Prolog *

350 141 131
                                    

"Hiks...hiks..., sa-sa-kit Ma" rintih seorang anak dengan terbata-bata kira-kira berumur 10 tahun, ketika seorang wanita paruh baya yang dia panggil Mama itu menjewer telinganya sangat kuat hingga terasa akan terlepas.

"Ini karena kamu sudah bikin anak saya kesrempet mobil dan sekarang dia rawat" marah Mamanya yang bernama Mawar.

"Bu-bu-kan Syi-fa Ma" bantah anak tadi yang diketahui bernama Syifa.

"Kalau bukan kamu siapa lagi HA!" bentak Mawar yang semakin kuat menjewer telinga Syifa, karena sudah tak tahan dengan sakit yang dirasa sesekali dia memejamkan matanya.

"Awh..awh..hiks... hiks..., bu-kan Syifa Ma" bantahnya disela-sela tangis dan penderitaanya.

"Terus saja kamu bilang bukan kamu, tapi faktanya itu memang kamu" bentak Mawar lagi yang kini tangannya beralih mencubit perut Syifa.

"MAWAR" mendengar ada yang memanggilnya Mawar langsung melepaskan cubitanya.

"Hiks... hiks... Pa-pa" ucap Syifa sambil membawa isak tangisnya itu ke pelukan Papanya yang diketahui bernama Devan.

Syifa melepaskan pelukannya, lalu beralih menatap Papanya "Bu-bukan Syifa Pa"

Devan mengusap lembut kepala Syifa sembari tersenyum kearahnya bertujuan untuk menenangkannya "Iya Papa percaya Syifa"

"Terus saja kamu bela anak ini Mas" ucap Mawar sambil menunjuk ke arah Syifa. Takut itu yang Syifa rasakan sontak dia kembali ke pelukan Papanya.

"Cukup Mawar ini bukan salah Syifa" bentak Devan yang tangannya tak luput mengusap punggung anaknya.

"Mas terus sia--?" belum selesai Mawar berbicara, tiba-tiba terdengar suara deringan telephone.

Drrt...drtt...drtt...

Suara itu berasal dari saku celana Devan, Devan merogoh saku celananya, mengambil ponselnya dan langsung mengangkat panggilan itu.

"..."

"Iya, selamat malam"

"..."

"Alhamdulillah, baik saya sekeluarga akan segera kesana"

"..."

Tut.

Devan mengakhiri panggilan itu, ponselnya pun sudah dia kantongin lagi.

"Siapa Mas?" tanya Mawar penasaran.

"Salwa sudah sadar" bukannya menjawab pertanyaan Mawar, Devan malah memberi kabar entah itu bisa dibilang kabar bahagia atau kabar buruk.

Mendengar apa yang baru saja Devan ucapkan tanpa aba-aba Mawar menarik tangan Devan keluar kamar, meninggalkan Syifa yang masih setia dengan tangis dan rasa sakitnya.

"Hiks...Pa Syifa hiks... ikut ya Pa?" mendengar penuturan Syifa, Mawar berhenti melakukan adegan tarik menariknya itu. Pasutri itu pun langsung menatapnya. Devan menatap Syifa penuh iba sedangkan Mawar penuh amarah.

"Tidak usah sayang"ucap Devan.

Mawar berjalan menghampiri Syifa "Owh bagus kamu mau ikut, ayo sekarang kamu ikut" Mawar mencekal tangan Syifa erat lalu dia menarik paksa tubuh Syifa keluar rumah.

"MAWAR JANGAN SEPERTI ITU" bentak Devan, tapi diabaikan oleh Mawar. Tanpa berpikir panjang Devan langsung berlari menyusul Mawar dan Syifa.

***

Diruangan serba putih dan hanya terdapat alat medis. Mawar berusaha membangunkan anaknya yang bernama Salwa.

"Sayang bangun sayang ini Mama" ucap Mawar lembut sambil mengelus puncak kepala Salwa.

"Ma-ma Pa-pa..." Salwa mengabsen anggota keluarganya, tapi setelah Salwa menyadari keberadaan Syifa, Salwa langsung marah-marah tidak jelas.

"PERGI KAMU PERGI" bentak Salwa yang tangannya menunjuk-nunjuk Syifa.

"Kenapa sayang?" tanya Mawar lembut.

"Hiks... dia yang sudah bikin aku kaya gini Ma" ucap Salwa penuh drama.

Mendengar apa yang baru saja Salwa ucapkan, Syifa tercengang kaget, Bagaimana bisa Salwa berbicara seperti itu? Apa yang sedang Salwa lakukan?

"Tuh kan Mas, memang benar kalau anak ini yang sudah bikin anak kita kesrempet" ucap Mawar yang amarahnya kembali memuncak.

"Bukan aku Ma Pa" bantah Syifa diikuti dengan matanya yang satu per satu menatap ke dua orangnya.

"Salwa kenapa kamu berbicara seperti itu" lanjut Syifa yang kini menatap adiknya yang penuh kebohongan itu.

"CUKUP" ucap Devan yang berhasil menghentikan perdebatan istri dan ke dua anaknya itu. Akhirnya, Devan yang mengetahui kejadian yang sebenarnya pun ikut angkat bicara untuk membela Syifa, karena semenjak tadi Devan hanya diam mendengar setiap kebohongan yang diucapkan oleh Salwa.

Devan menatap tajam putri bungsunya "Salwa kenapa kamu berbohong" Salwa yang mendengar bentak Devan hanya bisa berpura-pura sakit kembali, padahal sebelumnya rasa sakit itu sudah tidak terlalu Salwa rasakan.

"Mas jangan bentak Salwa seperti itu, lihat sekarang dia kembali sakit" bentak Mawar yang terus saja membela Salwa, tanpa mengetahui kejadian yang sebenarnya.

"Mawar terserah kamu lebih percaya Syifa atau Salwa, tapi suatu saat nanti setelah kamu mengetahui kejadian yang sebenarnya KAMU AKAN MENYESAL" setelah mengucapkan kalimat terakhir Devan keluar dari ruangan itu dan tak lupa dia juga mengajak Syifa.

"Aku tidak akan pernah menyesal Mas" ucap Mawar yang masih bisa didengar oleh telinga Devan dan Syifa yang kini sudah berada di luar kamar rawat Salwa.

"Pa hiks... segitu ma-rahnya ya Pa Ma-ma sa-ma hiks... Syifa?" tanya Syifa teebata-bata yang berhasil menghentikan langkah mereka.

Devan menyetaran tinggi badannya dengan Syifa dan menatapnya dengan iba. Devan merasakan apa yang sekarang anaknya rasakan "Tidak sayang, besok kalau Mama sudah tahu kebenarannya Mama pasti tidak akan marah-marah lagi"

"Sekarang Papa belikan es cream mau?" tanya Devan mengalihkan pikiran Syifa ke hal lain dan juga untuk memenangkannya.

"Mau Pa" jawab Syifa girang.

"Tapi janji jangan nangis lagi" ucap Devan mengulungkan jari kelingkingnya ke Syifa.

"Janji" ucap Syifa yang membalas ulungan jari kelingking Papanya.

"Kalau begitu, Let's Go" ucap Devan sembari mengacak rambut lembut putrinya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

My Heart Always Smiles (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang