Part 6*

206 85 97
                                    

Room chat antara  dan Syifa terlihat jelas di ponsel Raka.

"Chat ga chat ga...
Chat aja deh. Ehh kalau dichat gue mau chat apa dong?"

.

.

.


Di lain tempat...

Hembusan angin malam menerpa wajah cantik seorang gadis yang memakai piyama berwarna merah. Gadis itu sudah hampir 1 jam lamanya menyender di pagar pembatas balkon kamarnya dia melakukan itu hanya untuk merenungkan setiap masalah yang selalu menimpa dirinya.

Satu tetes cairan bening yang sekian lama ia bendung akhirnya jatuh membasahi pipinya,  menggambarkan betapa dalam luka yang bersarang di hati kecilnya.

Biarkan air mata itu jatuh, semoga dengan itu masalah yang ia pendam seorang diri bisa sedikit hilang. Dia sudah lelah jika harus berpura-pura bahagia, ingin rasanya ia menghilang saat ini juga. Namun ia tidak bisa melakukannya, karena ada sedikitnya orang yang menyayanginya.

Hari sudah semakin larut namun gadis dengan rambut tergerai itu masih setia menangis merenungi hidupnya, sambil ditemani Sang Bulan dan Bintang yang selalu bersinar walau kadang-kadang sinarnya lenyap hanya karena awan malam yang tak sengaja menutupinya.

Di isak tangisnya tiba-tiba seseorang menepuk lembut bahunya. Gadis itu terkejut dan langsung menghapus air matanya, agar tidak ada satu pun orang yang tahu jika dia sedang menangis.

Saat dia menengok kebelakang ternyata itu adalah Papanya. Papa yang selalu ada disaat dia sedih, terpuruk, rapuh, hancur, dan juga bahagia. Sekarang hanya Papanya yang menjadi penyemangat hidupnya karena hanya dia yang percaya dan care dengan semua yang dilakukan oleh gadis itu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Papanya bersikap seperti Mama dan adiknya yang setiap hari selalu menorehkan luka di hatinya.

"Eh Papa.. Ngagetin Syifa aja. Papa dari kapan ada disini?" ucap Syifa sedikit kelagapan, namun dia mencoba untuk rileks.

"Dari zaman purba"

"Iiih Papa gitu, aku nanya beneran Papa malah bercanda" ucap Syifa sambil mengerucutkan bibirnya.

Desta mencolek bibir Syifa gemas "Ini bibir jangan di moncong-moncongin, udah jelek tambah jelek nanti" ledek Desta itu membuat Syifa semakin mengerucutkan bibirnya.

"Papa mah gitu, Syifa marah nih" kesal Syifa sambil melipat tangannya di depan dada.

"Idih marah nih anak Papa, iya deh iya anak Papa yang satu ini paling cantik sedunia" ucap Desta sambil mencubit hidung mancung Syifa.

Syifa mengelus-elus hidungnya "Sakit Pa, tuh kan merah"

"Syifa sih kalau lagi marah imut banget, jadi Papa pingin nyubit hidung Syifa"

Syifa terdiam, agak kesal dengan Papanya yang selalu meledekinya. Namun sikap itu yang selalu membuatnya bahagia, apalagi jika Mamanya juga seperti itu Syifa pasti tambah bahagia.

Kini Syifa dan Desta tengah duduk di kursi yang ada di balkon dengan memandang Bulan dan Bintang. Dan juga merasakan dinginnya angin malam.

"Syifa" Desta memulai percakapan lagi.

"Ada apa Pa?" ucap Syifa sambil menatap Papanya.

"Papa tahu tadi Syifa nangis, Papa juga tahu Syifa lelah dengan semua ini. Tapi Papa janji Papa akan selalu ada disamping Syifa, karena Syifa anak yang paling Papa sayangi" Syifa tertegun mendengar ucapan Desta. Air matanya kini kembali mengalir. Syifa tak tahu sekarang dia harus apa. Diam dan menunduk itu pilihan yang tepat.

My Heart Always Smiles (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang