4 tahun

113 2 0
                                    

Asalamualaikum wr. wb.

___________

Kamis, 18 Febuari 2027

Matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Jarum jam membentuk sudut seratus delapan puluh derajat. Jarum pendek di angka dua belas dan jarum panjang di angka enam. Lengkap sudah siksaan panas di Jakarta. Winda yang telah usai dari kelas teknik, mulai menunggangi motor automaticnya.

Dia mendapat beasiswa untuk memimba ilmu di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Empat tahun dia bekerja keras di sana. Empat tahun dia pergi. Empat tahun dia coba perbaiki hidupnya. Empat tahun dia menjahit luka sayatan yang tak kasat mata.
Dan lihatlah, sosoknya kini bukan lagi Winda yang ringkih. Bukan lagi sosok yang kucel dengan baju kedodoran. Bukan lagi cewek yang mudah untuk membuang air matanya dengan percuma. Tak ada lagi Winda yang seperti itu. Winda, gadis muda berumur dua puluh satu tahun, kini menjadi gadis cerdas, mandiri, dan yang pasti lebih dewasa.

Semenjak dia di Jakarta, dia tinggal di sebuah kos-kosan khusus perempuan. Sebenarnya dia kurang nyaman tinggal di sana. Ya, tahu sendirilah. Banyak cewek yang masih mengumbar aurat dengan cuma-cuma. Dan juga, tamu pria diizinkan dengan leluasa untuk masuk. Dengan pedenya, sering kali teman sekos-kosan Winda melakukan maksiat di depan umum. Merangkul, berpeluk, bahkan saling cium bagi mereka hal biasa. Atau bisa jadi, itu suatu kebiasaan untuk mereka.

Namun, bagaimana lagi? Winda saat itu hanya bisa menyewa kos-kosan yang seperti itu. Uangnya pas-pasan. Dia harus sangat irit. Makan pun hanya dua kali sehari. Kayak puasa, ya? Winda sebenarnya mampu makan lebih dari itu. Tapi entahlah, dia lebih memikirkan penampilan daripada perutnya. Mungkin, tampil modis lebih penting untuknya. Terbuktilah. Kini ia cantik dengan wajah yang bersih dan kepala yang tertutup jilbab. Meskipun pakainnya sederhana, ia tetap terlihat elegan dengan perpaduan warna yang pas.

Dan sebentar lagi, masa penyiksaan matanya akan berakhir. Ia akan pindah ke kontrakan baru. Dia tidak sendiri. Satu kontrakan tiga kamar, jadi satu kontrakan tiga orang. Kini ia berjalan menuju kos-kosan lamanya untuk mengambil barang-barang miliknya. Rencananya, mereka bertiga, Winda, Dyah, dan Pita, akan membawa barang mereka dengan mobil pikap sewaan.

Pita adalah sahabat Winda sejak kecil. Bahkan, keluarga mereka sangat dekat satu sama lain. Saat lulus dari sekolah dasar, Pita memutuskan untuk melanjutkan menimba ilmu di sebuah pesantren di Jawa Timur. Selesai dari pesantren mereka tak bersama lagi. Winda mengejar beasiswa di Semarang dan Pita di kota kelahirannya, Magelang.

Setelah lulus sma, barulah mereka satu kampus. Mereka bertiga berbeda fakultas. Pita mengambil psikologi. Dyah, ekonomi dan bisnis. Dan, Winda, menggeluti dunia teknik.

Sampailah Winda di depan kosan lamanya setelah hampir setengah jam memerangi panasnya jalanan. Jalanan Jakarta tak lagi seramai dan semacet dahulu. Kemacetan di sana dapat dikurangi dengan dibangunnya jalan-jalan tikus di bawah tanah sesuai dengan kebutuhan trbanyak penduduk di sekitar jalan itu. Dan itu sangat efektif menurutnya.

Tampak kardus-kardus yang tersusun rapi di atas bak mobil.

"Hai, man-teman! Sorry, gue nggak ikut bantu, barusan macet," sapa Winda sok polos.

"Hmmm," jawaban Dyah.

"Jangan gitu, dong. Kan aku dah minta maap," kata Winda setengah memohon.

"Udah-udah! Nggak usah kayak gitulah! Maklumin aja, temen kite kan sibuk," Pita keluar sambil menenteng dua tas kecil, satu miliknya dan yang satu milik Dyah.

"Iya, iya maaf. Mau jalan sekarang, nih?"

"Besokk!" jawab sewot Dyah sambil masuk ke kursi penumpang.

"Iya, biar bisa beres-beres nanti. Kuy!" ajak Pita.

"Ya, udah. Yuk!" kataku sembari duduk di samping Dyah.

"Lo, ngapain di sini?" tanya Dyah ngegas.

"Ya, kan, gue juga mau ke sana,"

"Kamu naik motor. Nunjukkin jalan," jelas Pita.

"Oh, gitu. Oke. Lo, jangan sewot mulu ngapa! Panas kuping gue dengernye,"

"Ye, sorry. Abisnya ngeselin, sih. Kita capek beres-beres, lo malah nggak balik-balik," cerocos Dyah.

"Gue, kan juga capek nyari kontrakan," balas Winda sedikit kesal karena merasa Dyah terus-terusan menuduhnya tidak ikut membantu persiapan pindahan.

"Oh, iye. Gue lupa. Berarti impas kite," Dyah cengengesan.

"Hhmm" giliran Winda dibuat kesal oleh Dyah.

Dengan Winda menunggangi motornya, Dyah dan Pita duduk di kursi penumpang mobil pikap tanpa supir sewaan, mereka menyusuri jalan sepanjang tiga kilometer. Cukup jauh dari kos-kosan sebelumnya. Itulah kenapa mereka memilih pindah ke kontrakan itu. Biaya sewa yang murah untuk seukuran mereka, jarak yang lumayan dekat dengan kampus, dan letaknya juga strategis menambah keinginan mereka menyewa kontrakan itu.

___________

Winda berjalan lunglai melewati setiap lorong rumah sakit. Dia ingin segera bergegas menuju mobilnya, namun urung dan lebih memilih menuju meja resepsionis. Dia kemudian menepati janjinya, melunasi semua biaya keperluan rumah sakit Daniel.

"Sus, biaya untuk pasien bernama Alfin Daniel Pratama berapa, ya?" tanya Winda.

"Bentar, ya, Mbak," jawab si petugas pembayaran.

Terlihat beberapa huruf pada kibor ditekan si petugas. Dan munculah selembar kertas. Winda membacanya dengan teliti, sampai akhirnya tiba disebuah nominal. Dia mengeluarkan sebuah kartu dan memberikannya kepada petugas itu.

"Sus, tolong semua biaya Alfin dilunasi dengan kartu ini. Dan semua keperuan Alfin mendatang tagihkan saja ke nomor rekening saya!"

"Baik, Mbak,"

Winda meninggalkan meja panjang berkomputer itu. Dia mengeluarkan sebuah benda dan menekannya. Mobil berwarna biru mengkilap berbunyi, memberitahukan posisinya kepada sang pemilik. Winda menuju mobil itu dan membuka pintunya. Winda terduduk di kursi pengemudi. Mobil itu hanya muat untuk maksimal lima orang. Dia menekan suatu tombol. Dan sejurus kemudian, mobil itu menjadi tanpa atap. Mobil itu murni rancangan Winda sendiri.

Dia tidak langsung pergi dari tempat parkir. Dia duduk sejenak, menghela napas panjang. Tampak guratan lelah di wajahnya. Apa lacur? Wajahnya yang polos tanpa mekap, kantung mata yang kentara karena kurang tidur,dan tak lupa pakaian yang berantakan, menambah aura kesedihan di wajahnya.

Dia mengambil ponsel pintarnya,mulai mencari sebuah nama. Ketemu. Beberapa tombol ditekannya. Dan benda yang digenggam itu berbunyi beberapa kali sebelum suara wanita tercetak jelas melalui pelantang pada ponselnya.

"Aku akan pulang,"

__________

Cukup sekian. Maaf bila banyak salah.

Wasalamualaikum.

arwindaniel || Alfin DanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang