N

18 3 0
                                    

Asalamualaikum wr. wb..

___________

Daniel duduk di ranjang berbalut kain putih. Duduk di samping bantal yang telah Winda rapihkan. Winda masih membereskan barang-barangnya. Dan, Daniel masih memperhatikan setiap pergerakan Winda.

Daniel terkejut saat melihat mata Winda yang terarah ke matanya. Daniel mulai menegang. Winda semakin mendekat ke arahnya. Selangkah lagi. Winda sudah berada tepat di depannya. Masih menatap mata Daniel.

"Kamu bisa lihat aku?" tanya Daniel.

Winda tak menjawab apapun. Daniel bangkit dari duduknya. Dan dibuat semakin kebingungan. Winda masih menatap tempat dimana tadi Daniel duduk. Kalau, Winda bisa melihat Daniel, kenapa dia memperhatikan tempat Daniel duduk?

Beberapa detik kemudian, Winda menjawab rasa bingung Daniel dengan menembus tubuh Daniel. Ternyata, Winda hanya ingin berbaring di kasur nyamannya. Sedari tadi, Winda bukan menatap Daniel, melainkan tumpukan bantal di belakang Daniel.

Winda terbaring di atas ranjang itu. Membenamkan wajahnya di bawah bantal empuk bersarung warna pink. Winda terlelap dalam waktu singkat.

Berbeda dengan Winda, Daniel justru terhisap oleh lorong kelabu. Telinganya berdenging. Tangan yang ia tutupkan tidak mampu menghilangkan rasa ngilu di telinganya. Dan, itu berhenti saat tubuhnya muncul di sebuah tempat.

Ruangan yang cukup luas dan dipenuhi meja serta kursi. Ruangan yang ramai. Ada beberapa warung berjejer yang didesaki para siswa-siswi.

Tidak asing. Itu kantin yang dulu pernah Daniel kunjungi dengan Winda dan dua sahabatnya sebelum Aini pergi.

Daniel melihat Dyah dan si cowok berkacamata duduk di sudut kantin dengan dua gelas es teh. Daniel pun menghampiri mereka dan duduk di samping Fathur.

___________

• Fathur •

"Sekarang, ceritakan apa yang terjadi dengan Aini!" perintahku.

"Aini.... Aini sudah meninggal," jelas Dyah dengan ritikan air mata.

Baru kali ini aku melihat Dyah yang biasanya cuek bisa serapuh ini. Dan begitupun aku. Rasanya seperti tersengat aliran listrik beratus-ratus watt. Disaat aku bisa membuka hati. Justru dia malah pergi. Ini rasanya tak adil.

Aku menggebrak meja beberapa kali sebelum membenamkan kepalaku di tumpukan dua tanganku. Tak terasa satu butir aur mata jatuh ke lenganku.

"Ahh!!!" aku menjerit tertahan di balik lenganku.

Sebuah tangan mengelus halus pundakku. Membawa sedikit rasa tenang untukku. Aku membuka lipatan tanganku. Dyah menatapku. Mencoba memberikan rasa nyaman semampunya.

Secangkir teh mulai habis. Dan, aku masih terdiam tak bergeming. Rasanya masih sangat sakit dan kaget saat mengingat Aini sudah tiada. Dan, kenapa waktu itu aku harus cuekin dia? Aku menyesal? Ya.

"Bagaimana bisa Aini meninggal? Bukankah waktu itu dia baik saja?"

"Iya, Kak. Waktu itu, sepulang dari seleksi, Aini berpisah denganku. Rumah kami sebenarnya searah. Tapi, dia bilang ada yang ingin ia berikan kepada Winda. Mangaknya dia nyusulin Winda yang udah turun duluan."

Beberapa saat Dyah terdiam. Aku tahu, ini juga sulit untuknya. Aku mengerti. Tapi, aku harus tahu selengkapnya.

"Terus?" desakku.

"Sebenarnya, gue nggak tau secara pasti gimana ceritanya. Tapi intinya, Aini berkorban untuk selametin nyawa Winda. Winda diserang seorang bapak-bapak yang nggak dikenal. Dan, nyaris bapak itu nusukkin pisau ke tubuh Winda. Tapi, Aini menghalangi. Dan, akhirnya Aini meninggal karena luka tusukkan yang lumayan parah," terang Dyah dengan mata yang tergenang air.

"Jadi, ini semua gara-gara Winda?"

"Tapi, kita juga nggak bisa salahin Winda," bantah Dyah.

"Terus? Siapa yang harus disalahin? Siapa tau, bapak itu musuhnya Winda. Dan, kalau seandainya Winda nggak punya musuh, mungkin Aini masih ada," ucapku dengan sedikit keras dan terkesan membentak.

"Kak, gue tau. Aini meninggal untuk nyelametin Winda. Tapi, Winda juga nggak sepenuhnya bersalah, Kak!"

Dyah pun meninggikan intonasinya. Aku tak peduli. Ini karena Winda dan aku nggak terima. Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamar Winda, meskipun, aku tau aku sudah dilarang masuk me asrama putri.

Namun, sebuah tangan menahanku. Dyah. Untuk apalagi dia menahan ku? Seharusnya dia mendukungmu. Sahabatnya mati karena Winda. Dan, dia seharusnya ada di pihakku.

"Kak, Lo nggak boleh masuk asrama putri!"

"Kenapa? Biarin gue samperin si pembunuh itu!" bentakku.

Aku berjalan menuju lobi asrama. Langkahku terlampau cepat untuk Dyah. Dia tertatih-tatih menyamai posisiku. Dan, lagi-lagi Dyah menghalangi ku.

"Kak, kalau lo maksa buat masuk, bisa-bisa gue juga kena hukuman lagi. Gue nggak mau."

Aku kasihan dengan Dyah. Tadi, dia sudah dihukum karena ulahku. Aku tidak mau itu terulang lagi. Aku pun menghentikan langkahku. Kutatap mata Dyah lekat.

"Gue nggak mau ngebebani lo. Tapi, gue minta tolong sama lo. Bawa Winda ke kantin umum sekarang juga!"

___________

Daniel mencoba meraih-raih tangan Fathur. Dia tahu Winda masih sangat terpukul atas kepergian sahabatnya. Dan, dia tidak mah Winda tambah hancur karena tuduhan Fathur yang asal-asalan.

Tapi, sekeras apapun usaha Daniel, akan tetap sama hasilnya. Siapa pun tak akan mendengar Daniel. Tangannya selalu menembus apa pun yang ingin ia pegang.

"Gue nggak mau ngebebani lo. Tapi, gue minta tolong sama lo. Bawa Winda ke kantin umum sekarang juga!" ucap Fathur memerintah Dyah.

"Oke. Tapi, lo nggak boleh sedikitpun bentak Winda!"

Fathur kemudian berjalan pergi. Lebih tepatnya, menuju kantin tempat Dyah dan Fathur tadi. Daniel memilih mengikuti Fathur. Dan, seperti biasanya. Daniel hanya bisa duduk menanti apa yang akan terjadi.

Di waktu bersamaan, Dyah menaiki tangga yang ada di sampingnya. Mungkin, akan menuju kamar Winda. Dia tergesa menaii anak tangga hingga ujung tangga di lantai tiga. Berlari-lari dia melewati lorong-lorong mencari kamar Winda. Dan akhirnya ketemu.

"Winda! Winda!" teriak Dyah memanggil orang yang dicarinya.

Tak lama, pintu terbuka. Dan kebetulan, yang muncul adalah Winda. Dyah langsung menyeret Winda menuju kantin umum. Dia melakukan ini bukan karena dia juga menganggap Winda pembunuh. Tapi, dia juga sudah tidak sabar ingin tahu yang sebenarnya.

Sampailah mereka di kantin umum. Kantin itu biasanya didatangi oleh para senior dan juga para siswa-siswi yang populer. Kantin itu diperbolehkan untuk laki-laki mau pun perempuan. Namun, ada juga kantin yang khusus laki-laki dan khusus perempuan. Biasanya yang mengunjungi kantin itu adalah para siswa-siswi yang pendiam.

Mereka sampai di sebuah kursi. Kini, tak lagi di sudut ruangan. Mereka berada di dekat pintu masuk yang tidak ramai. Fathur masih membelakangi Dyah dan Winda.

"Kak, kata Dyah kakak manggil aku?" Winda memberanikan diri membuka pembicaraan.

"Berani nongol juga, Lo!" Fathur berkata pelan dengan senyum miringnya.

"Ha?" ucapan bingung Winda.

"DASAR PEMBUNUH!!!" teriak Fathur yang menyebabkan perhatian satu kantin terarah ke Winda.

___________

Wassalamu'alaikum

arwindaniel || Alfin DanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang