Persiapan dan Awal

33 3 0
                                    

"Kalau kau tau, kenapa tidak kau saja yang pergi mencari obatnya, kenapa harus menungguku? Aku ingin pulang! Aku ingin kembali ke duniaku!"

"Dengar, jika bisa, sudah sejak dulu aku mencarinya tanpa harus menunggumu. Seperti yang aku bilang tadi, hanya kau yang memiliki akses keluar masuk lembah itu."

Aku memandang keluar jendela, malu mendengar kalimat Abay. Kata-katanya seolah mengartikan

'Bodoh, tadi kan aku sudah bilang....'

'Kamu itu budek atau tuli?Punya telinga ko tidak mendengar!"

Serta beberapa kalimat sarkas lainnya.

"Yasudah, mari bersiap. Kalau kita cepat menyelesaikan tugas kita, kau juga akan cepat kembali keduniamu."

Aku tergiur. Langsung aku bangkit, ikut memilih beberapa senjata yang sedang Abay ambil, tas, serta beberapa perlengkapan lainnya. Terakhir, Abay menyuruhku mengganti pakaian yang telah dia siapkan. Aku menurut saja, segera aku mengganti pakaianku di ruang ganti. Setelah selesai, aku mengamati diriku didepan cermin. Tunggu, pakaian ini seperti aku tau. Ah, aku memakai pakaian persis seperti Fawn temannya Tinkerbell. Tentu saja di film Tinkerbell. Bedanya, sepatuku adalah sepatu Hiking.

Dan Abay, pakaiannya persis seperti Peterpan versi kartun, hanya saja celananya sedikit longgar dan warnanya senada dengan warna bajuku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dan Abay, pakaiannya persis seperti Peterpan versi kartun, hanya saja celananya sedikit longgar dan warnanya senada dengan warna bajuku.

"Sudah siap?" Tanya Abay.

Aku mengangguk mantap. Yah, siap tidak siap, aku harus tetap pergi, agar bisa cepat kembali.

Abay membawaku ke tempat Raja. Kami meminta izin untuk segera mencari obat putri.

"Kumohon, segeralah temukan obat itu. Hanya Gwen yang kumiliki."

Kalimat permohonan dari Raja itu, terus terngiang dikepalaku sampai aku dan Abay keluar dari istana. Kami mulai mendekati lembah, tapi kakiku mulai ragu melangkah. Abay menyadarinya, dia menggenggam tanganku, lalu menatapku sambil tersenyum seolah mengatakan 'tenanglah, aku bersamamu.'

Entah kenapa, senyum teduh Abay bisa meyakinkanku. Kami menyusuri lembah dengan tangan kiri Abay yang terus menggandengku dan tangan kanannya yang memegang busur panah terkadang menyingkap ilalang yang menghalangi jalan.

"Abay, aku lelah." Aku menarik tangan Abay, menyuruhnya berhenti.

"Sudah lelah?ayolah, ini bahkan belum setengah jalan."

Belum setengah jalan katanya? Tapi aku merasa kita sudah jalan sangat lama, pasti sudah sangat jauh. Aku sungguh lelah. Jujur saja, aku tidak pernah olahraga. Aku kan tergolong anak zaman sekarang, yang hobinya tidur-tiduran sambil menatap masa depan, alias rebahan sambil drakoran. Sudah pasti akan cepat lelah, walau jalan kaki belum seberapa.

"Istirahat ya, sebentar saja."

Aku langsung saja duduk dibawah pohon besar sambil meluruskan kaki. Kenapa ya? Padahal dulu bisa sesukaku melakukan apapun dialam mimpi. Kenapa sekarang aku tidak bisa lagi mengendalikan mimpiku, bagaimana jika aku tidak bisa pulang?

Aku mengusap wajahku gusar, ku lihat Abay yang duduk didepanku sedang merogoh tasnya. Dia mengeluarkan sesuatu, semacam bambu. Abay menarik sesuatu yang menutupi lubang bambu tersebut.

"Ini, minumlah."

Ternyata bambu itu isinya air, bambu itu seperti botol minum. Abay memberinya untukku, aku menerimanya dengan senang hati. Setelah selesai, kukembalikan lagi bambu itu pada Abay, kulihat dia juga meminumnya.

"Abay, kenapa para lelaki didesa itu menggunakan penutup kepala?termasuk kau."

Abay memasukkan bambu itu kedalam tasnya sebelum menjawab pertanyaanku,

"Kami percaya, bahwa Dewa memberikan Rahmat lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan. Rahmat itu diletakkan Dewa dikepala kami, makanya kami menggunakan penutup kepala agar Rahmat kami tidak hilang."

Aku mengangguk, begitu rupanya.

Hari sudah mulai malam, awan sudah mulai gelap, dan aku sudah mulai mengantuk.

"Nona Violet."

Aku mengerjap, menatap Abay yang juga tengah menatapku. Aku lupa memperkenalkan namaku, padahal sudah hampir seharian aku bersama Abay.

"Namaku Viora, bukan Violet."

"Tapi, aku lebih suka memanggilmu Violet. Apa boleh, Nona?"

Aku mendengus, "Terserah kau saja. Tapi kau tak perlu memanggilku dengan embel-embel Nona."

Abay terkekeh, "Baiklah, Vi."

Ku lihat Abay mulai sibuk dengan kegiatannya. Dia sedang mengumpulkan kayu, dan entah apa yang ingin dibuatnya dengan daun-daun pisang.

"Abay, kau sedang apa?"

Dia menoleh sejenak padaku, tapi tidak menghentikan aktivitasnya. "Membuat perapian, Vi."

Abay menyuruhku untuk bangun, lalu dia meletakkan beberapa daun pisang. Lalu membuat sedikit atap menggunakan sanggahan kayu dan daun kelapa, sangat mudah menemukan barang-barang ini, karena hutan ini masih lestari. Oh, jadi Abay ingin membuat alas untukku tidur.

"Maaf ya, aku hanya bisa membuat yang kecil. Semoga kau nyaman ya tidur nya."

Aku tersenyum lalu mengangguk. Kemudian masuk kedalam tempat yang baru saja dibuat Abay, tapi Abay tetap berada diluar.

"Abay, kau tidak tidur juga?"

Abay masih sibuk membuat perapian, "Kau tidurlah lebih dulu, Vi. Aku akan berjaga diluar."

Aku merasa kasihan dengan Abay. Apa iya dia akan terus berjaga sepanjang malam? Tapi mau bagaimana lagi, tempat ini juga hanya muat untuk satu orang. Itupun aku harus meringkuk.

Api buatan Abay sudah menyala, kehangatan mulai ku rasakan. Angin malam membantu mengantarkan ku ke alam mimpi.

***

Sorry kalimatnya ngebosenin. Karena emang lagi suasana bosen.

Cuma buat tambahan aktivitas.
Ga menyenangkan dan ga bikin puas.

#DirumahAja
#QuarantineDays

Damn, this is Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang