the long night

24 3 0
                                    


Abay POV

"Vio, kenapa badanmu jadi panas begini?"

Untuk menjawab pertanyaankupun dia tidak sanggup. Aku menurunkannya sejenak, untuk melihat kondisinya. Matanya sudah sayup-sayup ingin tertutup. Dengan pelan dan lembut ku tepuk pipinya, agar kesadarannya kembali.

"Hey, sadarlah. Kumohon."

Aku mengusap peluh yang membanjiri wajah cantiknya. Hatiku sakit sekali melihatnya kesakitan. Aku gagal melindunginya, tapi untuk kedepannya aku harus bisa melindunginya.

Aku tidak tau apa yang terjadi denganku. Tapi yang jelas hatiku berkata bahwa aku harus melindungi gadis cantik ini. Sudah mulai gelap, aku harus mencari tempat istirahat, setidaknya untuk merebahkan tubuh gadis cantik ini.

"Kita lanjut ya."

Kembali ku angkat tubuh mungil itu. Kenapa dia ringan sekali aku angkat, apa makannya tidak lahap?

Suara Guntur mulai menggema dilangit malam. Tandanya, hujan akan turun. Aku harus cepat-cepat menemukan tempat berteduh. Namun naas, aku kalah cepat dengan hujan yang mulai turun ke bumi.

Bumi, apa kau ikut bersedih melihat gadis cantik ini kesakitan?

"Abay, aku tidak kuat."

Suaranya lirih sekali, tepat ditelingaku. Hatiku sesak mendengarnya. Batinku menjerit. Dewa, bantu aku untuk mebantu gadis ini, salah satu makhluk ciptaan-Mu.

Aku terus berjalan diderasnya hujan. Melawan air yang mulai menghantam. Dari kejauhan aku melihat cahaya, sepertinya disana ada gubuk. Syukurlah.

"Vio, bertahanlah."

Hanya itu  kalimat yang mampu aku keluarkan. Untuk menguatkan Violet sekaligus diriku. Aku tidak tau mengapa diri ku butuh dikuatkan. Aku mempercepat langkahku untuk sampai ke gubuk itu.

Lampu neon itu seakan menyambutku. Cahayanya terang sekali. Aku membaringkan tubuh mungil Violet dibangku panjang yang ada disini, sementara aku mengetuk pintu, mencari sang pemilik gubuk.

Berulang kali kuketuk, belum juga ada jawaban. Oh ayolah, gadisku butuh pertolongan. Eh apa?tunggu? Gadisku?

Kkrrriieeekkkk....

Akhirnya..

Seorang wanita paruh baya, keluar dari balik pintu. Tampak terkejut dengan penampilanku yang basah kuyup.

"Permisi, Mbok. Apa saya boleh menumpang bermalam?teman saya sedang sakit." Pintaku sopan sambil menunjuk ke arah Violet yang sepertinya sudah pingsan.

Mbok tadi melihat ke arah Violet. Dia langsung menghampiri Vio.

"Oh gusti, apa yang terjadi le? Ayo dibawa masuk dulu temannya."

Tanpa pikir panjang aku langsung membawanya masuk. Baik sekali si Mbok ini, aku berpikir diizinkan bermalam diluar pun sudah sangat bersyukur. Eh ini dibolehkan masuk dan diberi makan pula.

Aku membaringkan Violet diranjang kayu. Sementara aku sedang menyantap makanan yang diberi oleh Mbok, pastinya setelah aku mengganti pakaian.

Aku menjelaskan kepadanya kenapa Violet pingsan, Dan dia langsung mengobati kaki Vio. Keberuntungan ku berlipat ganda kali ini, sebab ternyata si Mbok adalah seorang tabib.

Dia meracik obat dengan menumbuk beberapa bahan, lalu langsung ditempelkan ke tempat lukanya Violet. Vio sendiri bajunya sudah diganti, tentu saja Mbok yang menggantikannya.

Tak selang beberapa lama, Vio mulai membaik, demamnya turun, nafasnya sudah beraturan. Lalu perlahan, matanya mulai terbuka. Aku segera menghampirinya.

"Hai, Vi."

Aku tersenyum senang melihatnya. Sepertinya dia masih menahan sakit, bisa kulihat dari raut mukanya serta bibirnya yang dipaksa kan tersenyum.
Cepat-cepat kutahan tubuhnya yang ingin bangun.

"Kau masih sakit, Vi. Berbaringlah."

Dia memegang tanganku, sontak aku melihat ke arahnya, menatap matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Abay, aku ingin pulang."

Dia menangis. Ya Dewa, aku tidak kuat melihat nya bersedih. Tolong Dewa, ku mohon jangan biarkan kesedihan bertamu dihidupnya. Biarkan hanya kebahagiaan yang menjadi temannya.

"Vi.."

Hanya pelukan yang bisa kulakukan, berharap dapat menenangkan. Kenapa rasanya menyesakkan mendengar kalimatnya? Sebagian dari diriku ingin segera membawamu pulang dengan cepat Vi, agar kau bisa bahagia. Tapi sebagian lagi dari diriku, tidak ingin cepat-cepat jauh darimu.

Aku mengambil mangkuk yang berisi makanan, "Vi kau makan dulu ya."

Dia menggeleng cepat, "Aku mau pulang, bukan mau makan."

Kuhela nafasku sejenak, "Vi, kau harus makan, agar bertenaga, dan kau bisa cepat kembali."

Dia hanya diam sambil sesekali menarik ingusnya.

"Makan ya?"

Suapan pertama, berhasil mendarat di mulut nya. Tak apa, awal yang baik. Dengan telaten aku menyuapinya, dia sangat menggemaskan seperti bayi. Aku jadi ingin menarik hidungnya yang sejak tadi kembang kempis.

Ternyata, obat yang diberi oleh Mbok sangat manjur. Terbukti sekarang Vio terlihat sangat bugar. Bahkan mulutnya pun sudah mulai rewel, berbicara banyak dengan si Mbok.

Aku hanya memperhatikan saja, sambil sesekali tersenyum melihat tingkahnya. Rasanya kau ingin ku bungkus dan ku bawa pulang.

Malam ini terasa panjang, Vi.

***

Sorry kalimatnya ngebosenin. Karena suasananya lagi bosen.

Cuma buat tambahan aktivitas.
Ga menyenangkan dan ga bikin puas.

#DirumahAja
#QuarantineDays

Damn, this is Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang