E

24 4 0
                                    

    Asalamualaikum wr. wb.

___________

    Winda menjalankan motornya membelah jalanan Jakarta. Macet tak lagi membuat laju motornya melambat. Hanya sedikit ramai yang membuatnya harus menjaga jarak dengan kendaraan lain. Satu per satu percabangan jalan ia lalui. Hingga akhirnya, jalanan mulai tampak lengang. Winda mempercepat kecepatan motornya. Namun, baru sebentar, ia menghentikannya.

    Tampak seorang perempuan muda kerepotan membawa barang belanjaanya. Dia terlampau muda untuk dua orang anak. Satu anak ditutunnya di tangan kiri, umur anak itu sekitar lima tahunan. Dan, satu anak lagi digendongnya, mungkin yang satu ini berumur dua tahun. Sedangkan perempuan dari dua anak itu mungkin berumur sekitar dua puluh tahun.

    Winda sedang memperhatikan perempuan itu. Perempuan itu menjatuhkan kantung plastik belanjaannya. Kantung itu sobek dan tak dapat digunakannya lagi. Perempuan itu pun bingung bagamana dia harus membawa seluruh belanjaannya yang lumayan banyak. Dia coba memungutinya dan meminta anaknya untuk membantu membawa beberapa jenis sayuran. Tapi satu tangannya dan dua belah telapak tangan mungil tak cukup untuk menampung seluruh sayur.

    Winda menghampiri perempuan itu sambil menenteng tas kain yang biasa ia gunakan untuk membungkus mukena dan sajadah. Kebetulan ia membawa tas itu tanpa isi. Dia sedang uzur, sehingga dia tak membawa mukena dan sajadahnya. Kemudian, Winda ikut berjongkok di depan si perempuan dan memungut belanjaan perempuan itu ke dalam tas miliknya.

    Seluruh sayuran telah termuat dalam tas yang tadinya milik Winda. Winda menyerahkan tas itu kepada si perempuan. Perempuan dengan dua anak itu menerimanya. Perempuan itu tersenyum ramah dan dibalas serupa oleh Winda.
"Makasih, ya, Dek," ucap perempuan itu masih tersenyum.

    "Iya, Mbak, sama-sama. Lain kali kalau belanja bawa tas sendiri aja, Mbak. Jangan pakai kantong plastik. Biar awet dan nggak nambah-nambahin sampah," tutur Winda.

    "Iya. Kebetulan tadi saya lupa bawa keranjang belanjaan," jelas perempuan itu.

    "Oh, ya sudah, Mbak. Saya sedang ada urusan, jadi nggak bisa lama-lama. Permisi, ya, Mbak," pamit Winda yang kmudian tertunda.

    "Ini tasnya bagaimana, Dek?" tanya si perempuan sambil memperlihatkan tas berwarna merah marun itu.

    "Itu buat mbak saja," ujar Winda kemudian berlalu.

    Winda menyeberangi jalan. Menghampiri motornya yang berada di kiri jalan. Dia melalui begitu saja seseorang yang sedari tadi memperhatikannya. Seseorang itu menggunakan topi dan menundukkan lepalanya. Jadi, Winda tak melihat sosok yang memperhatikannya.

    Beberapa potret Winda telah tersimpan dalam kamera si pria bertopi yang tadi memperhatikan Winda. Diam-diam ia memotret sosok Winda. Winda yang berjongkok memunguti belanjaan. Winda yang tersenyum kepada seorang perempuan. Winda yang berlari kecil menyeberangi jalan. Winda yang mulai mengendarai motornya. Tiba-tiba ia ingin mengabadikan gambar gadis yang belum ia kenal itu.

    Winda terus menjalankan motornya meninggalkan orang yang menyimpan banyak potret dirinya. Punggungnya hilang di kelokan jalan bersamaan dengan si pemotret membuka topinya. Itu pertemuan pertama mereka. Pertemuan yang tidak disangka dan tidak sengaja. Dan, mungkin selanjutnya juga akan seperti itu.
Pemotret rahasia itu kemudian menghampiri sebuah bangku halte di pinggir jalan. Meski jalanan sepi, pemerintah tetap menyediakan sarana perhentian bus di sana. Dia mulai melihat-lihat hasil tangkapan fotonya. Senyum kecil terlukis di bibirnya. Satu per satu ia tatap kembali gambar di layar kamera miliknya sebelum akhirnya tercipta getaran di saku celananya. Ada panggilam masuk.

    "Woii, Lo dimana, Cupin?" tanya Agil di telepon.

    "Emang, kenapa, sih? Gue lagi nyari angin seger," jawabnya.

    "Gaya-gayaan lagi nyari angin seger. Sini gue kentutin, kentut gue kan seger," sahut Rakha, mungkin Agil mengaktifkan loud speaker di ponselnya.

    "Anjrit! Jorok amat, nih, orang. Emang ada apa, sih?"

    "Alfin, Lo, lupa atau gimana, sih? Hari ini kite ada latihan, Tulul!" Agil agak nge-gas.

    "Ya, ampun. Gue lupa. Sumpah, aku lali nek saiki ono latian," ujar Daniel sedikit kebingungan.

    "Tampangnya, sih, ganteng. Uteknya ruwet, nih bocah. Buruan ke sini. Bang Eko udah misuh-misuh terus dari tadi. Gue nggak betah dengernya," spontan Alif yang didengar oleh pelatih mereka.

    "Woii.... Alfin buruan, Lo, ke sini. Ditungguin dari tadi malah ngilang mulu," teriak si pelatih di depan ponsel milik Agil yang direbutnya.

    "Iya, Bang. Gue nggak jauh, kok, dari tempat latihan,"

    Sepertinya si pelatih telah mengembalikan ponsel milik Agil dan terdengar suara keluhan Agil mendapati percikan di layar ponselnya, "Yah.... Hape gue kehujanan. Lo, sih, Fin. Hape gue jadi ikut-ikutan basah disemprot Bang Eko."

    "Iyo, iyo. Aku gek mlaku rono ki, lho. Mingkem!" sengak Daniel sebelum menutup panggilan.

___________

    Masih bersama penulis amatiran yang selalu berharap diberi saran dan komentar para pembaca. Cukup sekian.

    Wasalamualaikum.

arwindaniel || Alfin DanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang