P

36 2 1
                                    

Asalamualaikum wr. wb..

___________

" Ceraikan salah satu dari aku atau dia!"

Orang yang dia ajak bicara tidak menjawab. Matanya menatap ke bawah. Winda mempersiapkan hatinya akan kemungkinan terburuk sekalipun.

Sekian lama tak ada yang membuka suara, Winda memberanikan hatinya. "Rizki, jawab!"

"Aku.... akan...," ucapan Rizki terjeda karena adanya gedoran di pintu kamar itu.

Winda berjalan perlahan menghampiri pintu. Dibukanya perlahan pula pintu berbahan dasar kayu itu. Tampak seorang anak kecil. Umurnya sekitar empat tahunan. Mata anak itu berbinar saat menatap Winda.

Sedetik kemudian, pinggang Winda telah berada dalam pelukan anak itu. Winda kemudian berjongkok, membalas pelukan hangat. Tak lama, Winda melepaskannya dan dapat disaksikan air menggenangi mata anak itu. Satu kedipan, cukup untuk menumpahkan air yang menggenang di matanya. Anak itu menangis. Dan lagi-lagi memeluk Winda.

"Bunda, kok lama banget pulangnya?" tanya anak kecil itu.

"Iya, maaf ya. Bunda kemarin lagi sibuk, jadi nggak bisa pulang," jelas Winda.

"Nanti kita main, ya, Bunda! Risa kemarin beli mainan banyak tapi belum Risa pake," ucap si anak yang ternyata bernama Risa.

"Bunda nggak bisa sayang. Bunda di sini cuma sebentar, terus pulang lagi ke rumah bunda," tolak halus Winda.

"Kan, ini rumah bunda."

Winda hanya bisa tersenyum. Tidak mungkin ia menjelaskan masalahnya kepada anak kecil. Winda menatap lekat wajah bundar itu. Pipi tembem, hidung bangir, rambut hitam legam, dan matanya dengan iris coklat gelap, sama persis dengan ayahnya.

"Sekarang Risa main dulu sama umi, ya!"

"Ya udah, Bun. Tapi, kalah bunda ada waktu luang, bunda harus main sama Risa!"

"Iya."

Anak itu pun berbalik dan berlari ke tempat neneknya berada. Menumpahkan sekotak penuh mainan membuatnya berhambur berantakan. Winda bangkit dari posisi jongkok dan menutup lagi pintu kamar itu.

"Lanjutkan!" perintah Winda.

"Aku akan jauh memilih orang yang selama ini menemaniku, memberikan hakku, dan menjalani kewajibannya."

Winda tak bisa membantah omongan Rizki. Winda juga tak memaksa Rizki memilihnya. Ia hanya sedih. Winda hanya tidak terima jika dia yang dituding seakan ia yang bersalah selama ini.

"Kamu mau ngomongin hak dan kewajibah, hah? Sekarang, apa aku dapat hakku? Apa kamu menjalankan kewajibanmu? Hakku dirampas Sabina dan kamu tidak menjalankan kewajibanmu, kan. Lalu, aku yang salah? Apa aku yang salah ketika kalian melakukan maksiat itu? Apa aku yang salah atas kelahiran Risa? Dan saat aku pergi, aku yang menjadi penjahatnya? Jawab!" Winda mengeluarkan seluruh amarah yang ia pendam selama ini.

Tak terasa pipinya telah basah dan tercipta aliran yang mengalir berkelok dari mata hingga dagu. Dia tidak pernah menyalahkan siapapun atas kejadian lima tahun silam. Dia hanya tidak terima jika dia yang disalahkan atas hancurnya hubungan ini.

"Maaf, tapi mungkin Sabina yang terbaik untukku," ucap Rizki sambil menatap Sabina dan dibalas dengan genggaman tangan oleh Sabina.

"Oke. Ceraikan aku!" pinta Winda dengan marah.

"Aku talak kamu," ucap Rizki penuh penekanan di setiap katanya.

Winda tanpa berbasa-basi langsung keluar kamar dan menghampiri seorang ibu paruh baya. Malihat itu, seorang anak kecil pun ikut bergabung. Saling berpeluk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

arwindaniel || Alfin DanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang