berhenti di hadapan kami yang sedang duduk di atas rumput-rumput lembut di depan kelas.

"Memalukan sekali, yang katanya terpilih untuk masuk kelas aksel tidak seorangpun dapat peringkat sepuluh besar."

Kami semua memandanginya, aku bahkan tidak tahu nama mereka bertiga tapi dari penampilannya aku yakin mereka salah satu anak populer. Aku tersenyum dan Tirta juga tersenyum.

Lalu temanku, Zohrah menyahut.

"Kami hanya dua tahun sekolah, bisa lulus itu bagus kan? Wajar jika kami tidak bisa di peringkat tinggi."

Ketiga wanita itu tersenyum bahkan tertawa. Belum sempat mereka kembali menyahut, Zohrah sudah berbicara lebih dulu.

"Bagaimana dengan kalian? Kalian sudah sekolah selama tiga tahun dan masih tidak dapat peringkat tinggi. Jadi siapa yang memalukan di sini?"

Suaranya lantang, tanpa putus sedikit pun. Matanya tajam memandang wanita itu, dagunya dinaikan dan tangannya mengepal dengan erat. Aku sempat risau bahwa akan terjadi pertumpahan darah di sana.

Sedikit bercanda, tawa kami meledak dan ketiga wanita yang cukup populer itu meninggalkan kami dengan sedikit berlari. Entah semalu apa mereka.

Aku melihat Ana datang dari kejauhan, dengan langkah yang tenang dia mendekati kami.

Ana tiba-tiba mengajak kami berlibur, tidak seperti biasanya kali ini dia begitu antusias. Dan pilihan liburannya menurutku sangat bukan dirinya. Dia ingin mengajak kami berkemah di sebuah hutan. Oh Tuhan, dari mana wanita seperti Ana mendapat ide gila semacam itu.

Aku memalingkan wajahku dan hendak pergi dari lingkaran teman-temanku.

"Woy, Shei! kamu tidak bisa kabur sekarang. Ini untuk yang terakhir kalinya. Ayolah, ini yang terakhir."

Melihat semua temanku memandangiku, aku kembali duduk. Aku tidak terlalu meperhatikan apa yang ia katakan. Namun terdengar sebuah nama hutan.








































Hutan Batok.

Akhirnya mereka semua memutuskan, mereka akan benar-benar berlibur dengan berkemah di hutan. Segalanya telah di rundingan.

Seperti biasanya teman sebangku ku Amerta, dia itu selalu penuh perhitungan. Awalnya ia menolak tapi karena yang meminta adalah sahabat karibnya, Ana. Dia pun tidak bisa menolaknya.

Setelah semua sudah disepakati dan perhitungan sudah tepat. Mereka membagi tugas masing-masing untuk menyiapkan segala yang diperlukan.

Mereka sama sekali tidak membebankan apapun padaku, karena menurut pengalaman mereka, aku terlalu sering menggagalkannya. Mereka hanya memintaku berjanji untuk ikut bersama mereka.

Jujur saja, aku tidak berani berjanji, setelah apa yang aku alami dulu. Saat aku benar-benar dikalahkan oleh waktu, waktu yang mampu memaksa seseorang untuk melanggar janjinya.

Sesaat aku menatap jam tanganku, sudah pukul sepuluh. Aku mengajak teman-temanku untuk pulang. Dan kami semua pulang bersama. Beberapa orang ingin mempersiapkan barang bawaannya, karena seperti yang direncanakan bahwa mereka akan berkemah di hutan mulai besok sore selama dua malam.

Sesampaiku di rumah, aku memikirkan liburan itu berkali-kali. Aku sungguh enggan, tapi hatiku ingin habiskan waktu bersama teman-temanku untuk yang terakhir kalinya. Jadi apa aku harus pergi atau tidak?

Dalam selingan pikiranku, terlintas nama hutan itu. Hutan Batok. Namanya terus berputar dalam otakku, entah kenapa, terasa aneh dan asing. Aku mulai mencari informasi dari internet ataupun teman-teman dunia maya ku yang memang mengenal hutan-hutan. Namun tidak ada satu pun informasi yang aku dapat.

Kini seperti yang di katakan Ana tadi pagi, aku hanya tau lokasinya, dan aku tau itu adalah hutan yang dulunya merupakan taman pariwisata sehingga cukup layak untuk tempat berkemah.
Aku putuskan untuk datang ke tempat itu.

Beruntung, Naufal mengiyakan permintaanku untuk menemaniku pergi. Jadilah kami di sore itu pergi mencari Hutan Batok dengan sedikit informasi dari Ana.

"Tempat apa ini?"

Lalu kujelaskan segalanya pada Naufal. Namun tak kusangka, sore itu dia malah bercerita sedikit banyak padaku. Tentang enggannya ia menyikapi liburan ini. Tersenyum aku karena ternyata kami memiliki keresahan yang sama. Namun takkan kutunjukan padanya.

Disela obrolanku bersama Naufal, datang dua orang lelaki kurus dengan topi kerucut khas pak tani yang berpenampilan agak kotor. Di pundak mereka potongan-potongan kayu bakar terikat rapi. Tidak ada senyum di wajah mereka, tidak ada keramahan sedikitpun. Saat aku sapa, bahkan menoleh pun tidak.

Naufal bertanya tentang kondisi hutan, namun mereka tetap tidak peduli.

Sejenak aku pikir mereka bisu dan tuli, namun seketika mereka menoleh ke arah kami berdua. Mata tajamnya mengejutkanku, sepertinya mereka terganggu saat Naufal menyebutkan rencana kami untuk berkemah di hutan.

"Jangan! saat malam tidak boleh ada yang memasuki hutan!"

MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang