Ternyata

34 5 0
                                    

"Ahh!"

Aku bangun, terduduk diatas ranjang empuk. Sungguh, mimpi yang panjang. Ku lirik jam weker di nakas.

"Astaga!" Pekikku.

Sudah jam setengah 7 pagi. Aku akan terlambat berangkat ke sekolah. Aku mandi dengan cepat, lalu memakai seragam sekolah. Aku turun kelantai bawah, melihat mama yang sedang menyantap sarapannya dengan tenang.

"Mama ko ga bangunin Vio sih, ini udah mau jam 7." Ucapku kesal.

Aku mengambil sepotong roti dimeja, lalu meminum susu yang pastinya semua sudah disiapkan oleh mama.

"Mama udah bangunin, kamunya aja yang ga bangun-bangun. Lagian mama heran banget deh, kamu itu tidur atau latihan mati? Lama banget."

"Ih mama."

Walaupun kesal tapi mama langsung bergegas mengantarku. Aku minta diantar menggunakan motor, biar bisa nyalip. Mama ku ini gaul, jago sekali kalau bawa motor. Yah kalian tau lah istilah the power of emak-emak.

Akhirnya, aku sampai didepan gerbang sekolahku. Masih ada waktu lima menit. Aman.

Setelah berpamitan dengan mama, aku langsung bergegas menuju kelasku. Aku ini anak SMA tingkat akhir. Tahun ini akan lulus.

Tapi aku heran ketika melihat banyak orang di lapangan.

"Astaga!" Ucapku sambil menepuk jidat.

Hari ini classmeeting bagaimana mungkin aku lupa? Ah, ini semua karena mimpi yang panjang itu.

"Viora!"

Aku mencari sumber suara yang memanggilku barusan. Ku lambaikan tanganku ketika menemukan sang empu.

"Hai Jane."

Jane, sahabat ku sejak di bangku SMP. kami selalu bersama-sama. Ohya, aku ini salah satu the most wanted wanita disekolah ku. Selain karena pintar, aku juga punya badan yang bisa dibilang oke.

Banyak teman pria yang sudah menyatakn cintanya, tapi semua aku tolak. Bukan karena aku sok jual mahal, tapi aku hanya menyukai satu pria. Yaitu Deva.

Aku menyukai Deva sejak kelas 10. Bahkan aku sengaja memilih ekstrakulikuler yang sama dengan Deva, hanya agar aku bisa terus melihatnya.

Jane mengajakku duduk dibangku koridor yang mengarah langsung ke lapangan. Kalau aku ingat hari ini tidak belajar, aku tidak akan bawa banyak buku. Kalau perlu tidak usah bawa tas sekalian.

"Lo kenapasih? Keliatan kesel banget dari tadi." Tanya Jane.

"Banyak hal yang buat gue kesel pagi ini Jane."

Acara pertama, dibuka dengan pertandingan basket antarkelas. Deva ikut bertanding disana, aku jadi semangat lagi. Tapi lagi-lagi, ada saja yang membuatku kesal.

"Ih, itu orang ngalingin aja deh."

Aku tidak sabaran, langsung menyerobot tempat orang yang tadi menghalangi penglihatan ku kepada Deva. Jane sampai menggerutu karena aku tinggalkan. Untung orang tadi adalah adik kelas, jadi dia tidak berani marah padaku, hahaha.

Deva sedang menguasai bola. Sejak tadi bola berada ditangannya. Tapi saat Deva ingin mengoper bola itu..

"Aw!" Aku jatuh terduduk sambil memegangi keningku.

Bola yang dilempar Deva, tepat mengenai keningku. Aku melihat Deva yang berlari dari tengah lapangan, menghampiriku dan berjongkok didepanku.

"Apa kau baik-baik saja Vi?"

Cepat-cepat ku anggukkan kepala ku. Jantungku jadi berdegup cepat, bisa sedekat ini dengan Deva. Dia mengacak rambut ku sebelum kembali ke lapangan.

"Lo gapapa?"

Jane tiba-tiba ada dibelakang ku. Entah sejak kapan. Jane membawaku kembali ke tempat kami duduk tadi.

"Ga nyangka gue bisa sedeket tadi sama Dev."

"Iyadeh yang lagi jatuh cinta. Jidatnya benjol aja sampai ga terasa."

Refleks aku memegang jidatku. Memang benar, ada sedikit tonjolan. Tapi biarlah, rasa sakitnya tak seberapa dibanding bahagianya tadi.

"Kantin yuk." Ajak Jane.

Karena memang aku juga lapar, jadi aku menurut saja. Kami memilih salah satu tempat duduk. Suasana kantin tidak terlalu ramai karena sebagian siswa sedang menyaksikan pertandingan di lapangan.

"Lo mau apa?"

Aku tidak langsung menjawab Jane. Karena mataku menangkap sesuatu. Itu Deva, dia sedang berlari, menghampiri ku?

"Hai." Katanya dengan nafas tergopoh-gopoh.

Deva duduk disampingku.

"Bentar ya Vi, gue pesenin dulu."

Jane pergi, padahal aku belum bilang ingin apa. Sepertinya Jane mengerti, ingin membiarkanku berduaan dengan Dev. Jane, kau memang sahabat terbaik.

"Hai Vi, bagaimana kabarmu?"

Aku menatap Dave bingung. Apa maksudnya?

"Aku merindukanmu."

Aku semakin bingung dibuatnya, sampai aku tak bisa bersuara.

"Violet."

Bibirku kelu. Aku membisu. Mataku membelalak "Abay?"

Deva tersenyum, sangat manis.

"Terimakasih sudah mengizinkanku berkelana di mimpimu, Vi."





-END-

Damn, this is Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang